Kamis, 06 September 2012

Nurcholis Agi: Hidup Liat dengan Barang Rongsokan

NURCHOLIS AGI
Lahir: Banyuwangi, 6 Desember 1967
Istri: Sulistianingsih (34)
Anak:
1. Isma (18)
2. Aditia (15)
3. Ariq (7)
4. Lutfi (5)
5. Halidinu Maldienu Agi (sebulan)
Pendidikan terakhir: Sekolah menengah atas
Riwayat pekerjaan: Sekitar 15 jenis pekerjaan sudah ditekuni
Pekerjaan kini: Pemilik Mall Rongsok, Mall Motor, Mall Kayu, dan Mall Mobil

Nurcholis Agi (44) memiliki keuletan, kemauan belajar, dan sifat pantang menyerah. Tidak banyak orang yang mampu menjalani hidup dengan paduan sifat tersebut. Kegigihan itu menjadikannya teladan, menghidupi 11 karyawan, serta sandaran hidup istri dan lima anaknya.

Saat ini Nurcholis bukan lagi dikenal sebagai penjaga kios rokok, mekanik bengkel, tukang racik obat di apotek, atau teknisi alat elektronik. Setidaknya sudah 15 jenis pekerjaan telah dijalaninya. Kini dia adalah pemilik mal rongsok, mal (sepeda) motor, mal kayu, dan mal mobil dengan aset sekitar Rp 1 miliar.
   Satu tahun mendatang, entah dia akan menjadi apa. Perjalanan hidupnya belum selesai. "Saya akan terus belajar dan bekerja sampai saya merasakan hidup seperti dalam surga," kata Nurcholis, pria kelahiran Banyuwangi, 6 Desember 1967, itu.
   Kisah lelaki ini penuh warna. Setiap memulai pekerjaan dia hanya bertekad bisa menjalaninya, walaupun bidang pekerjaan itu belum pernah ditekuninya. Dia selalu yakin dengan usaha dan belajar pekerjaan akan berjalan lancar. Saat akan menjadi teknisi alat elektronika misalnya, dia membeli beberapa televisi mati, lalu mempelajari bagian-bagiannya. Dia kemudian memanggil teman-temannya yang memiliki kemampuan elektronika. Pada saat itulah dia belajar dari rekannya, dan kemudian mencoba memperbaiki sendiri alat tersebut.
   Model belajar seperti ini yang membuat dia selalu bisa menjalani beragam pekerjaan, termasuk menjalankan bisnis barang bekas di Kota Depok.
   Suatu hari, ketika Kompas mengunjungi tempat usahanya di Jalan Bungur Raya Nomor 1, Kelurahan Kukusan, Kecamatan Beji, Kota Depok, Nurcholis melayani pembeli dan penjual barang bekas di Mall Rongsok miliknya.
  "Jangankan barang bekas, sampah pun mau saya terima," ujar Nurcholis. Dia memiliki kemampuan mengelola barang bekas dengan cara mengumpulkan, memperbaiki kerusakan, lalu menjual kembali. Usaha yang didirikan sejak tahun 2010 ini menjadi oase bagi kalangan pencinta barang antik, mahasiswa yang kepepet uang, dan keluarga dengan kemampuan ekonomi pas-pasan.

Tak ada yang terbuang

   Bukan tanpa alasan dia mau menerima barang dengan kondisi apapun. Sebab, jika barang bekas tersebut tidak laku, Nurcholis akan menjualnya ke pengepul untuk didaur ulang. Tidak ada yang tidak terpakai, semua terpakai dan laku dijual.
   Dia menyebut usahanya ini dengan istilah "rugi-rugian", seakan rugi tapi sebenarnya sangat menguntungkan. Melalui barang bekas itu, ayah lima anak ini bisa memperoleh pendapatan kotor Rp 3 juta per hari atau sekitar Rp 100 juta per bulan.
   Walau barang bekas, proses transaksi di Mall Rongsok berlangsung cepat. Saking cepatnya, pembeli bisa kehilangan kesempatan mendapatkan barang bagus dan murah. Contohnya, seorang warga menjual wastafel dari bahan logam pukul 14.00. Belum sempat barang itu dimasukkan ke ruang pajang, sudah ada dua orang yang menawar. Akhirnya barang itu laku pukul 15.00, satu jam setelah orang menjualnya ke Mall Rongsok.
   Di mal ini tersedia sedikitnya 5.000 jenis barang bekas yang terbagi dalam lima kelompok: televisi, komputer, perangkat sepeda motor, perangkat mobil, dan perlengkapan rumah tangga. Namun, di luar kelompok besar itu juga ada peralatan medis, kamera, alat musik, dan alat olahraga.
   Selain Mall Rongsok, usahanya yang terus berkembang adalah mal kayu, mal motor, dan mal mobil. Mal kayu menjual dan membeli segala jenis kayu bekas, begitu pun dengan mal motor dan mal mobil yang baru dibukanya setiap hari mulai pukul 08.00 sampai pukul 18.00.

Modal pinjaman

   Hanya segelintir orang yang tahu bahwa kegemilangannya mengelola barang bekas diawali dengan modal Rp 100.000, pinjaman dari temannya bernama Bejo, tahun 2000. Dia memanfaatkan uang pinjaman itu untuk menyewa tempat servis televisi. Setelah mengumpulkan tabungan Rp 10 juta, satu setengah tahun kemudian dia merintis usaha baru. Uang itu dipakai menyewa lahan seluas dua hektar di Kecamatan Beji untuk membuka pasar tradisional.
   Hanya berselang enam bulan, dia meninggalkan usaha ini karena respons warga minim. Dia kembali membuka servis televisi tahun 2002 dari sisa modal usaha buka pasar, sambil memulai usaha mengumpulkan barang bekas. Bersamaan dengan itu dia juga membuka usaha warung telekomunikasi atau wartel.
   Menjalankan usaha barang bekas bukan tanpa risiko. Empat tahun lalu dia harus berurusan dengan polisi gara-gara membeli sepeda motor yang ternyata bermasalah. Polisi menuduhnya sebagai penadah barang curian. "Itu pelajaran, saya tak mengira berhadapan dengan hukum," katanya.
   Seperti halnya Sidney Sheldon, penulis Amerika Serikat itu, Nurcholis tidak pernah lelah mencoba hal baru. Sidney pernah menjadi tukang sobek karcis bioskop, lalu terkenal sebagai seorang penulis dan sutradara. Nurcholis selalu mencoba hal baru selama itu membuka peluang hidup. Dia tidak yakin mengelola barang bekas akan terus dilakukan sampai akhir dari perjalanan hidupnya.
   Semua pencapaian hidupnya saat ini tidak lepas dari sosok sang ayah, almarhum Abdul Gani. Sejak hidup di Jember, lalu pindah ke Lumajang hingga kemudian merantau ke Kota Depok tahun 1975, Gani tidak lelah mencari peluang hidup. Berganti-ganti pekerjaan dan juga pernah mengelola barang bekas. "Dia idola saya, saya banyak belajar dari dia, termasuk mengelola barang bekas ini," katanya.
   Maka, sejak tahun 1985, ketika dia mengawali pekerjaan dengan menjadi penjaga kios rokok, dia yakin itu bukan akhir jalan hidupnya. Tahun 1988 dia bekerja di Apotek Beji, Kota Depok. Lima tahun kemudian dia berhenti, dan membuka usaha bengkel sepeda motor. Berselang setahun dia membuka bengkel mobil, lalu membuka studio musik pada tahun 1995. Petualangannya kemana-mana hingga kemudian membuka usaha servis telepon seluler pada tahun 1996.
   Memasuki saat sulit, pada tahun 1997, dia mulai bangkrut. Dia banting setir dengan membuka warung nasi, tapi usaha ini hanya berjalan enam bulan. Karena tidak ingin menganggur, dia kemudian berjualan stiker di Jalan Sudirman, Jakarta. Hampir bersamaan dengan itu, dia juga berdagang permen, sampo, dan makanan ringan untuk menyambung hidup.
   "Saya terinspirasi oleh nasihat kawan, seharusnya manusia dapat mengerjakan banyak hal untuk bertahan hidup," katanya. Sebuah perjalanan panjang hingga menjadi seperti sekarang. Namun, kondisi itu bisa saja berubah sewaktu-waktu.
                                                                   (ANDY RIZA HIDAYAT)


Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 7 SEPTEMBER 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar