Senin, 20 Februari 2012

Irma Suryati: Penyemangat Kaum Difabel dari Kebumen

IRMA SURYATI
Lahir: Semarang, 1 September 1975
Pendidikan: SMAN 1 Semarang
Suami: Agus Priyanto (35)
Anak:
- Zika Kusuma (13)
- Hafiz Al-Mukni (10)
- Eksamutiara Nabila (5)
- Nauli Wyadyaksa (2)
- Pandu Yuda (1)  
 Penghargaan, di antaranya:
- Wirausaha Muda Teladan 2007

Virus polio boleh saja melayukan kaki-kaki Irma Suryati (36) sejak kecil. Nyatanya, kekurangan itu tak dapat merenggut semangatnya untuk terus berkarya. Lewat kerajinan kain perca limbah garmen, Irma tak hanya membuktikan mampu menggapai asa dengan segala keterbatasan. Ia pun tiupkan napas penyemangat bagi kaum difabel sesamanya.

OLEH GREGORIUS MAGNUS FINESSO

Disebuah rumah sederhana di impit sawah menguning, Irma turun dari sepeda motor roda tiga yang didesain khusus untuk memudahkan mobilitasnya, akhir Desember 2011. Di sepanjang jalan aspal sempit, penunggang sepeda onthel yang lalu lalang tak berhenti menyapanya. Di rumah itulah Irma mengembangkan kerajinan tangan dari kain perca. Tak sembarang kerajinan tangan karena usaha beromzet hingga puluhan juta rupiah itu hampir semuanya dibuat oleh para penyandang cacat binaannya.
     Setelah menyandarkan kruk di dinding rumahnya, Irma perlahan duduk selonjor dipapah Agus Priyanto, suaminya yang juga mengenakan kaki palsu. Ya, pasangan suami istri difabel itu menggelorakan semangat pantang menyerah bagi sesamanya dari Desa karangsari, Kecamatan Buayan, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.
     "Kami ingin menyingkirkan stigma bahwa penyandang cacat tidak dapat mandiri. Kami tidak ingin dikasihani. Kami hanya ingin mendapat kesempatan sama," ujar pemilik Mutiara Handycraft itu.
     Selepas lulus dari SMA, Irma tak melanjutkan kuliah. Ia menjalani terapi kaki akibat lumpuh layu sejak kecil di RS Ortopedi Solo. Di tempat itu, Irma jatuh hati dengan sesama pasien yang kini menjadi suaminya.
     Selesai terapi, Irma kembali ke Semarang. Bersama Agus yang telah menjadi suaminya, mereka menggeluti usaha kerajinan pada 1999. Mereka mulai mengumpulkan para penyandang cacat yang kebetulan adalah kawan-kawan semasa mengikuti pendidikan keterampilan di rumah sakit. Usaha di "Kota Lumpia" itu cukup berhasil dan mampu merekrut 50 penyandang cacat.
"Usaha saya sejak awal memang fokus membuat pelbagai alat rumah tangga dari kain perca," tutur ibu lima anak itu.

Sempat terpuruk

     Puncak kejayaan usaha Irma yakni pada 2002. Rumah dan mobil mereka miliki dengan omzet kerajinan mencapai miliaran rupiah per bulan. Rantai produksi dari manajemen hingga pemasaran tertata rapi.
     Namun, kebakaran besar di Pasar Karangjati, tempat lokasi usahanya, tahun 2005 melalap habis usaha mereka. "Kami nyaris tak punya apa-apa lagi. Bahkan, semangat pun nyaris hilang," kenangnya.
     Irma dan suami pun hijrah ke tempat asal suaminya di Kebumen untuk memulai usaha baru.
     Tonggak bersejarah dalam usaha yang dirintis Irma terjadi kala dirinya berhasil menemui Bupati Kebumen saat itu, Rustriningsih, yang kini Wakil Gubernur Jateng. Gayung pun bersambut, Rustriningsih mengundang semua penyandang cacat di seluruh Kebumen yang berjumlah sekitar 300 orang. Terbentuklah paguyuban penyandang cacat yang diketuai Irma.
     Mereka sepakat membuka usaha kain perca. Pemerintah Kabupaten Kebumen memberi modal dan mengontrakkan sebuah rumah di Sruweng, Kebumen, sebagai tempat usaha.
     Dengan pengalamannya, Irma unjuk diri. Ia rangkul penyandang cacat di 17 kecamatan dari 26 kecamatan di Kebumen. "Setelah mulai berkembang, saya memutuskan kembali ke Desa KArangsari sekalian membangun rumah sendiri," katanya.
     Dengan kreativitasnya, kain sisa industri garmen dibentuk menjadi aneka produk keset yang unik. Desain keset berbentuk bunga, karakter kartun, bentuk binatang seperti panda, kupu-kupu, dan katak menjadi sedikit contoh hasil karyanya.
     Tak sekadar dijual di pasar lokal, keset-keset itu juga dipasarkan ke luar negeri. Khusus desain kupu-kupu bahkan dikirim ke Australia seharga 7 dollar per lembar. Omzet usaha Irma setidaknya kini mencapai Rp 50 juta per bulan.
     Selain Kebumen, karyawan Irma tersebar di Kabupaten banyumas, Banjarnegara, dan Purworejo. Dari sekitar 750 karyawannya, sekitar 150 orang di antaranya penyandang cacat, khusus tuna daksa. Sisanya adalah orang normal.
     Awalnya mereka  diajari bagaimana membuat keset. Kemudian setelah mandiri, Irma memasok bahan baku untuk dibuat sendiri oleh karyawannya di rumah masing-masing. "Hasilnya disetor kepada saya untuk dipasarkan," tutur Irma.
     Bagi para mitranya, Irma menjual bahan baku keset berupa kain sisa seharga Rp 1.000 per kilogram. Lalu para mitra menyetor keset dengan harga Rp 3.000 per lembar. Pasar yang masih terbuka membuat Irma bergerilya untuk memperbanyak tenaga kerja. Seperti dicontohkan, kebutuhan keset kain perca dari Jakarta mencapai 60.000 per bulan, tetapi baru mampu dipasok oleh Mutiara Handycraft sekitar 20.000 lembar.

PSK dan mantan TKI

     Irma juga memberdayakan ibu-ibu rumah tangga, pekerja seks komersial (PSK), para waria, hingga mantan tenaga kerja Indonesia (TKI). Dia pun tak pelit ilmu dengan berkeliling Indonesia menjadi instruktur pelatihan bagi penyandang cacat, mantan TKI, dan PSK.
     "Apalagi kalau yang meminta adalah penyandang cacat, saya usahakan berangkat," kata Irma. Keinginan Irma sederhana. Dia berharap para penyandang cacat hidup mandiri, termasuk secara ekonomi, sehingga kehidupan para difabel sama dengan orang normal.
     Irma tak ingin penyandang difabel mendapat perlakuan tidak menyenangkan hanya karena keterbatasan fisik. Irma mengenang, diskriminasi bagi para penyandang cacat masih dirasakan di seluruh sektor, baik pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, politik, dan budaya.
     "Saya ingat waktu selalu ditolak bekerja gara-gara berjalan menggunakan bantuan kruk," ujarnya.
     Semangat, kemandirian, dan dedikasinya memberdayakan para penyandang cacat diakui secara nasional bahkan internasional. Dia pun berperan besar bagi lingkungan dengan mengeolah limbah garmen menajdi aneka kerajinan tangan. Berkat usahanya, Irma mampu mengurangi pengangguran sekaligus mengurangi limbah sekitar 5 ton per bulan.
     Namun, cita-cita Irma tidak mandek sampai di situ. Ia sedang membangun rumah bagian belakang dengan ukuran sekitar 7x9 meter yang hampir selesai dan akan dipakai untuk menampung para penyandang cacat.
     "Kami sedang menyiapkan tempat bagi penyandang cacat yang bekerja di sini dan rumahnya jauh. Saya ingin punya pabrik yang seluruh karyawannya para penyandang cacat," kata Irma.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 20 FEBRUARI 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar