Rabu, 26 September 2012

Syukur Abidin: Pelopor Mete di Pulau Moyo


SYUKUR ABIDIN

Lahir: Labuhan Aji, Pulau Moyo, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, 1951
Pendidikan: Akademi Maritim Indonesia (AMI), Denpasar, 1976
Istri: Marawia (50)
Anak:
- Suharno Putra Satria (16)
- Haryanti Putri Satria (10)

Seperti lilin yang memberi cahaya, tetapi tak memikirkan dirinya habis ditelan api. Itulah gambaran kehidupan Syukur Abidin, tokoh masyarakat Desa Labuhan Aji, Pulau Moyo, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.

OLEH SIWI YUNITA CAHYANINGRUM & SAMUEL OKTORA

Pria berusia 61 tahun, pelopor kesejahteraan ekonomi warga Pulau Moyo, ini memilih tetap tinggal di rumah panggung sederhana di pinggir pantai. sementara banyak warga desa binaannya hidup mapan dan tinggal di rumah berdinding batu.
   "Punya rumah kayu tak merisaukan, saya tetap senang dan bangga dengan rumah panggung ini. Masyarakat desa ini dulu terbelakang sekali, tetapi kini kondisi perekonomiannya kian baik. Saya yakin, lima atau sepuuh tahun lagi semua rumah di sini bangunannya batu (permanen)," katanya.
   Syukur, penduduk asli Labuhan Aji, mengetahui betul bagaimana perkembangan penduduk desa itu. Dia pernah menjabat sebagai Sekretaris Desa (Sekdes) Labuhan Aji selama tujuh tahun (2002-2009).
   Bahkan, ia yang seharusnya pensiun tahun 2009, masih diminta memegang urusan sekdes hingga kini. Pemerintah Kabupaten Sumbawa memilihnya karena belum ada sekdes yang mau ditempatkan di Pulau Moyo, menggantikan Syukur.
   Sejak masih kanak-kanak, ia tahu bagaimana kemiskinan membelenggu masyarakat Labuhan Aji. Warga saat itu hanya mengandalkan kehidupan dari padi ladang dan nelayan. Banyak warga desa yang tak sekolah, hanya tamat SD. Hingga tahun 2008 tak ada SMP di sini.
   Syukur mengenyam pendidikan SD di Sumbawa Besar pada 1964. Di Pulau Moyo, SD baru dibangun tahun 1970-an. Saat sekolah di Sumbawa, ia langsung duduk di kelas IV karena terlalu tua untuk menjadi murid kelas I. Saat itu rumahnya berdinding anyaman bambu.
   Kegetiran hidup secara ekonomi membuka pikiran Syukur. Dari kesusahan itu timbul tekadnya untuk membekali diri menuntut ilmu. Ia pun bercita-cita membangun desanya.

Dari Tambora

   Ia menyelesaikan pendidikan di Akademi Maritim Indonesia (AMI), Denpasar, tahun 1976. Suatu saat ia berkunjung ke rumah kerabatnya di kawasan Gunung Tambora, Kecamatan Kempo, Kabupaten Dompu, Pulau Sumbawa. Kerabatnya itu berhasil membudidayakan jambu mete.
   Saat itu, warga dan transmigran lokal dari Pulau Lombok di Kempo telah berhasil membudidayakan jambu mete. Hasil mete kala itu menjanjikan, Rp 3.000 per kilogram dengan pasar pasti.
   "Saya bertanya kepada saudara di Tambora, bagaimana ia bisa dapat uang untuk naik haji? Ternyata uang itu dari hasil menanam mete, ditambah ternak dan kopi. Saya pun tergerak untuk mengajak penduduk di sini (Pulau Moyo) menanam jambu mete," katanya.
   Tahun 1990-an, Syukur mulai mengajak warga Pulau Moyo menanam jambu mete dengan benih yang didatangkan dari Tambora.
   "Awalnya agak sulit sebab warga mengira pohon mete kecil dan lama berbuahnya. Pelan-pelan saya menjelaskan, dalam dua tahun mete bisa berbuah dan batang pohonnya segini (sambil memperagakan pelukan orang dewasa)," kata Syukur.
   Secara bertahap, warga mulai membuka lahan. Pohon di hutan ditebang untuk diganti dengan tanaman jambu mete. Namun, sejak itu masalah juga mulai menghadang sebab Syukur menjadi sasaran teguran kepala desa saat itu.
   Ia juga mendapat ancaman dari aparat Balai Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah II Sumbawa. Ia dituding mendalangi perusakan hutan.
   "Kepala desa (kades) saat itu terang-terangan tidak berani mendorong masyarakat membuka kebun. Saya harus meyakinkan kades, sayalah yang bertanggung jawab kalau berurusan dengan hukum," katanya. Syukur mengaku nekat membuka kebun baru karena lahan yang dibuka warga Pulau moyo di luar kawasan konservasi.
   Akibat sepak terjangnya itu, Syukur kerap dipanggil ke kantor bupati. Ia juga dipanggil ke kantor polisi terkait kasus dugaan perladangan liar yang dilakukan warga Labuhan Aji.
   Namun, dinas perkebunan setempat  justru mendukung langkah Syukur. Mereka membantu melakukan persemaian bibit jambu mete, bahkan mendatangkan benihnya ke Pulau Moyo.
   Kini, Syukur bisa tersenyum karena mete menjadi komoditas andalan warga Pulau moyo. Areal tanamnya diperkirakan mencapai 300 hektar.
   Rata-rata setiap hektar tanaman jambu mete di pulau itu menghasilkan 1-2 ton. Dalam sekali panen, warga memperoleh penghasilan Rp 20 juta-Rp 30juta per hektar.
   Pada panen terakhir tahun ini, harga mete turun, yakni Rp 7.500 per kg. Namun, ia tetap optimis karena pasar masih mampu menyerap komoditas itu.
   "Mete dari sini (Pulau Moyo) dijual ke pengumpul di Sumbawa, lalu dikirim ke Surabaya, selanjutnya diekspor, paling banyak ke India," ujar syukur yang mempunyai lahan jambu mete sekitar 1,5 hektar.

Memelihara sapi

   Ketika ekonomi warga Pulau Moyo kian meningkat dari hasil jambu mete, pada tahun 200-an Syukur kembali mendorong warga setempat beternak sapi. Ternak sapi memakan rumput yang menjadi gulma di kebun mete. Dengan demikian, tanaman mete bisa tumbuh baik.
   Kini, warga Pulau Moyo yang jumlahnya 400 keluarga mempunyai banyak sapi. Rata-rata setiap keluarga mempunyai lebih dari lima sapi, bahkan ada yang sampai 20 sapi. Ia pun mendorong warga membuat kandang untuk mengantisipasi agar ternaknya tak lari ke hutan. Areal kandang yang disiapkan mencapai 30 hektar.
   Dia juga membudidayakan kapulaga. "Informasinya, harga kapulaga sedang bagus, sekitar Rp 60.000 per kilogram,"ujar Syukur yang hobi memancing itu.
   Sukses meningkatkan ekonomi warga setempat dengan jambu mete dan sapi, Syukur masih berkeinginan memajukan pendidikan di Pulau Moyo. Ia ingin agar di pulau ini ada sekolah menengah atas (SMA). Sebagai sekdes, lahan untuk sekolah itu sudah dia siapkan. Namun, hingga kini belum ada tindak lanjut dari Pemkab Sumbawa.
   "Warga di sini yang ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat SMA harus ke Sumbawa. Bagi warga yang kemampuan ekonominya pas-pasan, kondisi ini pasti menjadi kendala," kata Syukur.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 19 SEPTEMBER 2012 

Selasa, 25 September 2012

Pingkan Mandagi: "Kembang di Langit Manado"


PINGKAN NATALIA MANDAGI

Lahir: Bandung, 15 Desember 1974 
Suami: Budiman
Anak:
- Darel Kynan Aditya (6)
- Dimara Kania Amayagita (2)
Pendidikan:
- SD Kristen Eben Haezer, Manado, 1981
- SMP Kristen Eben Haezer, Manado, 1987
- SMA Kristen Eben Haezer, Manado, 1991
- ITB Penerbangan, 1994
- Desain Interior Itenas, Bandung, 1996
Pekerjaan: PNS Dinas Pemuda dan Olahraga Pemprov Sulut
Rekor terjun: 2.120 kali
Pelatihan, antara lain:
- Diklat Terjun Payung Gabungan Angkatan Udara, kalijati, 1991
- Kursus intensif di Perth Skydiving Center, Dale River, Australia, 1992
- Kursus intensif di Sydney Skydiving Centre, Australia, 1996
Prestasi:
- 11 medali dalam PON 2000 sampai 2012
- Juara pertama beregu International Open Parachuting Championship, 
  Manado, 2005
Penghargaan, antara lain:
- Atlet Terbaik FASI, 2005
- Atlet Putri Terbaik Pemprov Sulawesi Utara 2009

Emas itu bagai jatuh dari langit saat Pingkan Natalia Mandagi (37) menjuarai nomor ketepatan mendarat perorangan wanita cabang terjun payung pada Pekan Olahraga Nasional ke-18 di Pekanbaru, Riau, Selasa (18/9). Sehari sebelumnya, ia merebut emas nomor ketepatan mendarat beregu wanita bersama Tuty Waroka Lestari. Ia meneruskan dominasi trah Mandagi dalam olahraga terjun payung nasional.

OLEH JEAN RIZAL LAYUCK

Dua emas diraihnya di Pekanbaru. Ini menambah koleksi emas Pingkan selama mengikuti enam PON, menjadi 11 medali emas. Prestasinya cukup menonjol untuk kategori perempuan atlet di Indonesia.
   Media di Manado menjuluki Pingkan "Kembang di Langit Manado", ada juga yang menyebutnya "Ratu Terjun Payung". Apa pun, ia tetap sosok yang rendah hati. Ia menghargai semua perhatian kepadanya sebagai atlet terjun payung.
   "Emas ini memang dari langit, syukur kepada Tuhan. Emas buat papa, mama, suami, Petra (saudaranya), dan kedua anak saya. Terima kasih saya buat Pak Gubernur (SH Sarundajang) dan Pak Olly (Dondokambey, Ketua KONI Sulut)," katanya.
   Bagi dia, Sarundajang dan Dondokambey berjasa atas prestasinya karena memberi kesempatan berlatih di Australia sekaligus membeli parasut baru untuk berlomba di Pekanbaru.
   Pingkan pun mengenang ayahnya, Theo Mandagi, yang meninggal saat terjun pemecahan rekor internasional kerja sama di udara di Bali, tahun 2004. Theo telah mencatat rekor terjun 2.800 kali dengan prestasi nasional dan internasional hingga menutup mata pada usia 57 tahun.
   Sebelumnya, tiga paman Pingkan, Robbie Mandagi, Alfred Mandagi, dan Chrisye Mandagi, meninggal dalam kecelakaan pesawat saat akan melakukan penerjunan di kawasan Rumpin, Tangerang.
   Bercerita tentang ayahnya, Pingkan dan Theo menyapu bersih nomor ketepatan mendarat perorangan putra dan putri pada PON tahun 2000 di Jakarta. Pada PON itu, Pingkan pun merebut emas nomor beregu bersama Olivia Bolang.
   "Emas waktu itu sangat manis. Saya merayakan emas dengan makan bakso bersama papa di warung dekat tempat lomba," katanya.
   Bagi Pingkan, Theo selalu memberi inspirasi setiap kali ia berlomba. "Papa bilang 'Kamu harus lebih hebat dari papa'," kata Pingkan yang saudara kandungnya,Petra, juga atlet terjun payung Sulawesi Utara (Sulut). Tahun ini Petra absen berlomba karena tim terjun payung putra gagal lolos prakualifikasi.

Menjadi PNS

   Bagi Pingkan, meraih medali emas pada ketepatan mendarat perorangan dan beregu pada PON Pekanbaru adalah saat monumental. Pencapaian prestasinya selama pelaksanaan PON pun bisa dibilang cemerlang, sejak  PON ke-13 tahun 1993 di Jakarta hingga PON ke-17 di Kalimantan Timur tahun 2008, Pingkan mengoleksi 9 medali emas, 1 perak, dan 1 perunggu.
   Hampir setiap pelaksanaan PON ia menggondol medali emas, entah itu nomor perorangan atau nomor beregu. Malah pada PON ke-16 di Surabaya, ia menyapu bersih tiga emas dari nomor ketepatan mendarat perorangan, beregu, dan campuran.
   Pada PON ke-17 di Kaltim, Pingkan meraih dua emas dari dua nomor spesialisasinya di perorangan dan beregu. Ia hanya gagal pada PON tahun 1993 di Jakarta dengan perunggu.
   "Maklum, tahun itu (1993) pertama kalinya saya bertanding di PON bersama almarhum papa," kata sarjana seni rupa Institut Teknologi Nasional (Itenas) Bandung ini.
   Ketika merebut emas tahun 2004 pada PON di Palembang, ia mendapat hadiah khusus, diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di Provinsi Sulut. Sejak saat itu, Pingkan yang bermukim di Bandung pindah ke Manado dan bekerja pada Dinas Pemuda dan Olahraga Sulut.
   Ia bercerita, sebelum PON di Pekanbaru dia sempat merasa waswas karena parasutnya telah dipakai sejak 1993. Ia khawatir latihannya di Australia bakal sia-sia jika ia terkena diskualifikasi karena parasutnya tak memadai.
   Rekan atlet penerjun asal Sulut, Franky Kowaas, gagal mengikuti lomba kejuaraan nasional tahun 2011 karena parasutnya dinilai tak layak. Pingkan beruntung, parasut baru diperolehnya dari Gubernur Sarundajang.
   "Selama berlatih di Australia, sehari kami terjun lima sampai sembilan kali. Berbeda jika kami berlatih di tanah Air, sehari hanya dua kali terjun karena keterbatasan pesawat," katanya.
   Hingga kini Pingkan mencatat rekor terjun 2.100 kali dengan spesialisasi ketepatan mendarat (accuracy landing) dan kerja sama di udara (freefall formation).

Terjun tandem

   Bercerita tentang keterlibatannya sebagai atlet penerjun payung, Pingkan mulai menggeluti olahraga itu sejak berusia 16 tahun. Ia dua kali terjun tandem bersama ayahnya dan pada kali ketiga Pingkan minta terjun sendiri.
   Bakat Pingkan diturunkan dari ayah dan ibunya, Sritjiptowati Soebiandono yang juga menjadi atlet terjun Jawa Barat. Hanya enam bulan berlatih, Pingkan lalu mengikuti kejurnas tahun 1991 dan meraih perunggu. Setahun kemudian, ia berkesempatan belajar teknik terjun payung di Perth, Australia.
   Dia pun menjuarai berbagai lomba terjun payung nasional dan tingkat mahasiswa sampai mendapat penghargaan sebgai atlet terbaik FASI tahun 2005.
   Pada pertandingan tingkat mahasiswa, ia membawa nama Institut Teknologi Bandung (ITB) sebab ia pernah kuliah bidang penerbangan di ITB selama beberapa tahun sebelum pindah ke Itenas.
   Pada 1997 Pingkan tercatat sebagai atlet terjun payung 15 besar dunia untuk kategori wanita senior saat lomba terjun payung internasional di Ephesus, Turki. PAda 2009 ia menajdi atlet putri terbaik Sulut.
   Dua medali emas yang direngkuh Pingkan pada PON di Pekanbaru melecut semangatnya untuk melakukan regenerasi atlet terjun payung Sulut.
   "Ada 10 atlet wanita dan pria yang siap digodok. Mereka memiliki keberanian terjun. Itu dululah, teknik bisa menyusul," katanya.
   Bagi Pingkan, terjun payung adalah hal penting dalam kehidupan dia dan keluarganya. "Saya akan terjun sampai kapan pun," ujarnya.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 26 SEPTEMBER 2012

Senin, 24 September 2012

Keutamaan Utomo Josodirdjo


UTOMO JOSODIRDJO
Lahir: Malang, 1 Januari 1930
Kegiatan kini: anggota Board World Vision International (2004-2010), Board Wahana Visi Indonesia (2004-2012)

Utomo Josodirdjo (82) menyaksikan begitu banyak peristiwa kemanusiaan dalam 12 tahun terakhir. Dunia nyata itu semakin membukakan hatinya untuk terus melakukan yang terbaik dalam sisa hidupnya.

OLEH MARIA HARTININGSIH

Pagi itu, di rumahnya di bilangan Cilandak, Jakarta Selatan, Pak Tom, sapaannya, mengenang berbagai peristiwa yang sempat menyisakan banyak pertanyaan tentang hidup.
   "Di Nigeria saya menyaksikan anak-anak dikurung di satu gudang," ia mengenang salah satu pengalamannya. "Mereka dipisahkan dari orangtua yang terinfeksi HIV/AIDS. Di situ mereka tidak disekolahkan dan menjadi liar.
   Di Romania, ia terenyak melihat kondisi anak-anak di panti asuhan yang lebih mirip kamp konsentrasi pada masa Ceacescu berkuasa. Setelah diktator itu dihukum mati tahun 1989, kondisi anak-anak, terutama  yang memiliki darah "tak murni" Romania (Bulgaria, Gypsie, Hongaria), makin memprihatinkan. Sebagian besar perawatnya berasal dari masa rezim Ceacescu yang memperlakukan anak-anak itu seakan sampah.
   Pada malam-malam setelah perjalanan, dalam keheningan di rumah penginapan sederhana, ia berlutut di hadapan Sang Khalik, dan menangis.
   "Word Vision membantu anak-anak menjadi manusia penuh," ujar Pak Tom yang selama enam tahun (2004-2010) menjadi anggota Board World Vision International (WVI), organisasi kemanusiaan internasional lintas iman, lintas batas, yang berkarya untuk anak, keluarga, dan komunitas.
   "Saya ke Banda Aceh empat hari setelah tsunami," kenang Pak Tom. Ia beberapa kali berkunjung ke Papua. "Saya sedih melihat kondisi anak-anak. Saya merasa, kita hanya melakukan sedikit untuk mereka."

Tiga fase hidup

   Pengalaman seperti itu tak terbersit dalam hidup Pak Tom sebelum usianya mencapai 60 tahun, pada 1990. "Hidup saya seperti terbagi dalam tiga fase," katanya, setelah menguraikan kebahagiaannya sebagai kakek empat cucu dari dua anaknya.
   Pertama, adalah fase belajar. Setelah menolak mengikuti jejak sang kakek sebagai dokter, satu dari tiga bersaudara itu memilih studi ekonomi ke Rotterdam, Belanda. Di situ ia bertemu Utami, gadis asal Bogor, yang sedang belajar juga. Keduanya menikah.
   Ketika pulang, Utomo bekerja pada lembaga pemerintah dan mengajar di Universitas Airlangga, Surabaya. Ia membuka jurusan akuntansi di universitas itu.
   Utomo Josodirdjo dikenal sebagai "Bapak Akuntansi" di Indonesia. Sarjana ekonomi dari RSM Erasmus University, Rotterdam, Belanda, dan sarjana akuntansi Universitas Indonesia itu pendiri kantor akuntan terkemuka, SGV Utomo, tahun 1970. "Itu fase kedua hidup saya," kenangnya.
   Usaha jasa audit profesional itu membesar menjadi Utomo&Co, sempat bergabung dengan Arthur Andersen, lalu menjadi Ernst&Young Indonesia setelah  bergabung dengan satu dari empat firma jasa akuntansi terbesar dunia, Ernts&Young.
   "Ketika saya tinggalkan, perusahaan berkembang bagus, dari 20 staf, menjadi 500, lalu 1.500," ungkap Pak Tom.
   Dari awal gagasan mendirikan kantor akuntan itu, Pak Tom tak mengikuti pola "one man one show". "Kita membutuhkan kantor akuntan besar dilengkapi riset yang kuat dan terus mengikuti perkembangan dunia. Saya harus bermitra dengan orang-orang pintar. Sebagai mitra, mereka punya hak penuh sebagai pemilik."
   Strategi itu ternyata jitu. "Saya buat peraturan, usia 60 harus pensiun. Jadi saya berhenti tahun 1990. Modal dikembalikan ditambah keuntungan. Saya yakin mitra saya akan mengembangkannya, dan itulah yang terjadi kemudian."

Pergulatan

   Setelah itu, mulailah Pak Tom meniti masa yang ia sebut "fase ketiga" hidupnya. "Perasaan kosong semakin kuat. Saya tak tahu harus berbuat apa. Bersama istri saya keliling dunia selama setahun, ke AS, Belanda, juga India."
   Pada masa itulah pergulatan spiritualnya menajam. Ia mulai berlatih mengikis ego sebagai "orang sukses". Tak terlalu mudah, karena bayangan jejaknya yang kuat. Beruntung ia punya teman-teman terbaik, seperti Rachmat Saleh, Gubernur BI 1973-1983 dan Menteri Perdagangan 1983-1988 yang tak lelah berbagi tentang kerendahan hati.
   Pertemuannya dengan Anugerah Pekerti adalah titik baliknya. Pekerti memperkenalkannya pada Wahana Visi (World Vision) Indonesia, mitra pelayanan WVI di Indonesia, tahun 1994. Meski ia baru mantap bergabung enam tahun kemudian.
   "Saya bertemu komunitas miskin terbelakang di berbagai tempat di mana WVI berkarya. Tuhan menyodori saya kenyataan riil. Dulu saya hanya mengurus angka, keuntungan, kini menemui individu termiskin dari yang miskin. Hidup saya berubah."
   Perjalanan jauh pada usia sepuh itu melengkapi hidupnya. "Saya banyak belajar, khususnya tentang hubungan antarmanusia. Dari pengalaman berbicara dengan board dan pimpinan perusahaan besar dunia yang ingin tahu perkembangan bisnisnya di Indonesia, saya tahu, modal manusia adalah terpenting. Perusahaan bagus pun bisa kolaps kalau tak memperhatikan modal manusia."
   Sementara bidang akuntansi yang dikembangkan dan digelutinya berpuluh tahun hanya melihat angka dan laba. "Keputusan diambil berdasarkan angka, mengabaikan kisah di balik itu, lupa manusianya. Ini kelemahan besar. Saya bersyukur tak ada anak saya masuk ke bidang itu."

Semakin kosong

   Meski kantornya maju pesat, perasaan kosong makin kuat. Dalam suatu pertemuan di New York tahun 1986, ia mendengar para tokoh bicara tentang kebutuhan "ini-itu" demi pertumbuhan, termasuk pembuatan reaktor nuklir dan pembangunan bendungan raksasa di China, India, juga Indonesia, yang menghancurkan puluhan desa.
   "Saya tanya, bagaimana manusianya? Mereka bilang 'akan diperhatikan'. Saya tanya lagi, bagaimana? 'Dipindah, dikasih rumah, beres'. Saya lalu membayangkan, kami harus terusir dari rumah ini karena tanahnya mau dibuat proyek jalan. Rumah bukan sekadar bangunan, seluruh emosi dan pengalaman kami ada di situ. Tanah ini akar saya."
   Ia terus diganggu persoalan itu, dan makin banyak memikirkan tentang staf di kantor, di rumah, sampai ia berhadapan dengan berbagai kenyataan riil yang mengguncang itu.
   Begitulah sebagian proses yang ia bagikan. Kini ia merasa, hidupnya penuh, sampai usia 80 tahun, ia masih melakukan perjalanan jauh dan main golf dua kali seminggu. "Sekarang pakai kereta" katanya. Hobi terbang berhenti pada usia 72 tahun karena kondisi matanya menurun.
   Hidup dilaluinya penuh syukur. Selain bermain dengan cucu, ia setia menemani Utami (84) yang kurang sehat. Sisa hidupnya adalah hari-hari untuk memenuhi janji: melakukan terbaik dari yang baik. Life is beautiful......

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 24 SEPTEMBER 2012

Selasa, 18 September 2012

Ignasius Jonan: Mengubah Indonesia Lewat Kereta Api


IGNASIUS JONAN 

Pendidikan:
- 2004-2005: MA dari Fletcher School of Law and Diplomacy, International 
  Relation and Affairs
- 200: Senior Managers in Government Program, Harvard Kennedy School of 
  Government
- 1999: Senior Executive Program Columbia University
- 1982-1986: S-1 Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi, Universitas Airlangga
Pekerjaan:
- 2009-kini: Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia
- 2006-2008: Managing Director and Head of Indonesia Investment Banking 
  Citi
- 2001-2006: Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero)
- 1999-2001: Direktur Private Equity Citi
- 1986: Arthur Andersen

Tiga tahun lalu kereta api dan stasiun identik dengan kekumuhan dan kesemrawutan. Kini, datanglah ke stasiun. Anda akan melihat perubahan. kebersihan, kerja keras, dan disiplin bisa terlihat di tempat itu. Jutaan penumpang kereta api menjadi saksi.

OLEH HARYO DAMARDONO & ANDREAS MARYOTO

Di tangan Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (KAI) Ignasius Jonan, perubahan itu dimulai. Ketika diamanahi memimpin BUMN transportasi ini, ia sempat berujar kepada Sofjan Djalil, mantan Menteri BUMN, apakah dengan latar belakangnya di bidang akuntansi ia tepat mengabdi di dunia transportasi?
   Namun, begitu dilantik pada 25 februari 2009, tiga bulan pertama dilalui Jonan dengan mempelajari PT KAI dan perkeretaapian. Ia memperkenalkan sistem meritokrasi.
   "Tak ada lagi urut kacang atau persaingan antarkelompok untuk meraih posisi," ujar Jonan. Bekerja profesional menjadi keseharian pegawai PT KAI.
   Kemudian kompensasi pegawai dinaikkan secara bertahap. Dalam tiga tahun terakhir, ada beberapa jabatan yang penghasilannya dinaikkan berlipat.
   "Begitu saya tahu gajinya tak wajar, ya, harus disesuaikan, entah bagaimana caranya. Tidak mungkin pekerja yang melayani publik mendapat gaji kecil," ujarnya.
   Bagaimana perusahaan yang merugi Rp 83,4 miliar pada 2008 itu punya dana untuk menaikkan gaji? "Saya sampaikan kepada pegawai, ayo kita cari dana bersama-sama," ujarnya. Walau komponen gaji pegawai naik, PT KAI tetap mencetak laba bersih Rp 153,8 miliar pada 2009. Dua tahun terakhir, laba bersih KAI pun lebih dari Rp 200 miliar.
   Bagaimana itu mungkin? "Kalau gaji pekerja bagus, kinerjanya juga bagus," ujarnya. Ia menganalogikan dengan seekor sapi yang melintas di depan orang lapar. "Mungkin hanya butuh 1 kilogram daging, tetapi karena tak mungkin memotong secuil daging, ya dibunuh sapinya. Sebuah perusahaan juga bisa seperti sapi itu," kata Jonan.

Tentang pegawai

   Begitu memimpin KAI, ia tak langsung memangkas pegawai. "Jumlah pegawai itu tak pernah berlebih, mungkin yang kurang pekerjaannya," ujarnya. Keadilan coba ditegakkan, semisal gaji komandan di lapangan harus lebih tinggi daripada komandan di kantor.
   "Tak boleh ada toleransi dan harus konsisten saat kita memutuskan kebijakan di perusahaan layanan umum," ujar Jonan.
   Tak sekadar bicara, dia pun memberi contoh. Saat mendapati penumpang tak mampu yang hendak naik kereta tanpa membeli tiket, dia merogoh kantong. "Saya bayari sendiri," ceritanya.
   Rasa kasihan adalah urusan personal, sementara KAI adalah perusahaan negara yang harus dikelola profesional. "Kalau ada pegawai lain merasa kasihan, ya, bayari saja dari kantong mereka sendiri. Ini bukan perusahaan milik mereka, tetapi milik negara. Sistem harus ditegakkan."
   Cenderung bicara keras dan apa adanya, itulah Jonan. Masyarakat bisa merasakan saat ia menerapkan sistem boarding dan kebijakan satu nama-satu tiket. Ia tak goyah ketika ada pihak yang mengkritik.
   Penumpang kereta jarak jauh dan sedang juga harus duduk. Sementara untuk meminimalkan calo, nama di tiket harus sesuai dengan kartu identitas. Kebijakan ini bikin heboh. Penumpang terkaget-kaget.
   Banyak penumpang, bahkan pegawai KAI, dan orang penting yang angkat suara, Meski justru terkesan menyepelekan penumpang dengan mengatakan, mungkinkah penumpang kereta diatur seperti itu? Bagaimanapun, hasilnya penumpang nyaman.
   Siapa pun yang keberatan dengan sistem itu boleh melongok Stasiun Pasar Senen yang kini nyaman. Sistem boarding tak sekadar membuat stasiun lebih bersih, juga mengamankan pendapatan KAI. Namun, yang terpenting, mampu mengedukasi masyarakat.
   Awalnya pegawai KAI mengeluhkan sulitnya mengajari penumpang antre. namun, lambat laun, penumpang sendiri yang mengakui antre membuat mereka lebih nyaman.
   Apabila dulu pegawai PT KAI harus mengancam menurunkan penumpang yang merokok, pascaditerapkannya larangan merokok pada Maret 2012, sesama penumpang mengingatkan penumpang lain yang merokok di atas kereta.
   Komisi Nasional Pengendalian Tembakau pun menghargai komitmen KAI dalam melarang aktivitas merokok di atas kereta dan lingkungan stasiun.
Inovasi juga diluncurkan PT KAI awal Agustus silam. Pembelian tiket bisa melalui situs http://www.kereta-api.co.id. Lewat sistem ini calon penumpang lebih mudah membeli tiket.
   Alhasil, dalam penutupan Pos Koordinasi Tingkat Nasional Angkutan Lebaran Terpadu tahun 2012. Selasa (28/8), hanya moda kereta api yang mendapat pujian. Menteri Perhubungan pun melontarkan niatnya menerapkan sistem boarding di terminal bus dan pelabuhan.

Tak ragu

   Perubahan-perubahan itulah yang dirasakan penumpang kereta api. Mereka tak lagi berdesak-desakan di stasiun. Kebersihan di stasiun dan kereta api terjaga. Jadwal keberangkatan dan kedatangan juga semakin sesuai dengan yang dijanjikan.
   Perubahan itu dilakukan Jonan dengan tegas tanpa pandang bulu. Mengapa berani?
   "Ini dari ketiadaan vested interest pada diri saya. Kalau tidak punya kepentingan tertentu, kita takkan ragu memutuskan atau berbuat apapun," ujar Jonan.
   Empat puluh sembilan tahun lalu, Jonan lahir di Singapura. Ia tumbuh dalam keluarga yang mapan, kemudian berkarier gemilang pada perusahaan finansial multinasional. Maka, boleh dikatakan, hari-harinya di PT KAI dijalani sebagai sebuah pengabdian.
   Setelah 3,5 tahun memimpin PT KAI, apakah kini gairahnya tertuju pada perkeretaapian? "Bagi saya, yang penting pekerjaan ini bermanfaat buat banyak orang," ujar Jonan.
   Dia yakin kereta api merupakan bagian dari solusi masalah di Indonesia. Sebagai contoh, mengenai banyaknya korban dalam arus mudik, Jonan menawarkan solusi untuk Lebaran 2013.
   "Apabila pemerintah mau menyubsidi pengangkutan sepeda motor dengan kereta, KAI akan mengangkut 300.000 motor pulang-pergi. Mengapa kami butuh subsidi? Karena pemudik butuh tarif yang terjangkau. Tanpa itu, mereka tetap akan menantang bahaya untuk mudik," katanya.
   Dari kereta api kita bisa bercermin, sesungguhnya Indonesia mampu berubah. Disiplin, kerja keras, dan kejujuran bisa dibangkitkan kembali melalui contoh langsung.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 31 AGUSTUS 2012

Senin, 17 September 2012

Ellena Khusnul Rachmawati: Filosofi Induk Ayam


ELLENA KHUSNUL RACHMAWATI

Lahir: Yogyakarta, 28 Februari 1969
Anak:
- Iqbal Raditya Haqie (21)
- Annisa Adinda Qita (16)
Pendidikan:
- SD Kanisius Tegalmulya, Yogyakarta
- SMP Stella Duce Yogyakarta
- SMA Stella Duce Yogyakarta
- Akademi Akuntansi Yayasan Keluarga Pahlawan Negara Yogyakarta, lulus 
  1999

Keberhasilan membangun kemandirian ataupun pemberdayaan masyarakat dengan ditopang dana yang cukup, itu merupakan cerita biasa. Peristiwa itu baru menjadi kisah luar biasa apabila pemberdayaan tersebut hanya bermodalkan semangat untuk menggalang potensi sumber daya yang dimiliki masyarakat. Bagaimana caranya? Perempuan bernama Ellena Khusnul Rachmawati punya jawabannya.

OLEH KHAERUL ANWAR

"Saya hanya berusaha memegang filosofi induk ayam," kata Ellena, Ketua Yayasan Masyarakat Peduli. Bagi warga Jalan Pejanggik 65, Kelurahan Pancor, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, ini, induk ayam digambaarkan selalu berbagi kehangat dengan janin dalam telur yang tengah dieraminya.
   Setelah menetas, sang induk ayam pun mengajak dan membimbing anak-anaknya mencari dan mengais makanan. Ketika sudah dewasa, jenis unggas itu bisa menjadi penunjuk waktu lewat suara kokoknya.
   Artinya, dalam proses pemberdayaan, masyarakat perlu pendampingan. Mereka perlu diajak bicara "dari hati ke hati" tentang realitas yang dihadapi sehari-hari. Lalu, dari fakta-fakta itu mereka diupayakan agar termotivasi untuk berbuat dan menemukan solusi.
  "Jalan keluar yang diyakini mampu mengatasi persoalan secara bersama-sama. Tentunya dengan potensi yang mereka miliki, tanpa bergantung pada pihak lain," kata Ellena.
   Pada pendekatan yang ditempuh Ellena tersebut bukanlah isapan jempol. Apa yang telah dia lakukan itu kemudian dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, misalnya warga di Desa Pijot, Lombok Timur.
   Usaha garam warga di Desa Pijot bisa hidup kembali dari "mati surinya" setelah "dierami" Ellena. Garam hasil usaha warga yang semula non yodium itu dijadikan produk garam beryodium.
   Bahkan, lewat jaringan kerjanya di antara sesama lembaga swadaya masyarakat (LSM), Ellena mendapat bantuan bahan-bahan formula untuk pproduk garam beryodium. Tak hanya itu, pihak eksekutif dan legislatif Lombok Timur juga "dipaksanya" untuk membuat peraturan daerah. Lalu, mereka bersama-sama mengawasi peredaran garam luar daerah yang bisa mematikan usaha garam rakyat lokal.

Desa binaan

   Belakangan, Ellena dipilih menjadi Ketua Forum Kabupaten Sehat yang beranggotakan Satuan Kerja Perangkat Daerah Pemerintah Kabupaten Lombok Timur. Ini setelah desa binaannya, yakni Desa Sajang, lewat program air bersih, dan Desa Kalijaga Timur dengan sanitasi dan lingkungan, meraih juara pertama pada Lomba Kabupaten Sehat Tingkat Nasional 2011.
   Tampil sebagai pembicara dalam berbagai seminar dari Papua sampai Aceh, Ellena juga dilibatkan sebagai tim penasihat ataupun tim ahli dalam berbagai bidang yang dibentuk pihak legislatif dan eksekutif. Semua itu adalah buah keberhasilan yang menyertai kiprahnya selama ini.
   Kendati telah dilibatkan dalam berbagai institusi,Ellena tidak memanfaatkan "jabatannya" tersebut untuk mendapatkan proyek. Dia paham betul bahwa sifat "aji mumpung" seperti itu justru membuat kepercayaan publik kepadanya akan meluntur.
   Di sisi lain, bisa dikatakan tidak seorang pun mampu menghalangi Ellena untuk menggelar program yang diyakininya bisa menggerakkan inisiatif dan partisipasi warga.
   Untuk melaksanakan program tersebut, Ellena yang dinilai berbagai pihak sebagai sosok yang "gila kerja" ini tidak ragu merogoh kocek pribadi. Dia juga tidak segan menunda gaji para staf kalau ternyata uang untuk gaji stafnya tersebut diperlukan lebih dahulu guna menalangi biaya program yang dilaksanakan untuk kepentingan warga.

Mengubah pola pikir

  Sikap seperti itu pula yang ditunjukkan Ellena dalam memelopori pemasangan pipa air bersih bagi masyarakat Desa Sajang, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur.
   "Awalnya saya tidak percaya. Ironis, warga Desa Sajang yang bermukim di kaki Gunung Rinjani, yang notabene adalah sumber air, juga dikenal lewat produk bawang putihnya, justru mengalami krisis air bersih," kata Ellena, anak pasangan Yohanes Soeranto dan Rosalina Geertruida Vilanueva ini.
   Dengan filosofi induk ayam pula, Ellena berkali-kali mendatangi dan mendengar warga yang mencurahkan kesulitan mereka, terutama bagaimana mereka bisa mengatasi kesulitan air bersih yang kemudian dijadikan "isu bersama" itu.
   Warga lalu diajaknya membandingkan suasana empiris desa masa lalu dan kini. Tujuannya, lewat memori kolektif tersebut, warga akan "terbakar" semangatnya untuk mengatasi kesulitan di desanya.
   Untuk itu, Ellena kemudian merangkul pemuka masyarakat, tokoh agama, dan instansi teknis agar mau membantu. Semua itu dilakukannya sambil terus memompa semangat warga untuk mewujudkan cita-cita mereka. Pada 2009 ditemukan dua sumber air dengan debit 7 liter per detik pada ketinggian 2.200 meter di kawasan Gunung Rinjani.
   Maka, dalam waktu sekitar tiga bulan, terpasanglah pipa air sepanjang 25 kilometer dari sumber air tersebut, menerabas semak belukar dan bukit terjal berkemiringan 70 derajat-90 derajat, menuju permukiman warga.
   Saat proses pemasangan pipa berjalan, Ellena tetap turut mendampingi warga yang bergotong royong. Ia ikut menginap berhari-hari dan tidur di tempat terbuka, menahan cuaca dingin di kawasan tersebut. Dari sumber air itu, kini 1.015 keluarga atau 4.512 warga yang tersebar di empat dusun pun bisa menikmati air bersih.
   Ketika program yang diupayakannya membuahkan haasil, ada kebanggaan dan kepuasan menyertai batin Ellena. Program itu tak hanya mewujudkan cita-cita mereka secara fisik, tetapi juga dapat mengubah sikap dan pola pikir warga yang didampinginya.
   Misalnya, warga bisa menggunakan waktunya dengan lebih efektif. Sebab, mereka tidak lagi harus antre mulai pukul 03.00 guna mengambil air di sumber air terdekat. Selain untuk kepentingan rumah tangga, air itu juga cukup untuk mengairi lahan tanaman tomat yang dibudidayakan warga.
   "Kabarnya, ada 25 sepeda motor baru milik warga yang dibeli dari hasil penjualan tomat," katanya.
   Kemandirian masyarakat adalah sasaran Ellena. Oleh karena itu, manakala sasaran tercapai,  "Saya secepatnya pindah, melakukan pendampingan kepada warga di desa yang lain."
   Begitulah, "sang induk ayam" ini dengan kepak sayapnya pergi menghangatkan dan menetaskan "telur" baru di tempat yang baru. Dia berusaha mengingatkan orang lewat "kokoknya", mendampingi hingga warga mampu hidup mandiri.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 18 SEPTEMBER 2012

Edi Sedyawati: Mempertemukan Tari dengan Arkeologi

EDI SEDYAWATI
Lahir: Malang, 28 Oktober 1938
Pendidikan:
- Jurusan Arkeologi, Universitas Indonesia (1963) 
- Fakultas Sastra, Universitas Indonesia (doktor, 1985)
Profesi, antara lain:
- Pengajar Fakultas Ilmu Budaya UI (1963-sekarang)
- Ketua jurusan/Akademi Tari, LPKJ (1971-1977)
- Ketua Jurusan Arkeologi, UI (1971-1974)
- Ketua Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta (1971-1976)
- Pembantu Dekan I Fakultas Kesenian, Institut Kesenian Jakarta 
  (IKJ;1978-1980)
- Pembantu Rektor I IKJ (1986-1989)
- Ketua Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra, UI (1987-1993)
- Kepala Pusat Penelitian  Kemasyarakatan dan Budaya UI (1989-1993)
- Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 
  (1993-1999)
- Governor untuk Indonesia, Asia-Europe Foundation (1999-2001)
Kegiatan, antara lain:
- Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia cabang Jakarta (1986-1990)
- Ketua Himpunan Sarjana Kesusasteraan Indonesia Komisariat UI 
  (1992-1993)
- Ketua Umum Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (1995-1999, 1999-2002)
Penghargaan, antara lain:
- Hasil Penelitian Terbaik Universitas Indonesia bidang Humaniora (1986)
- Bintang Jasa Utama Republik Indonesia (1995)
- Satyalencana Karya Satya 30 tahun (1977)
- Bintang Chevalier des Arts et Letters dari Republik Perancis (1997)
- Bintang Mahaputra Utama (1998)
- Penghargaan UI sebagai peneliti senior berprestasi (2001)

Tari dan arkeologi. Dua dunia itu telah membuat Edi Sedyawati (73) jatuh cinta sejak ia masih remaja. Ia kemudian menekuni keduanya sekaligus. "Menari itu hobi, arkeologi itu studi," kata Edi.

OLEH LUSIANA INDRIASARI

Meski usianya sudah di ujung senja, sosok Edi masih sering ditemui pada acara-acara kebudayaan. Ia aktif menjadi pembicara terkait bidang kesenian, kebudayaan, dan arkeologi. "Saya bukan seorang penata tari, tetapi hanya menari saja. Itu hobi saya sejak remaja," kata Edi ketika ditemui di rumahnya, beberapa waktu lalu.
   Namun, sumbangsih Edi di dunia tari lebih dari sekadar menari. Ia adalah orang pertama yang memelopori  penulisan kritik tari. Ia mulai menulis kritik tari di berbagai media sejak awal tahun 1970-an. Meski tidak seaktif dulu, Edi masih menulis tentang tari dan telaah kebudayaan. Kritik dan telaahnya banyak dibaca orang, terutama para senimanm akademisi dan penggiat seni pertunjukan.
   Bagi Edi, penulisan kritik seni dan tari merupakan bagian yang tumbuh secara beriringan dengan proses kreatif seorang koreografer. Kritik diperlukan untuk meningkatkan kemampuan berkarya seorang seniman.
   "Kritik adalah respons yang seharusnya dipandang sebagai imbalan atas jerih payah seorang seniman. Tanpa kritik, baik itu pujian maupun celaan, rasanya sia-sia saja karya itu dibuat, karena seniman tidak bisa mengukur sejauh mana kualitas kekaryaannya," kata Edi.
   Untuk bisa menulis kritik, Edi tidak mengandalkan kemampuan menari. Ia memperluas cakrawala pengetahuannya dengan banyak membaca dan mengenal berbagai teknik dan gaya tari. Ia juga memperbanyak pemahaman dan mengasah ketajaman soal tari dengan banyak melihat pertunjukan. "Dulu kegiatan saya selain mengajar di UI juga keluyuran nonton pertunjukan di Taman Ismail Marzuki (TIM)," kenang Edi. 

Terpesona Abimanyu

   Edi mengenal tari ketika diajak ayahnya, Iman Sudjahri, seorang pengacara dan aktivis pergerakan nasional, menonton wayang Ngesti Pandowo. Ia terpesona dengan sosok Abimanyu yang ditarikan oleh perempuan. Dalam dunia tari, karakter laki-laki berwatak lembut dan ditarikan perempuan itu disebut sebagai bambangan.
   Edi yang saat itu masih duduk di bangku kelas II SMA Negeri I Jakarta itu ingin bisa menari bambangan. Ia lalu bergabung dengan Ikatan Seni Tari Indonesia pada tahun 1956. Sejak saat itu ia tidak pernah berhenti menari hingga usianya tidak lagi memungkinkan untuk menari. Dia pernah beberapa kali ikut berbagai misi kesenian ke luar negeri.
   Sambil menari, Edi juga menulis untuk mengulas pertunjukan tari yang baru saja dipentaskan. Kebiasaannya itu mengantarkan Edi menjadi seorang kritikus tari. Artikelnya dimuat di berbagai media dan menjadi salah satu referensi mengenai perkembangan tari di Indonesia.
   Pengabdiannya di dunia tari ini membuat Edi mendapat penghargaan Pengabdian Seumur Hidup dalam Festival Tari Indonesia beberapa waktu lalu.
Ia menjadi salah satu referensi bagi koreografer luar negeri yang ingin menggali tentang khazanah tari di Indonesia karena Edi banyak meneliti estetika tari terkait dengan arca candi.
   Candi menarik perhatian Edi sejak ia masih di sekolah dasar. Ketika itu ia sering dibawa keluarganya melihat candi-candi di Pulau Jawa.
   "Candi itu banyak teka-tekinya. Ekspresi arca dan pahatan di candi secara estetik sangat menarik, mendorong saya untuk mengerti lebih dalam," kata sarjana dan doktor arkeologi dari Universitas Indonesia itu.
Selain menulis tari, Edi juga banyak menulis tentang arkeologi, sejarah, kesenian, ikonografi, dan Filologi. Pengetahuannya yang luas di bidang kebudayaan mengantarkan Edi menjabat sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1993-1999).
   Sebagai arkeolog, Edi lebih banyak mendalami peradaban Hindu-Buddha. Ia membaca peradaban melalui arca-arca dan relief candi. Karya besarnya di bidang arkeologi adalah saat ia membuat disertasi untuk gelar doktornya pada tahun 1985 tentang Pengarcaan Ganesha Masa Kadiri dan Singhasari: Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian.
   Ia menganalisis arca-arca Ganesha yang tersebar di Pulau Jawa dan juga menelusuri pusat dokumentasi dan benda purbakala di Belanda. Ia mendata secara detail, mulai dari ukuran, pose arca, hingga perhiasan yang dikenakan. Analisis itu bermanfaat, antara lain, untuk mengetahui pencitraan Ganesha pada setiap periode kerajaan.
   Hasil penelitian Edi telah diterbitkan oleh EFEO, LIPI, dan Rijksuniversiteit Leiden tahun 1994. Penelitian itu juga diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh Verhandelingen, Koninklijk Instituut voor Taal Land-en Volkenkunde (KITLV), No. 160, Leiden berjudul Ganesa statuary of the Kadiri and Singhasari periods, A study of art history. Sampai sekarang para peneliti asing banyak memanfaatkan hasil penelitian Edi.
   Dunia tari dan arkeologi yang sekilas tampak berlawanan akhirnya dipertemukan Edi ketika ia menempuh studi di Jurusan Arkeologi, UI. Di bidang arkeologi, Edi banyak menganalisis relief candi yang berhubungan dengan tari.
   Melalui relief, Edi mempelajari perbedaan gaya seni antara Jawa dan India. Ia, misalnya, meneliti rangkaian relief tari pada Candi Roro Jonggrang Prambanan di Yogyakarta.
   Menurut dia, Relief candi seharusnya bisa memperkuat pemahaman kita terhadap pengembangan tari di Indonesia. Ia menilai, kebudayaan Indonesia lebih menjurus ke arah hiburan semata sehingga meninggalkan akar-akar kebudayaan asli Indonesia.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 5 SEPTEMBER 2012

Minggu, 16 September 2012

Erni Suyanti Musabine: Dokter Hewan dari Belantara Bengkulu


ERNI SUYANTI MUSABINE
Lahir: Nganjuk, Jawa Timur, 14 September 1975
Pendidikan:
- SDN 05 Sudiwaras, Nganjuk
- SMPN 01 Prambon, Nganjuk
- SMAN 02 Nganjuk
- Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya, lulus 2002
- Berbagai pelatihan penyelamatan satwa liar di Australia dan Zimbabwe
Pekerjaan:
- Pusat Penyelamatan Satwa Petungsewu, Kecamatan Dau, Malang, 2003-2004
- Dokter hewan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bengkulu, 2004-kini
- Konsultan dokter hewan untuk orangutan di Frankfurt Zoological Society 
  dalam program konservasi orangutan sumatera, 2006-2008
- Koordinator Pusat Latihan Gajah Seblat, Bengkulu 

Dokter hewan yang bertugas mengobati binatang peliharaan memang sudah sewajarnya. Akan tetapi, menjadi dokter hewan khusus untuk satwa liar yang kapan pun harus siap masuk ke rimba belantara demi menyelamatkan seekor binatang buas, tak semua orang mau dan mampu melakukannya.

OLEH ADITYA RAMADHAN

Namun, menyelamatkan dan mengobati satwa liar itulah yang selama ini justru dilakukan Erni Suyanti Musabine. Lewat sentuhan tangan Yanti, panggilannya, banyak nyawa satwa liar terselamatkan. Satwa liar yang terluka ataupun sakit dirawatnya hingga bisa kembali ke alam bebas.
   Yanti adalah dokter hewan yang bertugas di Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bengkulu. Selama ini, lajang berusia 37 tahun itu hampir selalu berada di balik upaya penyelamatan satwa liar di Sumatera bagian selatan, terutama Bengkulu.
   Sudah tidak terhitung lagi berapa banyak harimau, gajah, orangutan, dan beruang yang diselamatkannya selama kurun waktu delapan tahun terakhir.
   Tugas itulah yang membuat Yanti harus berada di hutan. Dia bahkan bisa selama berbulan-bulan hidup di hutan. Pekerjaan itu telah membuatnya tak merasa harus risau meski dirinyalah satu-satunya perempuan di antara para pria di hutan itu. Yanti pun tidak ragu untuk ikut berpatroli gajah, masuk ke hutan selama berhari-hari.
   Selain harus menaklukan rimba belantara saat hendak menyelamatkan nyawa satwa liar, Yanti juga harus menghadapi keterbatasan fasilitas medis yang ada. Hambatan itu masih belum cukup. Dia juga harus menghadapi risiko lain, yakni keselamatan dirinya terancam ketika harus berhadapan dengan satwa liar di hutan.
   Beban tanggungjawab yang dipikul Yanti bisa dibilang berat. Sebab, dalam setiap upaya penyelamatan satwa liar, tidak hanya nyawa hewan itu sendiri yang harus dia selamatkan, tetapi dia pun bertanggungjawab atas nyawa para petugas penyelamatan yang berada di bawah kendalinya.
   Beratnya tugas itulah yang menyebabkan hanya segelintir mahasiswa kedokteran hewan teman kuliah Yanti yang kemudian bersedia menjadi dokter hewan khusus satwa liar.

Pengalaman menarik

   Namun, bagi Yanti, berupaya menyelamatkan nyawa satwa liar merupakan tantangan. Ada saja pengalaman menarik saat dia berusaha menyelamatkan nyawa satwa liar di tengah hutan.
   Yanti bercerita, suatu ketika di Ketahun, Bengkulu Utara, dalam waktu relatif singkat, dia harus menyuntikkan obat bius ke tubuh harimau yang lepas dari jerat pemburu, tanpa alat bantu apa pun.
   "Saat itu, sebagian petugas justru panik karena harimau yang terjerat itu hampir bisa melepaskan diri. Di bawah guyuran hujan, saya terpaksa mengendap-endap dari belakang harimau itu supaya bisa secepat mungkin menyuntikkan obat bius langsung ke tubuhnya sebelum dia (harimau) berbalik badan," tutur Yanti.
   Ada pula peristiwa yang menegangkan sekaligus menggelikan. Ketika itu, Yanti tengah berusaha menyelamatkan nyawa seekor gajah liar yang terperosok ke dalam lubang bekas galian batubara. Setelah petugas berhasil mengeluarkan gajah tersebut dari lubang galian, si gajah justru berusaha menyerang dan mengejar tim penyelamatnya, termasuk Yanti.
   Namun, di antara sekian banyak upaya penyelamatan nyawa satwa liar, kisah penyelamatan Dara, seekor harimau sumatera di bengkulu, dan seekor orangutan di Jambi-lah yang menyisakan kesan mendalam bagi Yanti.
   Ia bercerita, saat penyelamatan Dara, dia harus melalui medan yang berat. Ia berkendara selama sehari penuh, dilanjutkan berjalan kaki di hutan selama dua hari. Itulah waktu yang dibutuhkan Yanti untuk mencapai lokasi terjeratnya Dara di hutan produksi Air Rami, Bengkulu Utara.
   Sementara di Jambi, dia harus berupaya mengambil dan mengobati orangutan yang tertembak dan ditahan masyarakat desa di sekitar hutan.
   "Di sini, yang harus kami hadapi bukan hanya hewannya, melainkan juga warga setempat," ujarnya.

Hubungan emosional

   Bagi Yanti, satwa liar bukan sekadar hewan di hutan. Hubungan emosional antara dia dan satwa liar seakan bersaudara. Jika ada satwa liar yang terluka, bahkan mati terkena jerat pemburu, Yanti merasa amat bersedih.
   "Satwa liar itu sudah menjadi bagian dari hidup saya. Satwa liar pada hakikatnya amat bergantung pada manusia," katanya.
   Lahir dari keluarga pencinta hewan dan konservasi alam, Yanti yang hobi panjat tebing itu tak asing dengan konservasi satwa liar. Ketika masih di bangku kuliah, ia aktif dalam kelompok pencinta alam Wanala Unair (Universitas Airlangga) dan Profauna. Inklinasi Yanti pada konservasi satwa liar pun terus berlanjut.
   Menjadi dokter hewan diakuinya bukan pilihan pertama saat memilih bangku kuliah. Semula, anak ketiga dari empat bersaudara itu berharap kuliah pada jurusan arsitektur. Oleh karena itulah, pada awal masa kuliah, Yanti tak punya bayangan hendak bekerja di mana selepas kuliah.
   Namun, setelah mendapat mata kuliah yang berkaitan dengan konservasi satwa liar, Yanti mulai menikmati bidang kedokteran hewan. Bahkan,  perempuan yang pernah menjuarai lomba dayung perahu naga di Jawa Timur itu ingin memperdalam ilmu bidang kedokteran hewan khusus satwa liar.
   Yanti juga berharap suatu hari nanti ada klinik pengobatan satwa liar yang memadai di Bengkulu, mengingat tingginya kasus kematian satwa liar akibat perburuan dan konflik tata ruang.
   "Ada banyak tumpang tindih kepentingan di kawasan hutan. Izin pertambangan dan perkebunan di sekitar, bahkan di dalam kawasan hutan, menjadi ancaman serius bagi satwa liar," katanya prihatin.
   Di tengah karut-marut manajemen pengelolaan kehutanan negeri ini, sekuat tenaga Yanti berusaha konsisten melakukan tugas menyelamatkan nyawa satwa liar di habitatnya. Jejaring pada tingkat nasional pun ia bangun untuk menghimpun dukungan upaya konservasi satwa liar.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 10 SEPTEMBER 2012

Jumat, 14 September 2012

Abdi Artha: "Mengawal" Pemadam Kebakaran Sukarela


ABDI ARTHA
Lahir: Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 23 Agustus 1958 
Pendidikan:
- SDN Seberang Mesjid, Banjarmasin
- ST Subsidi Teluk Dalam, Banjarmasin
- STM Subsidi Teluk Dalam
Pekerjaan: Swasta

Kebakaran besar tahun 1976 dan 1978 yang menghanguskan ribuan rumah membuat pihak Kelurahan Seberang Mesjid dan sebagian warga di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, mendirikan kelompok pemadam kebakaran swadaya. Mereka menggunakan peralatan seadanya. Kini, setelah 34 tahun berlalu, kelompok pemadam kebakaran tersebut tetap berdiri.

OLEH DEFRI WERDIONO

Kelompok yang memiliki nama Unit Pemadam Kebakaran (PMK) Seberang Mesjid tersebut mempunyai peralatan terbilang lengkap. Selain pompa air portable, ada enam kendaraan pendukung berupa dua mobil pikap, satu truk tanki air, satu sepeda motor roda tiga, satu ambulans, dan satu perahu (speed boat) untuk membantu pemadaman dari sisi sungai.
   PMK Seberang Mesjid menjadi salah satu dari 400-an kelompok serupa yang berkembang di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Anggota kelompok PMK ini bekerja secara sukarela.
   Layaknya petugas pemadam kebakaran milik dinas pemerintah, tim PMK Seberang Mesjid yang memiliki 40-an anggota juga berseragam lengkap dengan helm dan sepatu, lampu penerangan darurat, serta radio komunikasi.
   Begitu ada peristiwa kebakaran, mobil mereka yang dilengkapi sirene pun meraung-raung menuju lokasi kebakaran. Mereka bergabung dengan puluhan kelompok Barisan Pemadam Kebakaran (BPK, nama lain yang biasa digunakan selain PMK) untuk memadamkan api.
   Keterlibatan PMK atau BPK di Banjarmasin tak hanya dalam memadamkan api di kawasan permukiman, tetapi juga di lahan kosong. Mereka pun acap kali terjun membantu dalam musibah lain, seperti pencarian korban tenggelam di sungai.

Sejak remaja

   Eksistensi PMK Seberang Mesjid tak bisa dilepaskan dari sosok Abdi Artha (54). Selama 27 tahun terakhir, pria yang awalnya hanya menjadi anggota PMK tersebut lebih banyak berperan sebagai "lokomotifnya". Abdi bergabung dengan PMK tahun 1986, saat dia berumur 18 tahun.
   "Awal berdiri PMK ini (Seberang Mesjid) hanya memiliki alat satu drum yang dipotong menjadi dua bagian. Drum itu digunakan untuk wadah pasir, sekop, garu, dan ember. Dalam perkembangannya, tahun 1982 kami bisa mempunyai trailer untuk mengangkut pompa air meski yang masih ditarik orang. Pada 1985, kami mempunyai mobil buatan tahun 1970-an untuk menarik trailer," tutur Abdi.
   Selain perlengkapan pemadam kebakaran yang terbatas, upaya mempertahankan kelompok yang beranggotakan puluhan warga dari berbagai profesi untuk bekerja sukarela bukan hal mudah. Apalagi kelompok ini pun mengandalkan sumbangan donatur dan swadaya guna membiayai kegiatannya.
   Sebagai gambaran, biaya operasional kendaraan dan peralatan yang ada mencapai Rp 4 juta per bulan. Sementara bantuan dari pemerintah daerah untuk mereka tahun 2011, misalnya, hanya Rp 2 juta.
   Kondisi seperti itu membuat organisasi itu mengalami pasang surut. Namun, hal tersebut ditanggapi Abdi sebagai sesuatu yang "lazim" terjadi. Begitu pula jatuh bangunnya manajemen sempat dirasakan Abdi dan kawan-kawan. Akibatnya, tahun 1990-an kegiatan PMK Seberang Mesjid sempat vakum selama dua tahun.
   Setelah itu, kepengurusan PMK Seberang Mesjid diambil alih Abdi pada 1994. Berbekal semangat dan dukungan sebagian anggota yang masih ingin PMK ini berdiri, mereka memulai pembenahan organisasi.

Menambah anggota

   Langkah pertama Abdi adalah memperbaiki peralatan pemadam kebakaran agar bisa beroperasi optimal. Setelah itu, dia berusaha merekrut anggota baru. Abdi berusaha menarik orang menjadi relawan PMK Seberang Mesjid.
   Abdi kemudian menjadi Ketua Harian PMK Seberang Mesjid. Tak hanya pada tingkat PMK, Abdi pun berkegiatan dalam organisasi sukarela yang lebih besar, yakni Barisan Sukarela Kebakaran (Balakar) yang membawahi 120 PMK dan BPK. Di sini dia sebagai Wakil Ketua III.
   "Saat itu saya melihat banyak peralatan pemadam kebakaran yang berasal dari bantuan berbagai pihak kondisinya telantar. Makanya saya ambil alih, kemudian berusaha membenahi. Kami bergotong royong, berusaha memperbaiki berbagai peralatan itu. Kalau ada duit langsung dibelikan peralatan lagi untuk melengkapinya," ujar Abdi.
   Perlahan-lahan PMK Seberang Mesjid sehat kembali. Bahkan, beberapa bulan kemudian mereka mendapat bantuan sebuah pompa air dan satu mobil dari donatur. Setahun kemudian, pada 1996, datang pula bantuan satu pompa portable.
   Tahun 1998, cerita Abdi, teman di perusahaan tempatnya bekerja meghibahkan sebuah mobil untuk operasional PMK Seberang Mesjid.
   Keterlibatan Abdi pun tak terbatas pada upaya pemadaman di lokasi kebakaran. Beberapa kali ia mengikuti pelatihan, antara lain Japan Paramedical Rescue tahun 2008, pelatihan dari Ikatan Kebakaran Indonesia (kini Badan Penanggulangan Bencana Kebakaran Pusat) tahun 2009, dan pelatihan pada Badan Search and Rescue Nasional tahun 2007.
   Dari semua pelatihan tersebut, Abdi menjadi satu-satunya peserta dari sektor swasta. Peserta lain berasal dari berbagai instansi pemerintah.
   Dari pengalaman di lapangan dan hasil pelatihan itulah Abdi sering diminta menjadi instruktur saat latihan bidang penanganan bencana, terutama kebakaran. Ia juga menjadi koordinator untuk wilayah Banjarmasin Tengah saat terjadi kebakaran.
   Bagi Abdi, bertugas menjadi pemadam kebakaran swadaya merupakan tugas mulia. Terlebih karakteristik permukiman di Banjarmasin yang sebagian besar berupa rumah berbahan bangunan kayu dan letaknya saling berdekatan.
   Kondisi itu membuat kebakaran rawan terjadi. Di Banjarmasin, kebakaran bisa dikatakan menjadi ancaman utama warga. Terkadang, dalam satu malam bisa terjadi dua peristiwa kebakaran.
   Ia bercerita bagaimana anggota PMK berusaha memadamkan kebakaran yang terjadi di Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu (dulu wilayah Kabupaten Kota Baru) tahun 1998. "Jarak lokasi kebakaran itu harus ditempuh dalam waktu 4-5 jam dari Banjarmasin. Kebakarannya luas, meliputi perumahan dan pertokoan," katanya. Usaha mereka tak sia-sia.
   "Sayangnya, dalam setiap kebakaran, banyak orang yang malah menonton. Mereka membuat jalanan macet. Itu menyulitkan kami untuk memadamkan api secepat mungkin," kata Abdi menambahkan.
   Bagaimanapun, menjadi relawan pemadam kebakaran diakui Abdi memberi kepuasan tersendiri. "Bisa menolong sesama, apalagi kalau kami berhasil memadamkan api tanpa membuat mereka terluka atau kehilangan harta benda, ini kepuasan yang luar biasa," ujar Abdi.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 14 SEPTEMBER 2012

Rabu, 12 September 2012

Faizal Zainuddin: Karateka yang Menjadi Raja Kata


FAIZAL ZAINUDDIN
Lahir: Sorowako, Sulsel, 29 Desember 1982
Pendidikan:
- SDN 75 Surutaga, Palopo, Sulsel
- SMPN 3 Palopo
- SMAN 1 Palopo
- Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar 
Tinggi badan: 168 sentimeter
Berat badan: 60 kilogram
Prestasi:
- Juara PON tahun 2004, 2008, dan 2012 pada nomor kata perorangan
- Juara SEA Games tahun 2007, 2009, dan 2012 pada nomor kata perorangan 
  dan beregu
- Juara dunia di Turki tahun 2011
- Juara ketiga Asian Games di Guangzhou, China, tahun 2012

Faizal Zainuddin layak dijuluki si  Raja Kata. Karateka kelahiran Sorowako, Sulawesi Selatan, ini tengah di puncak prestasi. Kemenangan dan perolehan medali emas di nomor kata perorangan pada Pekan Olahraga Nasional 2012 di Pekanbaru, Riau, mengukuhkan hal itu. Inilah emas ketiganya dalam tiga PON teakhir dan menjadi sejarah pencapaian prestasi tertinggi cabang karate pada PON.

OLEH GATOT WIDAKDO

Prestasi Faizal tak hanya pada tingkat nasional. Anak kelima dari pasangan Zainuddin dan Nurhayati ini juga mencatat prestasi emas pada ajang SEA Games tiga kali berturut-turut, tahun 2007, 2009, dan 2012. Pada Asian Games 2010 di Guangzhou, China, ia pun menyabet medali perunggu. Tahun 2011 ia juga mengoleksi gelar bergengsi, juara dunia di Turki.
   Penampilan Faizal menunjukkan karakter kuat. Dia punya karisma saat tampil di arena. Meski badannya tegap, gerakannya luwes dan bertenaga. Dia tak pernah kehilangan fokus. Setidaknya hal ini terekam saat dia tampil pada partai final nomor kata perorangan PON Pekanbaru di GOR Tribuana, Senin (10/9).
   Menjelang partai final karate nomor kata perorangan putra dan putri sore itu, tiba-tiba listrik di GOR Tribuana padam. Akibatnya, pendingin ruangan dan semua lampu mati. Faizal yang sudah siap tampil dan berdiri di arena matras diminta kembali ke pinggir lapangan.
   Wasit lalu memanggil kedua pelatih. Sementara riuh penonton semakin membahana karena kecewa dan khaawatir laga final batal digelar. Setelah wasit berdiskusi sebentar dengan pelatih, partai final diputuskan tetap digelar meski GOR Tribuana gelap dan semakin panas.
   Faizal yang mendapat giliran pertama tampil tetap menjaga konsentrasinya. Atlet yang gemar menyantap mi goreng ini tampil penuh percaya diri. Ia mantap memperagakan jurus-jurusnya, nyaris tanpa kesalahan.
   Ia memperagakan Kata Suparinpei dengan tingkat kesulitan tinggi. Gerakannya cepat, dinamis, dan menggunakan kekuatan besar. Sementara pesaingnya, Sandy, yang memperagakan Kata Kanku-sho gagal menandingi Faizal. Faizal menang dengan keputusan mutlak kelima juri.
   Penonton bersorak memberi penghormatan kepada Faizal yang tetap tampil bersinar meski listrik padam selama laga final. Pelatih Faizal, Mursalim, mengaku tak kaget dengan kemenangan Faizal.
   "Kata Suparinpei sudah dipersiapkan sejak awal untuk final. Kemenangan ini menjadi target karena dia adalah rajanya nomor ini," kata Mursalim.

Keluarga sederhana

   Seperti kebanyakan atlet berprestasi, semua pencapaian ini tak didapat dengan mudah. Dibutuhkan perjuangan, kerja keras, dan kebulatan tekad untuk menekuni bidang ini sampai mencapai batas yang dilewati.
   Faizal berangkat dari keluarga sederhana. Ayahnya menjadi sopir angkutan kota, sedangkan sang ibu menjadi buruh cuci. Mereka tinggal di perumnas sederhana di Palopo, Sulawesi Selatan (Sulsel). Setiap mengenang masa lalu, ia selalu mengingat perjuangan hidup dan kerja keras orangtuanya.
   Namun, seperti lazimnya anak-anak, saat itu Faizal belum mengerti perjuangan hidup. Ia menikmati masa kecil dengan kawan-kawan di komplek itu. Selain bermain musik, ia juga suka berenang, takraw, sepak bola, dan bulu tangkis.
   Ia pun getol menonton film kungfu. Tokoh kungfu Bruce Lee adalah idolanya saat itu. Faizal bercerita, suatu ketika ia menangis karena tak lagi disewakan video kungfu oleh para saudaranya. Sejak itu, setiap empat hari mereka memesan video di Toko Merry Palopo. "Kami biasa memesan empat video kungfu sekaligus."
   Rupanya film kungfu memengaruhi Faizal sampai ia memasuki usia remaja. Ia pindah ke Palopo dan menjadi siswa SMPN 3 Palopo. Kebetulan di sekolah ini dibuka ekstrakurikuler bela diri karate. Dia lalu merasa bisa menyalurkan kegemarannya pada kungfu lewat karate.
   Ia lalu mendaftar pada perguruan Gojukai. Sejak itu ia terus mendalami karate sampai mengikuti serangkaian kejuaraan tingkat pelajar. "Saking senangnya dengan olahraga ini, pelajaran di sekolah saya sampai tertinggal. Untung orangtua saya mau mengerti. Mereka percaya dengan apa yang saya lakukan."
   Ada momen tak terlupakan yang menjadi motivasinya. Saat itu, ayahnya yang berusia 54 tahun sedang kritis karena komplikasi berbagai penyakit. Saat Faizal menjenguk, ayahnya tersenyum.
   "Ayah saya berbisik, 'bagaimana, sudah bertemu bupati?' Saya hanya membalas dengan senyum dan air mata. Saat itu pula saya bertekad untuk berbuat sesuatu yang membanggakan orangtua. Alhamdulillah, sebagian tekad itu terpenuhi. Tak cuma bupati yang mengucapkan selamat, Presiden pun pernah menyalami saya. Sayang, saya tak bisa lagi bercerita kepada ayah saya," ujarnya.

Tulang punggung

   Faizal pun menjadi tulang punggung keluarga. Ia membantu mencukupi kebutuhan keluarga besarnya, membantu membiayai sekolah kakak dan adiknya. Penghasilannya dari karate cukup menolong, bahkan bisa menyelamatkan rumah yang hendak disita bank karena terlambat membayar cicilan.
   "Kalau mengingat hal itu, saya hanya bisa bersyukur karena sudah menjadi atlet dan punya penghasilan cukup," kata Faizal yang dua kali memberangkatkan ibunya ke Tanah Suci beribadah haji.
   Pria yang hobi menyanyi dan bermain musik ini baru tercatat sebagai atlet pelatnas tahun 2003. Ia dipanggil seleksi pemain untuk SEA Games di Vietnam. Ia punya kesempatan untuk masuk, tetapi faktanya ia tak terpilih.
   "Saya patah arang bukan karena gagal bersaing dalam kompetisi yang sehat. Saya kecewa karena merasa dipermainkan. Waktu itu jaket dan seragam tim SEA Games sudah dibagikan kepada atlet yang belum diseleksi. Hasilnya, atlet yang terpilih adalah mereka yang sudah mendapat jaket dan seragam," katanya.
   Namun, guru-gurunya di Makassar berhasil meyakinkan dan membangkitkan motivasi Faizal. Ia mau kembali berlatih dan berusaha lebih keras sebelum berhasil menembus pelatnas dan menyumbang emas pertama pada SEA Games 2007.
   Sebelum menekuni nomor kata, ia sempat turun pada nomor kumite. "Kalau di kata itu butuh penjiwaan, setiap gerakan ada maknanya," ujarnya memberi alasan mengapa ia memilih nomor kata.
   Bagi Faizal, laga penampilan jurus adalah roh karate. Meski bukan pertarungan, nomor kata punya tingkat kesulitan tinggi. Penampilan setiap gerak dalam jurus harus indah berirama dan tegas bertenaga serta tak tercela dalam memainkan jurusnya.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 13 SEPTEMBER 2012