Jumat, 17 Februari 2012

Mateus Krivo: Penggerak Lumbung Pangan Kampung


MATEUS KRIVO
Lahir: Wolowaru, Ende, 21 September 1972
Pendidikan: STF Katolik Ledalero, Maumere, Flores
Istri: Consolastri Maria Adelheid
Anak: Yordan (5) dan Sismendi (3)

Kasus gizi buruk, kematian ibu melahirkan, kematian anak di bawah usia lima tahun, yang akhirnya bermuara pada rendahnya sumber daya manusia,, terus menimpa warga Nusa Tenggara Timur. Persoalan memprihatinkan terebut selalu mendominasi maslaah kemanusiaan di daerah itu, dari tahun ke tahun. Dua tahun terakhir ini, kasus-kasus itu mulai teratasi.  

OLEH KORNELIS KEWA AMA

"Tetapi pemerintah cenderung mengabaikan masalah serius ini," kata Mateus Krivo, Direktur yayasan Animasi Timor Tengah Selatan, dalam pertemuan tematik membahas peran perempuan dalam ekonomi lokal di Kupang, Nusa Tenggara timur (NTT), Kamis (9/2). Saat itu, kelompok binaannya memamerkan aneka produk pangan lokal hasil karya mereka. "Persoalan pangan di Nusa Tenggara Timur sangat sserius," tambah Krivo.
     Dia menelurkan gagasan untuk menjadikan kampungnya sebagai lumbung pangan. Kampung dijadikan tempat simpan pangan dengan cara mulai menanami kebun warga dengan aneka tanaman untuk kebutuhan setiap waktu, kintal dan  padang ternak, hingga rekening bank/dompet dan koperasi. Definisi ini kemudian direalisasikan dengan membuka kebun pangan luas, yang ditanami aneka tanaman di dalamnya, untuk kebutuhan rumah tangga dan pasar.
     "Kalau masyarakat cukup pangan, masalah kemanusiaan yang kita resahkan tiap tahun dan masalah kriminal lain dapat ditekan," kata Krivo.
Untuk mewujudkan hal tersebut, lanjutnya, semua sudah tersedia di kampung.
     "Potensi sumber daya alam sudah ada. Sekarang tinggal bagaimana kita memberdayakan potensi yang ada bersama masyarakat lokal itu sendiri," tambahnya.
     Krivo bersama lima anak buahnya memulai kegiatan pemberdayaan dan pengadaan lumbung pangan kampung tahun 2009. Mereka memulainya dari awal dengan berbagai penjajakan. Desa impian masa depan yang bertumpu pada potensi lokal yang ada di dalam desa itu pun mereka coba rumuskan.
     "Kami mulai mendata potensi lokal di 10 desa binaan dengan 36 kelompok tani di dalamnya. Kemudian dilakukan pemberdayaan murni terhadap kelompok binaan tadi," ujar Krivo.
     Kelompok-kelompok tani tersebutkemudian mengembangkan berbagai pangan lokal seperti jagung, umbi-umbian, kacang-kacangan, sorgum, pisang, sayur-sayuran, serta buah-buahan. Ke-10 desa binaan itu adalah Noeneto, Oof, Naukae, Nusa, Enoneontes, Olais, Oeekam, Naip, Nonkae, dan Desa Oefliki.
     Krivo dan kawan-kawan memilih dessa-desa yangtersebar di enam kecamatan tersebut karena di sana sering terjadi kasus rawan pangan.

Embung swadaya

     Pada tahun 2010/2011, sebanyak 36 kelompok tani di 10 desa itu masing-masing memiliki satu embung. Embung berukuran 4 atau 5 meter persegi tersebut berisi 2.000-3.000 liter air. Dari 10 desa itu, enam desa di antaranya memiliki embung hasil swadaya masyarakat, sedangkan embung di empat desa lain merupakan bantuan dari pemerintah setempat.
     Air embung tersebut sebagai stok untuk menghadapi musim kemarau. Setidaknya digunakan untuk menyiram sayur-sayuran atau tanaman bumbu maupun jenis tanaman palawija seperti kacang-kacangan. Sedangkan ternak sapi dan kerbau dapat diikat di sekitar embung untuk memanfaatkan limbah air tersisa.
     Kondisi rawan pangan biasa terjadi September-Januari. Pada masa ini, Krivo selalu melakukan pemantauan ke desa-desa. Jika terjadi puncak rawan pangan, dia mengantisipasinya dengan berbagai kegiatan, termasuk memanfaatkan air embung tersisa serta menanam sayur dan kacang-kacangan.
     "Sayur dan kacang-kacangan sangat cepat tumbuh dan dipanen. Dua jenis tanaman ini sangat membantu warga untuk keluar dari tekanan paceklik yang biasanya berakhir dengan gizi buruk dan kematian," papar Krivo.
     Dari 10 desa binaan itu, empat desa sudah cukup mandiri dalam ketersediaan pangan pengganti beras. Keempat desa tersebut, yakni Enoneon, Tes, Neometo, dan Nusa. Masyarakat setempat sudah memiliki keterampilan mengolah hasil pascapanen secara lebih bernilai gizi, efisien, dam ekonomis.
     Di empat desa ini juga sudah terbangun lumbung pangan desa. Di lumbung pangan ini tersimpan sejumlah pangan substitusi seperti jenis umbi yang bertahan sampai 5-6 bulan, jagung kacang-kacangan,  dan padi. Makanan ini dikumpulkan oleh anggota kelompok sesuai dengan kesepakatan.
     Satu keluarga mengumpulkan 17.000-20.000 tongkol jagung. Itu belum termasuk umbi-umbian, kacang, pisang, sorgum, labu kuning kering, ternak ayam, dan lainnya. Sebagian dari mereka mencoba mengusahakan kerajinan tenun ikat dan usaha bawang putih atau bawang merah. Petani menjual hasil panen ini di pasar sebagai penambah penghasilan. Sebagian lain disimpan di lumbung pangan kampung, sesuai kesepakatan.
     "Kesepakatan itu meliputi kapan dimanfaatkan, siapa penanggung jawab, bagaimana kalau dijual kepada masyarakat umum, atau prioritas untuk anggota kelompok saat paceklik," kata Krivo. Tetapi satu kesepakatan utama adalah anak-anak di dalam desa itu tidak boleh mengalami kasus gizi buruk atau rawan pangan. "Untuk kebutuhan anak-anak ini, kesepakatan bisa diintervensi lebih intensif dan mudah," lanjutnya.
     Berkat upaya Krivo dan kawan-kawan, sejak 2010-2011 tidak ada kasus rawan pangan atau gizi buruk di desa-desa binaan itu. Petani kelompok binaan tersebut sangat kompak. Mereka saling memberi informasi mengenai perkembangan harga hasil pertanian di pasar-pasar.
     Krivo juga mendorong desa-desa yang sukses untuk memotivasi desa-desa binaan lain yang belum sukses melalui informasi dan contoh nyata. Jaringan ke pasar-pasar terdekat juga dibangun.
     Para petani didorong mendayagunakan bibit lokal. Bibit ini lebih tahan terhadap serangan hama karena sesuai dengan karakter tanah, iklim, dan cuaca ketimbang bibit dari luar. "Kami juga mendorong mereka mengembangkan pupuk organik sendiri. Pupuk jenis ini mudah didapatkan. Mereka tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli pupuk dari pedagang," katanya.
     Krivo mengakui, tidak mudah membimbing petani yang sudah ratusan tahun hidup dengan pertanian berpindah-pindah tempat. Petani biasanya menebang pohon, membakar lahan, kemudian menanam setelah hujan turun.
     "Soal ini pun saya harus beri pemahaman dan pengertian kepada mereka. Cara berpikir petani sangat terbatas. Mereka hanya berpikir, bagaimana mendapatkan makanan hari ini. Dan hari esok, mereka cari lagi. Ketika mereka selesai panen, biasanya mereka beristirahat sampai hasil panen itu habis dikonsumsi, kemudian mereka cari lagi," cerita Krivo.
     Petani jarang berpikir masa depan yang lebih baik, melalui persiapan hari ini. Kondisi yang demikian membuat mereka sangat sulit berkembang.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 16 FEBRUARI 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar