Senin, 24 September 2012

Keutamaan Utomo Josodirdjo


UTOMO JOSODIRDJO
Lahir: Malang, 1 Januari 1930
Kegiatan kini: anggota Board World Vision International (2004-2010), Board Wahana Visi Indonesia (2004-2012)

Utomo Josodirdjo (82) menyaksikan begitu banyak peristiwa kemanusiaan dalam 12 tahun terakhir. Dunia nyata itu semakin membukakan hatinya untuk terus melakukan yang terbaik dalam sisa hidupnya.

OLEH MARIA HARTININGSIH

Pagi itu, di rumahnya di bilangan Cilandak, Jakarta Selatan, Pak Tom, sapaannya, mengenang berbagai peristiwa yang sempat menyisakan banyak pertanyaan tentang hidup.
   "Di Nigeria saya menyaksikan anak-anak dikurung di satu gudang," ia mengenang salah satu pengalamannya. "Mereka dipisahkan dari orangtua yang terinfeksi HIV/AIDS. Di situ mereka tidak disekolahkan dan menjadi liar.
   Di Romania, ia terenyak melihat kondisi anak-anak di panti asuhan yang lebih mirip kamp konsentrasi pada masa Ceacescu berkuasa. Setelah diktator itu dihukum mati tahun 1989, kondisi anak-anak, terutama  yang memiliki darah "tak murni" Romania (Bulgaria, Gypsie, Hongaria), makin memprihatinkan. Sebagian besar perawatnya berasal dari masa rezim Ceacescu yang memperlakukan anak-anak itu seakan sampah.
   Pada malam-malam setelah perjalanan, dalam keheningan di rumah penginapan sederhana, ia berlutut di hadapan Sang Khalik, dan menangis.
   "Word Vision membantu anak-anak menjadi manusia penuh," ujar Pak Tom yang selama enam tahun (2004-2010) menjadi anggota Board World Vision International (WVI), organisasi kemanusiaan internasional lintas iman, lintas batas, yang berkarya untuk anak, keluarga, dan komunitas.
   "Saya ke Banda Aceh empat hari setelah tsunami," kenang Pak Tom. Ia beberapa kali berkunjung ke Papua. "Saya sedih melihat kondisi anak-anak. Saya merasa, kita hanya melakukan sedikit untuk mereka."

Tiga fase hidup

   Pengalaman seperti itu tak terbersit dalam hidup Pak Tom sebelum usianya mencapai 60 tahun, pada 1990. "Hidup saya seperti terbagi dalam tiga fase," katanya, setelah menguraikan kebahagiaannya sebagai kakek empat cucu dari dua anaknya.
   Pertama, adalah fase belajar. Setelah menolak mengikuti jejak sang kakek sebagai dokter, satu dari tiga bersaudara itu memilih studi ekonomi ke Rotterdam, Belanda. Di situ ia bertemu Utami, gadis asal Bogor, yang sedang belajar juga. Keduanya menikah.
   Ketika pulang, Utomo bekerja pada lembaga pemerintah dan mengajar di Universitas Airlangga, Surabaya. Ia membuka jurusan akuntansi di universitas itu.
   Utomo Josodirdjo dikenal sebagai "Bapak Akuntansi" di Indonesia. Sarjana ekonomi dari RSM Erasmus University, Rotterdam, Belanda, dan sarjana akuntansi Universitas Indonesia itu pendiri kantor akuntan terkemuka, SGV Utomo, tahun 1970. "Itu fase kedua hidup saya," kenangnya.
   Usaha jasa audit profesional itu membesar menjadi Utomo&Co, sempat bergabung dengan Arthur Andersen, lalu menjadi Ernst&Young Indonesia setelah  bergabung dengan satu dari empat firma jasa akuntansi terbesar dunia, Ernts&Young.
   "Ketika saya tinggalkan, perusahaan berkembang bagus, dari 20 staf, menjadi 500, lalu 1.500," ungkap Pak Tom.
   Dari awal gagasan mendirikan kantor akuntan itu, Pak Tom tak mengikuti pola "one man one show". "Kita membutuhkan kantor akuntan besar dilengkapi riset yang kuat dan terus mengikuti perkembangan dunia. Saya harus bermitra dengan orang-orang pintar. Sebagai mitra, mereka punya hak penuh sebagai pemilik."
   Strategi itu ternyata jitu. "Saya buat peraturan, usia 60 harus pensiun. Jadi saya berhenti tahun 1990. Modal dikembalikan ditambah keuntungan. Saya yakin mitra saya akan mengembangkannya, dan itulah yang terjadi kemudian."

Pergulatan

   Setelah itu, mulailah Pak Tom meniti masa yang ia sebut "fase ketiga" hidupnya. "Perasaan kosong semakin kuat. Saya tak tahu harus berbuat apa. Bersama istri saya keliling dunia selama setahun, ke AS, Belanda, juga India."
   Pada masa itulah pergulatan spiritualnya menajam. Ia mulai berlatih mengikis ego sebagai "orang sukses". Tak terlalu mudah, karena bayangan jejaknya yang kuat. Beruntung ia punya teman-teman terbaik, seperti Rachmat Saleh, Gubernur BI 1973-1983 dan Menteri Perdagangan 1983-1988 yang tak lelah berbagi tentang kerendahan hati.
   Pertemuannya dengan Anugerah Pekerti adalah titik baliknya. Pekerti memperkenalkannya pada Wahana Visi (World Vision) Indonesia, mitra pelayanan WVI di Indonesia, tahun 1994. Meski ia baru mantap bergabung enam tahun kemudian.
   "Saya bertemu komunitas miskin terbelakang di berbagai tempat di mana WVI berkarya. Tuhan menyodori saya kenyataan riil. Dulu saya hanya mengurus angka, keuntungan, kini menemui individu termiskin dari yang miskin. Hidup saya berubah."
   Perjalanan jauh pada usia sepuh itu melengkapi hidupnya. "Saya banyak belajar, khususnya tentang hubungan antarmanusia. Dari pengalaman berbicara dengan board dan pimpinan perusahaan besar dunia yang ingin tahu perkembangan bisnisnya di Indonesia, saya tahu, modal manusia adalah terpenting. Perusahaan bagus pun bisa kolaps kalau tak memperhatikan modal manusia."
   Sementara bidang akuntansi yang dikembangkan dan digelutinya berpuluh tahun hanya melihat angka dan laba. "Keputusan diambil berdasarkan angka, mengabaikan kisah di balik itu, lupa manusianya. Ini kelemahan besar. Saya bersyukur tak ada anak saya masuk ke bidang itu."

Semakin kosong

   Meski kantornya maju pesat, perasaan kosong makin kuat. Dalam suatu pertemuan di New York tahun 1986, ia mendengar para tokoh bicara tentang kebutuhan "ini-itu" demi pertumbuhan, termasuk pembuatan reaktor nuklir dan pembangunan bendungan raksasa di China, India, juga Indonesia, yang menghancurkan puluhan desa.
   "Saya tanya, bagaimana manusianya? Mereka bilang 'akan diperhatikan'. Saya tanya lagi, bagaimana? 'Dipindah, dikasih rumah, beres'. Saya lalu membayangkan, kami harus terusir dari rumah ini karena tanahnya mau dibuat proyek jalan. Rumah bukan sekadar bangunan, seluruh emosi dan pengalaman kami ada di situ. Tanah ini akar saya."
   Ia terus diganggu persoalan itu, dan makin banyak memikirkan tentang staf di kantor, di rumah, sampai ia berhadapan dengan berbagai kenyataan riil yang mengguncang itu.
   Begitulah sebagian proses yang ia bagikan. Kini ia merasa, hidupnya penuh, sampai usia 80 tahun, ia masih melakukan perjalanan jauh dan main golf dua kali seminggu. "Sekarang pakai kereta" katanya. Hobi terbang berhenti pada usia 72 tahun karena kondisi matanya menurun.
   Hidup dilaluinya penuh syukur. Selain bermain dengan cucu, ia setia menemani Utami (84) yang kurang sehat. Sisa hidupnya adalah hari-hari untuk memenuhi janji: melakukan terbaik dari yang baik. Life is beautiful......

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 24 SEPTEMBER 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar