Senin, 13 Februari 2012

Sanamo: "Empu" Perajin Keris Aengtongtong

SANAMO
Lahir: Aengtongtong, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, 25 Mei 1971
Istri: Lutfiah (41)
Anak:
- Selfi (22)
- Emilia (16)
Pendidikan:
- SDN Talang I Kecamatan Saronggi, Kabupaten Sumenep
- SMPN I Saronggi
- SMA Pesantren Sumenep
Pekerjaan:
- Perajin dan pengepul kerajinan keris
- Bendahara Paguyuban (Perajin Keris) Megaremeng, Aengtongtong
- Ketua Paguyuban Musik Rabana Desa Aengtongtong
- Ketua Persatuan Karjeh (semacam arisan hajatan) Desa Aengtongtong

Desa Aengtongtong, Kecamatan Saronggi, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, kondang dengan produk kerisnya. Karya para perajin di desa itu sudah melanglang buana, tetapi nasib mereka masih jauh dari sejahtera. Minimnya perhatian bagi para perajin itu tak menyurutkan semangat Sanamo, satu dari ratusan perajin keris, untuk terus mengembangkan usaha ini.

OLEH RUNIK SRI ASTUTI/AGNES SWETTA PANDIA

Jalan menuju Desa Aengtongtong yang lebarnya hanya cukup untuk satu mobil ini relatif sepi. Namun, dibalik kesunyian itu, warga setempat sibuk menggarap keris pusaka. Warga desa ini seakan dilahirkan untuk mahir mereparasi keris pusaka lama dan terampil membuat keris baru.
     Sanamo mengklaim, perajin di desanya tak hanya pintar membuat keris jawa, tetapi mereka juga mahir membuat keris bugis dan melayu. "Kami mendapatkan keahlian ini secara otodidak, turun-temurun."
     Sebagian besar warga di Desa Aengtongtong tak hanya menguasai teknik pembuatan keris, tetapi mereka juga paham pakem dari hampir semua pamor keris Nusantara. Contohnya, pamor melati rinonce, beras wutah, bulu ayam, hujan emas, dan junjung drajat.
     Keahlian itu menjadi salah satu pertahanan bagi industri kerajinan keris pusaka di desa yang berjarak 18 kilometer dari Kota Sumenep, atau 19 kilometer dari Surabaya, tersebut. Namun, industri kecil ini nyaris tak mendapat perhatian dari Pemerintah Kabupaten Sumenep meski kerajinan pusaka itu menjadi mesin uang, selain pekerjaan pokok warga sebagai petani.
     Hampir 1.000 jiwa dari sekitar 1.300 jiwa penduduk Desa Aengtongtong menjadi perajin keris pusaka. Mereka menangani industri hulu hingga proses penghalusan keris. Di sini juga berlangsung industri pembuatan aksesoris keris, seperti warangka atau tempat keris dan sarung keris.

Bersatu

     Sayang, perajin keris di desa ini seakan dibiarkan berjalan sendiri tanpa pembinaan. Saat mereka kesulitan modal usaha, pemerintah daerah pun relatif tak peduli termasuk ketika para perajin dipermainkan tengkulak sehingga mereka merugi.
     Melihat kondisi itu, Sanamo tak tinggal diam. Ia menghampiri satu persatu perajin, menggandeng mereka untuk bersatu. Menurut dia, hanya dengan bersatu, segala persoalan yang membelit perajin selama ini bisa dicarikan jalan keluar.
     Sebagai contoh, kata ayah dari dua putri ini, dulu perajin saling sikut dalam memasarkan produk karena tak ada standar harga dasar. Mereka jual rugi karena terdesak kebutuhan hidup.
     Situasi itu berubah total saat Sanamo berhasil mendirikan Paguyuban Perajin Keris Aengtongtong Megaremeng. Harga keris bentuk kasar, hasil karya perajin, dipatok Rp 400.000- Rp 500.000 per bilah. Harga itu bisa berkembang hingga jutaan rupiah, bahkan puluhan juta rupiah, jika telah disempurnakan menjadi keris lengkap dengan ukiran dan pamornya.
     Usaha Sanamo memajukan perajin keris di desaanya tak pernah berhenti. Satu persatu masalah perajin diurai, termasuk keterbatasan akses mendapatkan modal kerja dan pemasaran. Perajin umumnya mengandalkan modal sendiri dan pinjaman dari rentenir. Perbankan dan lembaga keuangan belum melirik usaha yang rata-rata setiap pekan menghasilkan sedikitnya 1.000 bilah keris ini.
     Melihat ketidakadilan itu, Sanamo "berontak". Ia menggalang kekuatan modal dari perajin dan membentuk koperasi. Meski belum berbadan hukum, koperasi ini telah memiliki usaha simpan pinjam yang produktif dengan jumlah dana yang dikelola ratusan juta rupiah.
     "Perajin butuh modal kerja tinggal pinjam kepada koperasi. Mereka bisa mencicil pinjamannya dengan nilai cicilan yang tidak memberatkan karena disesuaikan dengan kemampuan perajin," ujarnya.
     Ketika ada perajin gagal bayar, koperasi tak membebani anggotanya yang kesulitan, caranya, perajin diberi kesempatan membangkitkan kembali usahanya sampai ia mampu mencicil utang. Selama masa menunggu pelunasan, perajin lain ikut membimbing agar usaha itu berkembang.

Akses pasar

     Sanamo juga berusaha membuka akses pasar. ia menampung semua karya perajin dan dibeli tunai sesuai dengan standar harga sehingga perajin bisa untung. Dia kemudian memasarkan keris-keris itu ke berbagai penjuru Nusantara.
     Dari pasar tradisional di empat kabupaten di Pulau Madura, dia melebarkan sayap ke kota-kota besar, seperti Surabaya, Bali, dan Jakarta. Beragam metode penjualan dia tempuh, mulai dari berdagang secara konvensional dengan menggelar lapak di pasar sampai membuka jaringan pemasaran dengan memajangnya lewat internet.
     Sanamo mempromosikan keris dari Aengtongtong lewat beragam jejaring sosial, seperti Facebook dan Twitter. Hasilnya, keris melayu buatan anak Desa Aengtongtong pun "berlayar" hingga Malaysia.
     Ibarat perahu yang berlayar mengarungi samudra bisnis, terpaan badai pada industri kerajinan keris di Aengtongtong tak pernah berhenti. Salah satunya, perajin sering ditangkap polisi karena membawa keris pusaka untuk dijual. Aparat beralasan, keris termasuk senjata tajam yang bisa membahayakan keselamatan jiwa masyarakat.
     Tindakan ini jelas menghambat bisnis kerajinan keris. Apalagi, perajin harus mengeluarkan uang sampai jutaan rupiah supaya tak ditahan. Meskipun sudah jelas keris itu warisan budaya yang dilindungi," cetusnya.
     Sanamo kian sedih karena banyak perajin tak cakap saat adu argumentasi dengan aparat keamanan yang menahan mereka. Kendalanya, tingkat pendidikan mereka relatif rendah sehingga saat berhadapan dengan polisi biasanya mereka langsung takut. Dampak dari kondisi ini, perajin tak berani memasarkan sendiri karya kerisnya. Mereka memilih menjual kepada tengkulak meski dengan harga murah.
     Kondisi yang demikian membuat Sanamo terus berjuang demi melindungi perajin dari aparat keamanan.
     Meski ada koperasi, "empu" keris di Desa Aengtongtong ini masih berupaya mencari terobosan guna mendapatkan modal usaha bagi perajin. Misinya, kerajinan keris di Desa Aengtongtong meningkat pamornya seiring dengan pamor keris yang dihasilkan warganya.
     Tak hanya modal, berbagai perizinan terkait usaha kerajinan keris pun terus dia upayakan agar lebih mudah. Sang "empu" ingin agar keris yang sarat dengan nilai seni ini tak lagi dipandang setara dengan senjata tajam. Di Aengtongtong, Madura, ribuan orang menggantungkan nasibnya pada usaha kerajinan keris ini.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 7 FEBRUARI 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar