SUKIRNO
Lahir: Balikpapan, Kalimantan Timur,10November 1964
Istri: Mince Yunus (46)
Anak:
- Wahyu Rahmat Haryadi (23)
- Winda Ayu Bestari (19)
- Wisnu Satrio Wibowo (18)
Pekerjaan: Kepala Puskesmas Krayan, Kalimantan Timur
Pendidikan: Sekolah Perawat Balikpapan, 1982-1985
Pencapaian:
- Perawat teladan se-Propinsi kalimantan Timur dalam program Pemilihan
Perawat Teladan Tingkat Nasional, 1991
- Terpilih sebagai tenaga kesehatan haji di Kabupaten Nunukan, 2000
Sudah 25 tahun Sukirno mengabdi sebagai perawat di dataran tinggi Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, yang berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia. Suka-duka menguatkan dirinya untuk terus merawat warga di perbatasan.
OLEH HARRY SUSILO
Dibangunkan pada tengah malam, berjalan belasan kilometer, serta dibayar dengan beras dan ayam pernah dia rasakan. Malamitu, sekitar pukul 19.00 Wita, seorang nenek keluar dari rumah Sukirno, dipapah cucu perempuannya. Tak lama, giliran Mince Pengeran (40) masuk ke rumah itu. Ia menggendong putranya, Fabio (4).
"Saya kerap menggedor rumah Pak Kirno jam sepuluh malam (pukul 22.00 Wita) karena anak saya sakit perut dan sakit gigi. Lagi pula, kami sudah cocok dengan Pak Kirno," kata Mince yang datang dengan suaminya, Yuwel (37).
Hampir setiap hari rumah Sukirno kedatangan banyak warga. "Orang sakit itu tidak kenal waktu," ujar Sukirno yang menyadari risiko menjadi petugas medis di daerah pedalaman.
Krayan, dengan luas sekitar 1.837 kilometer persegi, terletak di Kalimantan Timur bagian utara, berbatasan dengan Serawak. Dengan kondisi topografis berbukit-bukit dan dikelilingi kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang, tak ada akses darat yang menghubungkan Krayan dengan wilayah lain di Indonesia.
Satu-satunya alat transportasi yang menjangkau Krayan aadalah pesawat perintis jenis Cessna Grand Caravan atau Pilatus Porter berkapasitas 6-9 orang. Biayanya mencapai Rp 900.000 untuk sekali terbang dari Tarakan ataupun Nunukan.
Sukirno, Kepala Puskesmas Krayan, adalah satu-satunya perawat di Kabupaten Nunukan. Ia dipercaya memegang jabatan strategis karena pengalamannya menangani pasien di pedalaman.
Acap kali ia mesti merelakan waktu istirahatnya demi mengobati pasien yang tempat tinggalnya berjarak belasan kilometer. Padahal, akses antardesa kadang harus ditempuh dengan berjalan kaki.
Warga yang datang ke rumahnya pada tengah malam biasanya membutuhkan penanganan darurat. Ia memahami situasi itu tanpa mengeluh. "Ada warga yang sakit perut, demam tinggi, atau muntaber. Kita harus siap karena tenaga kesehatan terbatas," katanya.
Pernah suatu tengah malam, pintu kontrakan Sukirno digedor sejumlah orang dari desa lain yang panik karena saudara mereka terkena parang di kaki. Ia lalu ke rumah si pasien dan menjahit luka di kaki itu. "Saya terpaksa menginap di sana karena sudah terlalu larut untuk pulang," kata pria yang beristrikan Mince Yunus, perempuan Dayak Lundayeh, ini.
Tak semua warga yang meminta pertolongannya bisa membayar karena miskin. Jika tidak ada uang, sebagian warga memberinya beras, lauk-pauk, atau seekor ayam sebagai bentuk terima kasih. Padahal, tarif sekali berobat di Krayan Rp 30.000. Ini termasuk obat jika penyakit yang diderita warga tergolong ringan. Biaya rawat inap Rp 20.000 per malam.
Melawan sepi
Bagi Sukirno, tugas di daerah pedalaman dan perbatasan seperti Krayan menguji kesabaran dan menantang pengabdian. Sejak ditugaskan sebagai perawatdi Puskesmas Pembantu Desa Terang Baru, Kecamatan Krayan, September 1986, ia telah mengalami suka-duka petugas medis dengan keterbatasan alat dan sumber daya manusia."Saat itu, sepeda motor pun belum ada," ujarnya.
Krayan pun belum tersentuh listrik dan komunikasi hanya lewat surat. Untuk mengirimkan surat kepada keluarga, ia menitipkan kepada pilot penerbangan perintis ke Tarakan karena kantor pos belum beroperasi.
Dengan gaji Rp 44.000 per bulan pada masa awal ia bekerja, tak cukup bagi Sukirno untuk membeli tiket pesawat yang saat itu Rp 48.000 untuk sekali terbang ke Tarakan. Tak ada pilihan selain harus memendam rindu kepada keluarga hingga bertahun-tahun.
Kondisi ini sempat membuat Sukirno nyaris putus asa. Sejak pertama kali ditempatkan di sana, lima kali ia mengajukan pindah tugas, tetapi tak dikabulkan Pemerintah Kabupaten Bulungan (sebelum dimekarkan menjadi Kabupaten Nunukan).
Keputusan mengajukan pindah itu dilakukan karena ia merasa berat harus hidup sendiri, berjuang melawan sepi. Rasa sepi itu sedikit terkikis setelah bertemu Mince Yunus, yang lalu menjadi istrinya.
Dia kembali mengajukan pindah karena ingin membesarkan anaknya di luar Krayan yang kondisinya serba terbatas. Ia mengajukan pindah tugas ke Balikpapan, tarakan, dan Nunukan, tetapi semuanya tak terwujud.
Pada tahun 1995, barulah Sukirno memutuskan menikmati tugasnya. Dengan peralatan medis seadanya, ia mengunjungi pasien yang tersebar di Krayan.
Warga patungan
Hampir semua warga Krayan mengenal Sukirno. Jika sang perawat tak ada di puskesmas, mereka mendatangi rumahnya. banyak warga merasa cocok dengan diagnosis dan cara dia memperlakukan pasien.
Sukirno tak sembrono. Jika ada pasien terkena penyakit yang membutuhkan perlakuakn khusus, seperti pendarahan atau bedah, langsung dirujuknya ke Kota Tarakan agar secepatnya ditangani dengan peralatan yang lebih baik.
Sejak awal berada di Krayan, ia menyadari hanya sebagian penyakit yang dapat langsung ditanganinya, dengan keterbatasan peralatan dan tenaga medis di Puskesmas Krayan. Namun, ia tetap bertindak hat-hati.
"Daripada harus ditahan-tahan (pasiennya), nanti malah kita yang disalahkan. Di Tarakan, mereka bisa dirontgen dan mendapat perawatan lebih lanjut," katanya.
Di sisi lain, merujuk pasien ke Tarakan berarti warga harus mengeluarkan uang lebih banyak dengan mengangkut si pasien menggunakan pesawat terbang. Untuk itu, kata Sukirno, semestinya biaya berobat bagi warga perbatasan ditanggung pemerintah.
"Kadang warga patungan untuk mengobati tetangganya yang sakit keras. Tapi, warga juga tahu, sebagai tenaga medis, saya tidak bisa ambil risiko," ujar Sukirno yang menjadi perawat teladan se-Kalimantan Timur tahun 1991.
Sebagai kepala puskesmas, dia mencanangkan program "Krayan Sehat" yang berharap dapat dicapai pada 2015. Sukirno memimpikan keberadaan tenaga medis disetiap lokasi (terdiri atas 3-4 desa).
Kini, baru sekitar 60 persen dari 21 lokasi (65 desa) di Krayan yang memiliki tenaga kesehatan. Kondisi ini membuat warga kerap mesti ditandu untuk dibawa ke Long Bawan, ibu kota kecamatan.
Sukirno telah menikmati apa yang dilakukannya selama lebih 25 tahun. bagi dia, bekerja tanpa harus dijadikan beban akan membuat diri merasa lebih berarti bagi masyarakat.
Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 9 FEBRUARI 2012
Krayan pun belum tersentuh listrik dan komunikasi hanya lewat surat. Untuk mengirimkan surat kepada keluarga, ia menitipkan kepada pilot penerbangan perintis ke Tarakan karena kantor pos belum beroperasi.
Dengan gaji Rp 44.000 per bulan pada masa awal ia bekerja, tak cukup bagi Sukirno untuk membeli tiket pesawat yang saat itu Rp 48.000 untuk sekali terbang ke Tarakan. Tak ada pilihan selain harus memendam rindu kepada keluarga hingga bertahun-tahun.
Kondisi ini sempat membuat Sukirno nyaris putus asa. Sejak pertama kali ditempatkan di sana, lima kali ia mengajukan pindah tugas, tetapi tak dikabulkan Pemerintah Kabupaten Bulungan (sebelum dimekarkan menjadi Kabupaten Nunukan).
Keputusan mengajukan pindah itu dilakukan karena ia merasa berat harus hidup sendiri, berjuang melawan sepi. Rasa sepi itu sedikit terkikis setelah bertemu Mince Yunus, yang lalu menjadi istrinya.
Dia kembali mengajukan pindah karena ingin membesarkan anaknya di luar Krayan yang kondisinya serba terbatas. Ia mengajukan pindah tugas ke Balikpapan, tarakan, dan Nunukan, tetapi semuanya tak terwujud.
Pada tahun 1995, barulah Sukirno memutuskan menikmati tugasnya. Dengan peralatan medis seadanya, ia mengunjungi pasien yang tersebar di Krayan.
Warga patungan
Hampir semua warga Krayan mengenal Sukirno. Jika sang perawat tak ada di puskesmas, mereka mendatangi rumahnya. banyak warga merasa cocok dengan diagnosis dan cara dia memperlakukan pasien.
Sukirno tak sembrono. Jika ada pasien terkena penyakit yang membutuhkan perlakuakn khusus, seperti pendarahan atau bedah, langsung dirujuknya ke Kota Tarakan agar secepatnya ditangani dengan peralatan yang lebih baik.
Sejak awal berada di Krayan, ia menyadari hanya sebagian penyakit yang dapat langsung ditanganinya, dengan keterbatasan peralatan dan tenaga medis di Puskesmas Krayan. Namun, ia tetap bertindak hat-hati.
"Daripada harus ditahan-tahan (pasiennya), nanti malah kita yang disalahkan. Di Tarakan, mereka bisa dirontgen dan mendapat perawatan lebih lanjut," katanya.
Di sisi lain, merujuk pasien ke Tarakan berarti warga harus mengeluarkan uang lebih banyak dengan mengangkut si pasien menggunakan pesawat terbang. Untuk itu, kata Sukirno, semestinya biaya berobat bagi warga perbatasan ditanggung pemerintah.
"Kadang warga patungan untuk mengobati tetangganya yang sakit keras. Tapi, warga juga tahu, sebagai tenaga medis, saya tidak bisa ambil risiko," ujar Sukirno yang menjadi perawat teladan se-Kalimantan Timur tahun 1991.
Sebagai kepala puskesmas, dia mencanangkan program "Krayan Sehat" yang berharap dapat dicapai pada 2015. Sukirno memimpikan keberadaan tenaga medis disetiap lokasi (terdiri atas 3-4 desa).
Kini, baru sekitar 60 persen dari 21 lokasi (65 desa) di Krayan yang memiliki tenaga kesehatan. Kondisi ini membuat warga kerap mesti ditandu untuk dibawa ke Long Bawan, ibu kota kecamatan.
Sukirno telah menikmati apa yang dilakukannya selama lebih 25 tahun. bagi dia, bekerja tanpa harus dijadikan beban akan membuat diri merasa lebih berarti bagi masyarakat.
Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 9 FEBRUARI 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar