Jumat, 03 Februari 2012

Urfiah Syanty: Memberi "Kail" Kemandirian Perempuan


URFIAH SYANTY 
Lahir: Makassar, Sulawesi Selatan, 30 Juni 1965
Ayah: Syamsur Thalib (alm)
Ibu: Nesty (61)
Adik: Nurcholis (39)
Anak: Ayu Sinta Nugraha (18)
Pendidikan:
- SD Muhammadiyah VII Makassar (1971-1977)
- SMP Negeri VII Makassar (1978-1981)
- SMA UMI Makassar (1981-1984)
- S-1 Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin (1984-1990)
- S-2 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (2007-2009)
Kegiatan, antara lain:
- Ketua Yayasan Cipta Diri, lembaga  pendidikan nonformal dan keterampilan,
  Sejak 2001
- Ketua Makassar Sampulo, perkumpulan perajin, desainer, dan pengusaha
  sutra Sulawesi Selatan, 2011
- Pembicara pada berbagai seminar tentang etika

Urfiah Syanty menyadari, kerapuhan ekonomi dengan  mudah menghancurkan kehidupan perempuan. Satu-satunya pilihan adalah membekali perempuan miskin agar mampu berdikari. Untuk itu, dia pun membentuk Yayasan Cipta Diri.

OLEH MARIA SERENADE SINURAT

"Ibu saya membiayai saya sampai kuliah dengan menjahit dan membuat kue," ujar Urfiah mengenang sosok ibunya Nesty (61), yang menjanda setelah sang suami meninggal. Urfiah baru saja selesai mengajar di kelas sulam pita yang dihadiri 25 perempuan. Mereka semua ibu rumah tangga yang bersuamikan buruh harian.
     Dari kisah ibunya, Urfiah belajar dua hal, yakni ketidak berdayaan ekonomi bisa mengikis daya hidup dan ikatan keluarga. Satu pelajaran lagi yang terus dipegangnya sampai saat ini, beri kaum miskin "kail" dan mereka akan memberdayakan dirinya. Dengan semangat itulah, Yayasan Cipta Diri (YCD) dibentuk tahun 2001.
     Kail bagi Urfiah adalah keterampilan. Berdiri pada Juli 2001, YCD menjadi wadah terutama bagi kaum miskin kota di Makassar, Sulawesi Selatan, untu belajar keterampilan seperti menjahit, menyulam, desain busana, menari, hingga olah vokal secara gratis. Menyewa sebuah rumah di Jalan Rappocini, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, YCD membuka pintunya bagi anak muda putus sekolah, penganggur, waria, juga mantan pekeerja seks komersial.
     YCD bermula dari sebuah pengalaman yang tak terduga. Urfiah mendirikan salon kecantikan di Makassar satu dekade silam. Bisnis ini mempertemukannya dengan para waria yang antusias mengikuti kursus tata rias. Urfiah menyadari para waria ini tidak mampu membiayai kursus. Dia pun mengajak kawan-kawannya untuk memberikan kursus tata rias gratis.
     Kegiatan ini membukakan mata Urfiah bahwa manusia berketerampilan akan menemukan jalan untuk memperbaiki hidupnya. Para waria yang dulu dia ajar kini berani bekerja, bahkan membuka salon.
     Urfiah pun memberanika diri membangun YCD. Dia menggandeng para pengajar keterampilan tangan untuk memberikan pelatihan kepada kaum miskin. Awalnya semua berjalan dengan dana pribadi. Pada tahun ketiga, kegiatan ini direspons Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan dan Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, yang bersedia mendukung anggaran.
     Dengan organisasi dan dana yang lebih solid, kelas-kelas yang ditawarkan ebih beragam. YCD pun membuka kelas bakat istimewa grtais untuk anak berusia 7-18 tahun. Pendaftar datang dari berbagai lapisan masyarakat. "Kami fokuskan kepada yang tidak mampu karena merekalah yang perlu disentuh," katanya.
     Dengan memberikan kail, kaum miskin bisa berupaya mencari ikan. Dari YCD inilah mereka yang pernah belajar menemukan pegangan hidup. Akmal Khapoor (33), waria yang belajar tata rias dan menyanyi, kini membentuk grup menyanyi dan tak lagi kembali ke jalanan.

Perempuan

     Tidaklah kebetulan jika kegiatan di YCD melibatkan banyak perempuan. Urfiah menyadari, permasalahan ekonomi menjadi pemicu utama perselisihan dalam keluarga. Bagi keluarga miskin, itu lebih memberatkan karena mereka tidak punya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang layak. Perempuan miskin tanpa pendidikan dan pekerjaan rentan terhadap kekerasan rumah tangga. "Keterampilan adalah ruang bagi mereka mengembangkan diri," ujar Urfiah.
     atas dasar itu, kelas di YCD tidak semata mengajarkan keterampilan teknis, tapi juga keterampilan hidup. Kelas sulam pita, misalnya, dilengkapi materi tentang etika. Mengapa etika? "Saya ingin mereka bisa  menghargai diri mereka, dengan begitu menghargai lingkungan sekitar mereka," kata Urfiah tegas.
     Pelajaran etika sebenarnya sederhana saja. Urfiah membagikan pemahaman tentang bagaimana perempuan harus memberdayakan diri, berkomunikasi dengan orang lain, membangun jaringan, dan memperlakukan orang lain. Urfiah percaya, perempuan ini tidak selamanya akan miskin. "Tahunan mendatang, mereka bisa membagi pengalaman itu kepada perempuan lain," katanya.
     Muara dari semua pelatihan ini adalah perempuan memiliki harga diri dan mengambil peran aktif, baik dalam keluarga maupun masyarakat.

Daya hidup

     Dari para perempuan yang dia temui di YCD, Urfiah belajar bahwa dalam kekurangan dan keterbatasan, manusia justru menemukan daya hidup. Urfiah seakan berkaca tentang hidupnya jika menengok keuletan perempuan yang dia temui.
    Ayahnya meninggal saat Urfiah berusia 7 tahun. Tersisalah ibu dan adik lelakinya yang bertahan berkat kemampuan sang ibu menjahit pakaian dan membuat kue kering. Urfiah muda tertarik mempelajari keterampilan berbusana dan tata rias. Namun, dia justru memilih belajar di Jurusan Sastra Inggris Universitas Hasanuddin.
     Memasuki semester III, Urfiah terpilih mewakili Indonesia dalam program pertukaran pemuda ke Jepang selama  setahun. Sekembalinya ke Indonesia, kehidupan berlangsung mulus, hingga dia lulus, bekerja di sebuah bank, dan menikah tahun 1991.
     Dia meninggalkan pekerjaannya, dan pernikahannya kandas tiga tahun berselang. Dia seperti terlempar ke masa lalu ibunya, sendirian tanpa harta apa pun. Kala itu, putrinya, Ayu Sinta Nugraha (18) belum genap 2 tahun. Pilihan yang paling masuk akal bagi Urfiah ialah kembali ke rumah ibu untuk memberikan ASI eksklusif untuk bayinya.
     Masa transisi itu menguatkan tekad Urfiah untuk bisa mandiri. Dia mencoba apa pun yang bisa dilakukan, mulai dari menjadi agen asuransi hingga penjual cengkeh. Dia melibatkan diri dalam banyak organisasi untuk memperluas jaringan. Pelan tetapi pasti, dia mampu berdiri di kaki sendiri.
     Salon Ayu yang dia rintis akhirnya ditutup tahun 2004 karena waktunya dicurahkan untuk YCD. Tahun 2011 dia mendirikan Makassar Sampulo, wadah bagi perajin, desainer, dan pengusaha sutra di Sulawesi Selatan. Untuk pertama kalinya ada asosiasi para pegiat sutra yang secara aktif mempromosikan sutra alam ke pasar internasional.
     Dengan Makassar Sampulo, Urfiah berharap dunia menengok Indonesia sebagai salah satu produsen sutra alam. Hal ini akan memperbaiki kehidupan perempuan di desa-desa Sulawesi Selatan yang menggantungkan hidup pada usaha tenun sutra yang digeluti setiap hari.
     Urfiah terus menularkan semangatnya di YCD yang sampai saat ini tetap menjadi lembaga nonprofit. Dia juga terus berjuang agar suatu saat sutra Sulawesi Selatan bisa menjadi tuan di rumah sendiri. Untuk semua yang telah berhasil dilaluinya, dia berterima kasih kepada ibu dan para perempuan miskin yang memberinya daya hidup.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 3 FEBRUARI 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar