Rabu, 22 Februari 2012

Prof Louhenapessy: Mengembalikan Citra Sagu


JULIUS  ELSEOS LOUHENAPESSY
Lahir: Hatu, Seram, Maluku, 25 Juli 1943
Istri: Jenny Erna Ohello
Anak:
- William Louhenapessy (37)
- Sarah Yolanda Louhenapessy (31)
Pendidikan:
- Sarjana Muda Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura, 1969
- Sarjana Jurusan Tanah Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, 1975
- Doktor di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1994
Pekerjaan, antara lain:
- Pembantu Dekan I dan Dekan fakultas Pertanian Universitas  Pattimura, 
  1982-1986
- Pembantu Rektor I Universitas Pattimura, 1995-2004
- Rektor Universitas Kristen Indonesia Maluku, 2004-2009
- Inventarisasi sagu di maluku dan sejumlah kabupaten, seperti Seram 
  Bagian  Timur, Seram bagian Barat, Buru, dan Saparua, 2007-2009
- Pengajar S-1 dan pascasarjana di Universitas Pattimura dan Universitas 
  Kristen Indonesia Maluku, hingga kini
Penghargaan:
- Adikarya Pangan Nusantara dari Presiden RI, 2011

Seakan tak kenal lelah, Prof Julius Elseos Louhenapessy berupaya mengebalikan citra pangan lokal sagu. Berbagai penelitian dibuatnya, begitu pula sejumlah buku. Ditambah kontribusinya dalam berbagai sseminar dan kebijakan pemerintah untuk pemanfaatan dan pengembangan sagu.

OLEH PONCO ANGGORO

"Saya bermimpi nantinya sagu tak lagi dipinggirkan, tetapi mengambil peranan besar guna menunjang ketahanan pangan nasional," kata Louhenapessy mengemukakan alasan di balik totalitasnya itu.
     Totslitas itu pula yang menjadi dasar pria yang mengajar di Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura, ambon, Maluku, itu memperoleh penghargaan adikarya pangan Nusantara dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada akhir tahun lalau. Ia dinilai telah memeprjuangkan pelestarian, pengembangan, dan pengembalian citra pangan agar bermanfaat.
     Perjuangan itu dimulainya 25 tahun lalu. Pada 1987 ia tertarik dengan sagu setelah terlibat dalam kegiatan inventarisasi sagu di Pulau Seram dan Halmahera-keduanya di Provinsi Maluku-bersama tim Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dan Institut Pertanian Bogor. Inventarisasi bertujuan menyusun kelayakan pembangunan pabrik pengolahan sagu di Seram.
     "Inventarisasi itu membuka mata saya akan manfaat dan melimpahnya sagudi Tanah Air. Sayang potensi itu tak dimanfaatkan. Sagu yang sebelum tahun 1960 menjadi pangan pokok di sejumlah wilayah justru tergantikan beras," katanya.
      Revolusi hijau di Indonesia yang menitikberatkan pada pengembangan padi sejak 1966, ditambah pemberian beras untuk rakyat miskin hingga ke desa-desa yang semula menjadikan sagu sebagai pangan pokok, membuat sagu kian tergeser oleh beras.
      Ketertarikan sekaligus keprihatinan  sagu itulah yang membuat Louhenapessy tahun 1987 mulai meneliti sagu. Penelitian pertamanya di Merauke, Papua. Saat itu, ia menjadi konsultan sejumlah proyek di lokasi transmigrasi yang didanai Bank Dunia.
    "Tugas konsultan memberikan masukan dan mengawasi proyek infrastruktur serta perluasan lahan pertanian di Merauke. Tetapi, karena di Meruke juga banyak sagu, saya habiskan sebagian waktu menelitinya," ujarnya.
     Satu tahun penelitiannya menghasilkan buku Tanah-tanah sagu di Merauke yang mengulas jenis-jenis tanah tempat sagu tumbuh. Setelah itu, ia juga meneliti sagu di sejumlah tempat lain, seperti Gusalaut diMaluku Tengah, Kao di Maluku Utara, dan Arandai di Bintuni, Papua.
     Hasil penelitian itu mengantarkan dia mendapat gelar doktor pada 1994 di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dengan disertasi Evaluasi dan Kesesuaian Lahan bagi Sagu.

Kebun sagu

     Dia juga membuat kebun koleksi sagu di Kampus Universitas Pattimura tahun 1996. Di tanah seluas 1,5 hektar, ia menanam delapan jenis sagu yang tumbuh di Maluku. Di sini ada lima jenis utama, yaitu sagu tuni, ihur, makanaru, duri rotan, dan molat, serta tiga jenis sagu hasil persilangan, yaitu molat berduri, molat merah, dan molat merah berduri.
     "Kebun sagu ini dibuat agar mahasiswa, terutama mahasiswa pertanian, mengenal lebih jauh sagu," katanya. Kebun itu pun menjadi rujukan peneliti luar negeri tentang sagu. Saat konflik sosial tahun 1999, mayoritas kebun terbakar. Pada tahun 2010 kebun dibuka dengan tanaman sagu baru.
     Dibantu pengajar lain di Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura, ia merehabilitasi hutan sagu menjadi kebun sagu di kawasan tawiri, Ambon, dan akan dilakukan pula di Tulehu, Maluku Tengah. "Rehabilitasi bisa meningkatkan produksi sagu 1,5 kali lipat," ujarnya.
     Dengan rehabilitasi, jumlah tanaman sagu di setiap rumpun dibatasi 6-7. Jarak antar rumpun diatur 7-10 meter. Tanpa pengaturan ini, sagu yang tumbuh di setiap rumpun bisa mencapai ratusan dan membuat produksi sagu induk terhambat karena berebut makanan dengan sagu muda yang baru tumbuh.
     Perhatiannya pada sagu membuat Louhenapessy sering menjadi narasumber pada berbagai pertemuan ilmiah di sejumlah tempat. Tahun 2011 ia diminta menyusun materi muatan lokal tentang sagu untuk siswa SD, SMP, dan SMA.
     Ia ikut merumuskan sejumlah kebijakan pemerintah terkait sagu, termasuk saat Pemerintah Provinsi Maluku menyusun Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2011 tentang Pengelolaan dan Pelestarian Sagu.

Sebelah mata

    Meski demikian, semua itu belum cukup karena impiannya belum terwujud. Keberadaan sagu masih dipandang sebelah mata. "Potensi  pati kering dari tanaman sagu di areal seluas 1,4 juta hektar di Indonesia mencapai 6 juta ton per tahun. Tapi yang dimanfaatkan baru sekitar 10 persen, sisanya dibiarkan mati." 
     Sebagai gambaran, jika 5,4 juta ton pati kering dimanfaatkan, bisa mencukupi kebutuhan seluruh penduduk Indonesia (237.556.336 orang berdasarkan sensus penduduk tahun 2010) selama dua bulan. Asumsinya, tiap keluarga yang terdiri atas lima orang membutuhkan 40 kilogram pati kering setiap bulan.
     Ini berarti bisa menghemat beras selama dua bulan atau 5,3 juta ton (mengacu pada konsumsi beras di Indonesia sebanyak 135 kilogram beras per orang per tahun).
     Pati dari sagu pun bisa diolah menjadi berbagai macam makanan hingga obat-obatan, juga komoditas ekspor. "Kebutuhan pati secara internasional mencapai 50 juta ton per tahun. Angka itu meningkat tujuh persen setiap tahun," ungkapnya.
     "Untuk itu, perlu kebijakan berani dan kreatif dari pemerintah, terutama pemerintah daerah yang di wilayahnya banyak sagu. Ini bisa menangkap peluang pasar, juga mengembalikan pola konsumsi masyarakat pada sagu," lanjutnya.

Penerbang militer

     Selulus SMA tahun 1961, ia bercita-cita menjadi penerbang militer. Namun, ia tak mendapat izin ayahnya, Simon Wilhelmus Louhenapessy. Ayahnya memasukkan dia ke fakultas kedokteran di Makassar.
     Tak suka dengan pilihan itu, ia kembali ke Ambon. Sekitar enam bulan ia menjadi buruh pelabuhan. "Saat sedang bekerja itu, ayah melihat saya. Dia meminta maaf dan menyerahkan sepenuhnya keputusan masa depan saya sendiri. Saya emmilih kuliah di Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura," ujarnya.
     Kepercayaan sang ayah ia bayar dengan totalitasnya mendalami pertanian. khususnya sagu. Sampai usianya kini, totalitas yang dia janjikan itu tak berubah.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 22 FEBRUARI 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar