SYUKUR ABIDIN
Lahir: Labuhan Aji, Pulau Moyo, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, 1951
Pendidikan: Akademi Maritim Indonesia (AMI), Denpasar, 1976
Istri: Marawia (50)
Anak:
- Suharno Putra Satria (16)
- Haryanti Putri Satria (10)
Seperti lilin yang memberi cahaya, tetapi tak memikirkan dirinya habis ditelan api. Itulah gambaran kehidupan Syukur Abidin, tokoh masyarakat Desa Labuhan Aji, Pulau Moyo, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.
OLEH SIWI YUNITA CAHYANINGRUM & SAMUEL OKTORA
Pria berusia 61 tahun, pelopor kesejahteraan ekonomi warga Pulau Moyo, ini memilih tetap tinggal di rumah panggung sederhana di pinggir pantai. sementara banyak warga desa binaannya hidup mapan dan tinggal di rumah berdinding batu.
"Punya rumah kayu tak merisaukan, saya tetap senang dan bangga dengan rumah panggung ini. Masyarakat desa ini dulu terbelakang sekali, tetapi kini kondisi perekonomiannya kian baik. Saya yakin, lima atau sepuuh tahun lagi semua rumah di sini bangunannya batu (permanen)," katanya.
Syukur, penduduk asli Labuhan Aji, mengetahui betul bagaimana perkembangan penduduk desa itu. Dia pernah menjabat sebagai Sekretaris Desa (Sekdes) Labuhan Aji selama tujuh tahun (2002-2009).
Bahkan, ia yang seharusnya pensiun tahun 2009, masih diminta memegang urusan sekdes hingga kini. Pemerintah Kabupaten Sumbawa memilihnya karena belum ada sekdes yang mau ditempatkan di Pulau Moyo, menggantikan Syukur.
Sejak masih kanak-kanak, ia tahu bagaimana kemiskinan membelenggu masyarakat Labuhan Aji. Warga saat itu hanya mengandalkan kehidupan dari padi ladang dan nelayan. Banyak warga desa yang tak sekolah, hanya tamat SD. Hingga tahun 2008 tak ada SMP di sini.
Syukur mengenyam pendidikan SD di Sumbawa Besar pada 1964. Di Pulau Moyo, SD baru dibangun tahun 1970-an. Saat sekolah di Sumbawa, ia langsung duduk di kelas IV karena terlalu tua untuk menjadi murid kelas I. Saat itu rumahnya berdinding anyaman bambu.
Kegetiran hidup secara ekonomi membuka pikiran Syukur. Dari kesusahan itu timbul tekadnya untuk membekali diri menuntut ilmu. Ia pun bercita-cita membangun desanya.
Dari Tambora
Ia menyelesaikan pendidikan di Akademi Maritim Indonesia (AMI), Denpasar, tahun 1976. Suatu saat ia berkunjung ke rumah kerabatnya di kawasan Gunung Tambora, Kecamatan Kempo, Kabupaten Dompu, Pulau Sumbawa. Kerabatnya itu berhasil membudidayakan jambu mete.
Saat itu, warga dan transmigran lokal dari Pulau Lombok di Kempo telah berhasil membudidayakan jambu mete. Hasil mete kala itu menjanjikan, Rp 3.000 per kilogram dengan pasar pasti.
"Saya bertanya kepada saudara di Tambora, bagaimana ia bisa dapat uang untuk naik haji? Ternyata uang itu dari hasil menanam mete, ditambah ternak dan kopi. Saya pun tergerak untuk mengajak penduduk di sini (Pulau Moyo) menanam jambu mete," katanya.
Tahun 1990-an, Syukur mulai mengajak warga Pulau Moyo menanam jambu mete dengan benih yang didatangkan dari Tambora.
"Awalnya agak sulit sebab warga mengira pohon mete kecil dan lama berbuahnya. Pelan-pelan saya menjelaskan, dalam dua tahun mete bisa berbuah dan batang pohonnya segini (sambil memperagakan pelukan orang dewasa)," kata Syukur.
Secara bertahap, warga mulai membuka lahan. Pohon di hutan ditebang untuk diganti dengan tanaman jambu mete. Namun, sejak itu masalah juga mulai menghadang sebab Syukur menjadi sasaran teguran kepala desa saat itu.
Ia juga mendapat ancaman dari aparat Balai Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah II Sumbawa. Ia dituding mendalangi perusakan hutan.
"Kepala desa (kades) saat itu terang-terangan tidak berani mendorong masyarakat membuka kebun. Saya harus meyakinkan kades, sayalah yang bertanggung jawab kalau berurusan dengan hukum," katanya. Syukur mengaku nekat membuka kebun baru karena lahan yang dibuka warga Pulau moyo di luar kawasan konservasi.
Akibat sepak terjangnya itu, Syukur kerap dipanggil ke kantor bupati. Ia juga dipanggil ke kantor polisi terkait kasus dugaan perladangan liar yang dilakukan warga Labuhan Aji.
Namun, dinas perkebunan setempat justru mendukung langkah Syukur. Mereka membantu melakukan persemaian bibit jambu mete, bahkan mendatangkan benihnya ke Pulau Moyo.
Kini, Syukur bisa tersenyum karena mete menjadi komoditas andalan warga Pulau moyo. Areal tanamnya diperkirakan mencapai 300 hektar.
Rata-rata setiap hektar tanaman jambu mete di pulau itu menghasilkan 1-2 ton. Dalam sekali panen, warga memperoleh penghasilan Rp 20 juta-Rp 30juta per hektar.
Pada panen terakhir tahun ini, harga mete turun, yakni Rp 7.500 per kg. Namun, ia tetap optimis karena pasar masih mampu menyerap komoditas itu.
"Mete dari sini (Pulau Moyo) dijual ke pengumpul di Sumbawa, lalu dikirim ke Surabaya, selanjutnya diekspor, paling banyak ke India," ujar syukur yang mempunyai lahan jambu mete sekitar 1,5 hektar.
Memelihara sapi
Ketika ekonomi warga Pulau Moyo kian meningkat dari hasil jambu mete, pada tahun 200-an Syukur kembali mendorong warga setempat beternak sapi. Ternak sapi memakan rumput yang menjadi gulma di kebun mete. Dengan demikian, tanaman mete bisa tumbuh baik.
Kini, warga Pulau Moyo yang jumlahnya 400 keluarga mempunyai banyak sapi. Rata-rata setiap keluarga mempunyai lebih dari lima sapi, bahkan ada yang sampai 20 sapi. Ia pun mendorong warga membuat kandang untuk mengantisipasi agar ternaknya tak lari ke hutan. Areal kandang yang disiapkan mencapai 30 hektar.
Dia juga membudidayakan kapulaga. "Informasinya, harga kapulaga sedang bagus, sekitar Rp 60.000 per kilogram,"ujar Syukur yang hobi memancing itu.
Sukses meningkatkan ekonomi warga setempat dengan jambu mete dan sapi, Syukur masih berkeinginan memajukan pendidikan di Pulau Moyo. Ia ingin agar di pulau ini ada sekolah menengah atas (SMA). Sebagai sekdes, lahan untuk sekolah itu sudah dia siapkan. Namun, hingga kini belum ada tindak lanjut dari Pemkab Sumbawa.
"Warga di sini yang ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat SMA harus ke Sumbawa. Bagi warga yang kemampuan ekonominya pas-pasan, kondisi ini pasti menjadi kendala," kata Syukur.
Dikutip dari KOMPAS, RABU, 19 SEPTEMBER 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar