Senin, 06 Februari 2012

Samtuwo Jaya: "Pendekar" Infrastruktur Pelosok Sinjai

SAMTUWO JAYA
Lahir: Sinjai, 29 September 1963
Istri: Rafida (44)
Anak: Surya Akbar Samid (22) dan Samsuryanidar (20)
Pendidikan:
- SD Negeri 70 Arango Sinjai
- MTs Negeri arango Sinjai
- SMA Cokroaminoto Makassar
Pengaaman kerja:
- Ketua Perkumpulan Petani Pengguna Air "Soba" (1989-2001)
- Koordinator Pengembangan Prasarana Desa (2001-2008)
- Koordinator Program Penanggulangan Kemiskinan Pedesaan (2005)
- Koordinator Program nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan
  (2008-sekarang)
- Pengelola Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (2009-2010)
- Koordinator Kelompok Pemanfaat dan Pemelihara Sarana Prasarana Desa 
  (2010-sekarang)
Penghargaan:
- Pengelola Pembangkit Tenaga Mikrohodrao Terbaik Tingkat Nasional (2009)
- Koordinator Kelompok Pemanfaat dan Pemelihara Sarana Prasarana Desa 
  Terbaik Tingkat Nasional (2011)

Samtuwo Jaya (48) tak pernah belajar manajemen. Namun, upayanya mendorong partisipasi warga selama 22 tahun terakhir bermanfaat banyak bagi kehidupan di pelosok Sinjai Barat, Sulawesi Selatan. Pembanguna jembatan gantung yang diprakarsainya membuka keterisolasian warga di tiga kabupaten sekaligus, yakni Sinjai, Bone, dan Gowa.

OLEH ASWIN RIZAL HARAHAP & NASRULLAH NARA

Jembatan yang beroperasi sejak Oktober 2011 itu tk lepas dari kegigihan Samtuwo meyakinkan warga di Desa Arabika, Kecamatan Sinjai barat, sekitar 250 kilometer arah timur Kota Makassar. Ia sukses melobi warga di empat dusun sehingga mau menggabungkan bantuan dana Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri tahun ini sebesar Rp 180 juta untuk membangun jembatan.
     Warga menyadari pentingnya jembatan untuk mempermudah mobilitas mereka. Ketika pada akhirnya biaya pembangunan membengkak hingga Rp 208 juta, Samtuwo yang dipercaya sebagai koordinator Kelompok Pemanfaatan dan Pemelihara (KPP) Sarana Prasarana Desa pun dengan mudah mendorong warga agar bahu-membahu menutupi kekuranganRp 28 juta.
     Jembatan gantung sepanjang 83 meter itu membentang di atas Sungai Tangka yang berlokasi di Dusun Tonro, Desa Terasa, Sinjai Barat. Dengan lebar 1,7 meter, warga yang menggunakan sepeda motor atau kuda bisa leluasa menyeberang.
     Jembatan tersebut memeprsingkat perjalanan warga Desa Arabika, Terasa, dan Turungan Baji menuju Pasar Bontosalama yang berada di seberang sungai.
     Kini, warga bisa berbelanja kebutuhan pokok di pasar yang jaraknya sekitar 3 kilometer dari desa mereka itu. Sebelum jembatan dibangun, warga harus mengitari Desa Terasa sejauh  20 km untuk sampai ke Pasar Bontosalama. Tarif ojek tujuan pasar yang semula Rp 50.000 pun kini turun menjadi Rp 10.000.
     "Jalan dan jembatan itu memperlancar mobilitas penduduk untuk memasarkan hasil bumi, bahan pokok, dan produk industri rumah tangga," kata Bupati Sinjai Andi Rudiyanto.
     Begitu pula dengan pusat kesehatan masyarakat di Desa Bontosalama. Kini hanya berjarak tempuh 8 km dari Desa Arabika, Terasa, dan Turungan Baji. Jembatan turut mempersingkat rute yang harus ditempuh siswa SD dan SMP setempat dari semula 20 km menjadi 5 km.
     Rupanya tidak hanya warga di Sinjai Barat yang diuntungkan dengan adanya jembatan tersebut. Jembatan itu juga menjadi akses bagi warga Desa Ta'binjai, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, dan Desa Bana, Kecamatan Botocani (Bone). Warga Gowa dan Bone-dua kabupaten tetangga Sinjai-tak lagi menempuh perjalanan 5-6 jam untuk mencapai pusat kota  SInjai. Begitu pula sebaliknya.
     "Fungsi yang tak kalah pentingnya, jembatan amat membantu wargadi Sinjai Barat yang wilayahnya sering dilanda longsor," kata Samtuwo. Topografi Sinjai Barat yang umumnya berbukit-bukit membuat warga kerap terisolir akibat longsor, terutama saat musim hujan tiba.
     Vitalnya fungsi jembatan bagi warga Sinjai Barat berujung pada penghargaan yang diraih ayah dua anak itu sebagai KPP terbaik tingkat nasional tahun 2011. Penghargaan dari Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat diperoleh Samtuwo akhir November lalu bersama 17 KPP terbaik lainnya di Tanah Air.
     Apresiasi itu seolah menjadi puncak dari pengorbanan Samtuwo sejak tahun 1989.Kala itu, suami dari Rafida (44) ini dipercaya sebagai Ketua Perkumpulan Petani Pengguna Air (P3A) Soba. Ia bertanggung jawab memelihara jaringan irigasi desa dan membagikannya secara merata untuk sawah seluas 124 hektar di Dusun Bondo, Desa Arabika.

Memelihara irigasi

     Samtuwo sukses menerapkan sistem subak seperti yang lazim di Bali. Dia tak hanya menjatuhkan sanksi dan memungut iuran saat pascapanen, tetapi juga membentuk tim pemelihara jaringan irigasi. Putra pasangan Pali dan Suhe itu membagi 117 petani di dusunnya dalam beberapa kelompok. Kelompok itu secara bergiliran bertugas memeriksa kondisi jaringan irigasi setiap enam bulan sebelum masa tanam.
     Warga harus punya rasa memiliki agar segala fasilitas yang ada awet dan bermanfaat secara optimal," kata Samtuwo. Pemeliharaan infrastruktur pertanian secara rutin telah meningkatkan produktivitas padi dari 3,5 ton per hektar menjadi 5-6 ton per hektar dengan dua kali panen setahun.
     Setelah 10 tahun lebih mengelola jaringan irigasi desa, Samtuwo dipercaya mengatur kebutuhan air bersih warga. Pada 2001, ia menggerakkan pembangunan delapan bak penampungan air bersih memakia dana bantuan Pengembangan Prasarana Desa (P2D).
     Samtuwo membentuk lembaga pengelola air bersih yang bertanggung jawab membangun jaringan ke rumah warga. Saat ini pipa telah terpasang di 90 persen dari 200 rumah penduduk Desa Arabika. Kesibukannya kian bertambah ketika P2D setahun kemudian difokuskan pada infrastruktur, seperti pembangunan jembatan kecil dan jalan usaha tani.
     Pemeliharaan, menurut Samtuwo, menjadi kunci kelanggengan suatu produk. "Kami tak boleh menyia-nyiakan bantuan yang diberikan karena uluran tangan orang belum tentu hadir setiap," ujar lelaki yang menjabat sebagai Kepala Dusun Bondo sejak 2008 ini.
      Selama lebih dari dua dekade, bungsu dari delapan bersaudara ini menjalani amanah tanpa bayaran sepeser pun. Samtuwo justru merelakan sawah dan kebun kakao seluas 2,5 hektar miliknya dikelola orang lain dengan sistem bagi hasil. Jika ada waktu luang, ia mengunjungi kedua buah hatinya yang tengah berkuliah di Kota Makassar.
     Putra sulungnya, Surya Akbar Samid (22), mengambil Jurusan Sejarah di Universitas Negeri Makassar. Sang adik, Samsuryanidar (20), memilih Jurusan Analis Kesehatan di Universitas Indonesia Timur.
     Meski lahir dari kalangan keluarga petani, niat Samtuwo untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan tinggi tak pernah surut. Tekadnya pun tak pernah luntur untuk terus bekerja tanpa pamrih demi kemaslahatan bersama warga kampung.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 20 DESEMBER 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar