Kamis, 15 September 2011

Semangat Berbagi Supriyadi


DATA  DIRI

Nama : Supriyadi
Lahir : mojokerto, Jawa Timur, 2 Desember 1972
Istri : Dewi Widianti (26)
Anak :
- Menara Santiaji (4)
- Kinari Ariang Tunggadewi (2 bulan)
Pendidikan :
- SD Negeri 1 Bejijong, Trowulan, Mojokerto
- SMP Negeri 2 Trowulan, Mojokerto
- STM Negeri 1 Jombang
Organisasi antara lain :
- Sekretaris Lembaga desa Wisata Gadjah MAda Desa Bejijong
- Ketua Kopinkra Ganesha
- Sekretaris Kelompok Informasi Masyarakat Wijaya Desa Bejijong
- Ketua Sanggar Budaya Bhagaskara
- Ketua Komite Perdagangan Luar Negeri Kadin Kabupaten Mojokerto
Penghargaan antara lain :
- Juara II nasional pembuatan benda replika sejarah dari kementerian Negara Seni dan Budaya RI, 1999
- Juara II nasional inovasi bisnis pemuda dari Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga Ri, 2005
- Juara I sentra Industri Kecil Menengah Jatim kategori melestarikan seni dan budaya, Pemprov Jatim, 2007
- Upakarti kategori produk pelestarian budaya, 2009

Sebagai pengusaha cor patung kuningan, Supriyadi justru senang bila ia bisa membagi keahliannya itu. Di tempat tinggalnya di desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, ia memberikan kursus ilmu metalurgi bagi mereka yang berminat. sebagai Ketua Koperasi Industri Cor Patung Kuningan atau Kopinkra Ganesha di desanya, dia membina sedikitnya 125 pengusaha.

Oleh INGKI RIALDI

Pria yang menjadi gitaris kelompok musik metal di masa mudanya itu juga mengaktifkan Lembaga Desa Wisata (Ladewi) Gadjah Mada dengan fokus pada kegiatan pelestarian budaya. Setiap hari Selasa, Rabu, Sabtu, dan Minggu sekitar 100 orang muda belajar tentang tata cara pengantin Jawa (pranotocoro), tembang tradisional Jawa (mocopat), dan tari-tarian Jawa di bawah bendera Sanggar Bhagaskara.
"Sekarang ini di Trowulan (pemahaman) generasi muda soal budaya (Jawa) sudah 'jebol'," kata Supriyadi yang pada 7 Januari 2009 mendapat anugerah Upakarti untuk kategori produk pelestarian budaya dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dia lalu bercerita, ayahnya, Djali, adalah seorang empu keris Jawa. Kakeknya, Mbah Sabar, disebut-sebut sebagai tokoh pematung cor kuningan pertama yang kembali mengenalkan metode pembuatan patung-patung dari zaman Majapahit pada tahun  1960-an.
Supriyadi yang ketika itu masih kanak-kanak tumbuh di lingkungan yang akrab dengan pembuatan berbagai benda seni.  Meski tak belajar secara khusus kepada sang ayah maupun kakeknya, lingkungan kesehariannya  itu membuatnya belajar menjadi seniman otodidak.
"Sejak kecil saya sudah suka membaca-baca buku tentang arkeologi di perpustakaan BP3 (Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala) Jatim. Bahkan,, kertas pembungkus nasi atau kacang yang ada tulisannya tentang masalah budaya pasti saya baca," katanya.

Angkutan kayu

Supriyadi bukan berasal dari keluarga berkecukupan. Bahkan, untuk bisa menyelesaikan pendidikan di STM Negeri 1 Jombang pun, dia tempuh dengan berpeluh keringat. "Keluarga kami sangat sederhana, rumah orangtua dari gedhek (anyaman bambu). Untuk bersekolah naik sepeda kayu pun kami tak punya," cerita Supriyadi tentang jarak tempuh dari rumah ke sekolahnya yang sekitar 30 kilometer.
Agar bisa tetap bersekolah, Supriyadi menyiasati dengan menumpang mobil angkutan kayu milik tetangganya, seorang pengusaha kayu, yang nyaris setiap hari melewati rute ke Jombang. "Mobil angkutan itu berangkat pukul 04.00 sehingga sampai sekolah saya harus memanjat pagar karena pintu sekolah belum dibuka," katanya.
Lulus dari STM, sekalipun sudah memiliki kemampuan sebagai pembuat patung cor kuningan, Supriyadi  tak langsung terjun dalam bisnis itu. "Memang orangtua sempat menyarankan agar saya langsung meneruskan usaha pembuatan patung keluarga. namun, saya merasa tak berkembang kalau tidak bekerja di 'luar' lebih dahulu," katanya.
Supriyadi lalu bekerja di PT Kedaung Group, Surabaya, sebagai team art designer (1992-1997), kemudian menjadi team art designer Mojoagung (1997-1998). Di sini ia merasa kemampuan mendesainnya semakin matang. Maka, ketika dia memutuskan mengundurkan diri dari perusahaan itu, dia sudah tahu betul apa yang ingin dilakukannya.
Berbekal modal Rp 1 juta, bersama adiknya, Sutrisno (32), tahun 1998 Supriyadi membuat usaha patung cor logam. Mereka lalu membuat contoh-contoh patung cor logam. Untuk memasarkannya dia mengumpulkan 50 alamat eksportir barang-barang kerajinan di Indonesia  yang dia dapatkan dengan cara mencatat dari beberapa buku di toko buku.
"Waktu itu saya sering ke toko buku di Surabaya. Saya suka diomeli petugas keamanannya karena hanya membaca-baca buku dan membuat catatan. Kalau harus membeli buku-buku tersebut harganya mahal, bisa sampai Rp 250.000-an," katanya.

Kirim proposal

Sejumlah proposal dan contoh patung-patung buatannya kemudian dia kirimkan ke alamat para eksportir itu. Perlahan-lahan ia bisa menembus pasar Bali setelah seorang eksportir, kolektor, juga perupa dari Tampaksiring, Ida Bagus Dirga, tertarik dengan karyanya.
Saat itu bisa disebut sebagai masa unik baginya karena ia haarus mengesankan diri sebagai pengusaha bonafide di tengah kondisi ekonomi pas-pasan.
"Saya sering berpura-pura punya telepon supaya gampang dihubungi. Untuk itu, saya jadi sering meminjam telepon mantan paacar saya dulu di Segaran, Trowulan (sekitar 2 kilometer dari rumahnya di Desa Bejijong) jika Pak Dirga telepon, " katanya.
Maka, begitu ia puya kelebihan uang, Supriyadi langsung memasang telepon meski rumah yang ditinggalinya masih berdinding gedhek. "Orang-orang di desa waktu itu bilang saya sombong, sok memasang telepon," ujar anak keempat dari lima bersaudara ini.
Perlahan-lahan bisnis patung cor kuningan Supriyadi mulai menanjak. Namanya mulai di kenal tak hanya di Bali, tetapi sampai ke berbagai belahan dunia. Harga patung karyanya mulai Rp 30.000 hingga ratusan juta rupiah.
Ia melempar produknya ke Belanda, Swedia, Belgia, dan Australia. Salah satu proyek terbarunya adalah sebuah monumen berbentuk harimau di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Sukses usaha Supriyadi memengaruhi perubahan pola pikir masyarakat Desa Bejijong.  Mereka yang semula bertani mulai turut menekuni kerajinan kuningan dan perunggu.
Wajah desa pun berubah menjadi desa wisata industri penghasil patung perunggu dan kuningan. Sampai tahun 2008 telah muncul 125 pengusaha baru di sekitar Mojokerto, Jombang, bahkan sampai Tuban.
Meski sibuk berusaha, Supriyadi tetap menyempatkan diri menambah bekal ilmu. Ia melanjutkan pendidikan dengan kuliah di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta, Surabaya, jurusan kriya logam.
"Ini supaya saya tidak ketinggalan teoritis tentang kriya logam. Saya ingin suatu hari nanti bisa membuat seni instalasi Majapahit," ujarnya.

Dikutip ari KOMPAS, JUMAT, 6 MARET 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar