NADIA MUTIA RAHMA
Lahir: Yogyakarta, 12 Juni 1989
Pendidikan:
- SD Muhammadiyah Condongcatur Yogyakarta (1997-2002)
- SMP Al Azhar Bumi Serpong Damai, tangerang Selatan (2003-2005)
- Higashiura Senior High School, Jepang (2006-2008)
- KAI Japanese Language School (2008-2009)
- Esmod Japon, Jepang (2009)
Karier:
- Pendiri dan desainer Kloom (2009-sekarang)
- CEO dan Creative Director PT Kloom Kreasi Indonesia (2011-sekarang)
Usia muda tak menghalangi Nadia Mutia Rahma bergelut merintis usaha di bidang "fashion". Sekitar dua tahun lalu, Nadia memperkenalkan kelom (sandal kayu) buatan dalam negeri sampai kemudian berhasil menembus pasar Eropa.
OLEH SUSIE BERINDRA
Nadia merupakan pemilik sekaligus desainer kelom yang diberi merek Kloom. Selain dijual di Jakarta, kelom-kelom cantik bikinannya juga diekspor ke Inggris, Swedia, Norwegia, dan Denmark. Selain itu, Kloom juga diminati pembeli dari Amerika Serikat dan Australia.
Usaha kelom yang ditekuni Nadia berawal saat ia tinggal di Jepang, mengikuti ayahnya yang bertugas di "Negeri Sakura" itu. Untuk memperlancar kemampuan berbahasa Jepang, Nadia mengambil program bahasa di KAI Japanese Language School, salah satu sekolah bahasa Jepang di Shinjuku, Tokyo. Ketika mengikuti program itulah, dia bertemu dengan siswa yang berasal dari mancanegara, salah satunya Skandinavia.
Salah satu budaya dari temannya yang berasal dari Skandinavia adalah memakai clog atau kelom. "Bukan hanya Skandinavia yang punya budaya itu, Jepang juga mempunyai sandal kayu. Di Indonesia sebenarnya juga ada tradisi memakai sandal kayu, seperti kalau di Jawa namanya teklek. Sejak itulah saya berangan-angan membuat kelom yang berbau Indonesia, dan harus dari kayu lokal," kata Nadia.
Ketertarikannya menjadi desainer membuat Nadia memilih untuk melanjutkan sekolah di Esmod Japon di Tokyo. Meski hanya sempat mengenyam pendidikan di Esmod selama setahun, Nadia merasa mendapat banyak pelajaran. Salah satu pelajaran yang didapatkan terkait dengan produksi sepatu.
"Setelah setahun di Esmod, saya merasa ingin balik ke Indonesia, dan belum ingin menyelesaikan sekolah di Jepang. Saat memutuskan pulang, saya merasa tertantang dan tertarik untuk mendalami bisnis sepatu," papar putri dari pasangan Nanang Sunarya dan Siti Noerdiyanti itu.
Tahun 2010, Nadia menyusul orangtuanya kembali ke Indonesia. Ia pun sempat mengambil pendidikan di Akademi Teknologi Kulit di Yogyakarta. Namun, ia hanya bertahan satu semester. Mengenai sekolah yang selalu berpindah, Nadia mengaku mudah bosan dan selalu ingin mempelajari hal-hal yang baru.
Untuk memulai usahanya, Nadia melakukan survei di sejumlah toko online yang menjual kelom, baik produk lokal maupun internasional. dari situ, Nadia lebih yakin melangkah memproduksi kelom karena belum banyak pengusaha kelom. Ia pun mulai merancang kelom yang bisa dipasarkan ke luar negeri atau pun dalam negeri.
"Saya memang gambling (bertaruh) untuk usaha ini. Saya berpikir bagaimana membuat sebongkah kayu yang ditempeli kulit supaya bisa menjadi sandal atau sepatu yang menarik dengan harga mahal," katanya.
Dua jenis desain
Kloom mempunyai dua desain yang berbeda untuk pasar dalam negeri dan luar negeri. Untuk kelom yang dijual di dalam negeri, Nadia memadukan sandal kayu dengan kulit yang diimpor dari Australia. Sedangkan, untuk kelom yang diekspor, Nadia mempermanis sandal kayu dengan kain batik atau kain tenun tradisional. Nadia memegang prinsip bersih, minimalis, dan tradisional dalam setiap desain kelomnya.
"Konsumen di Indonesia pasti menginginkan desain sandal yang kebarat-baratan. Karena itu, saya menggunakan kulit yang paling bagus supaya terlihat mewah. Sesuatu yang minimalis juga bisa terlihat lebih mahal. Tetapi, untuk kelom dengan kulit, saya tak memproduksi banyak karena kalah dengan buatan Italia," ujarnya.
Bermodalkan uang Rp 30 juta dari ayahnya, Nadia memulai usaha dengan mencari perajin sandal kayu di wilayah Yogyakarta dan Magelang, Jawa Tengah. Demi kecintaannya kepada negeri sendiri, Nadia menggunakan kayu lokal, seperti kayu mahoni dan kayu sampang. Untuk bahan kulit mentah, dia memang mengimpor dari Australia, tetapi proses penyamakan kulit dilakukan sendiri.
Produksi kelom pertama kali berjumlah 150 pasang. Setelah itu, jumlah produksi bertambah. Saat ini, dalam setahun Nadia bisa memproduksi 500.000 pasang sandal atau sepatu kayu. "Kenaikan jumlah produksi cukup signifikan. Awalnya 150 pasang, kemudian naik menjadi 400 pasang, dan sekarang sekali produksi bisa mencapai 3.000 kelom," kata Nadia.
Saat ini, Nadia mempekerjakan 40 perajin kelom yang dianggap mampu membuat sandal kayu sesuai dengan desain Kloom. Mencari perajin yang cocok bukan hal mudah bagi Nadia. Sebagai anak muda, dia harus ngemong para perajin yang rata-rata berusia 40 tahun ke atas. "Saya berkali-kali ganti perajin. Kebanyakan sudah tua, bahkan ada yang saya panggil simbah. Kadang-kadang saya harus menjaga emosi saat bertemu mereka. Jadi harus pandai membawa diri supaya hasil pekerjaan mereka juga bagus," kata Nadia.
Untuk menjual produk Kloom di Jakarta, Nadia mempunyai gerai di Plaza Indonesia dan toko di BSD, Tangerang. Selain itu, Kloom juga dijual secara online dengan nama Kloom Clogshop.
Produk tersebut semakin terkenal saat ikut meramaikan Jakarta Fashion Week. Saat itu Nadia diajak oleh desainer Ayang Cempaka yang mempunyai produk tas berlabel Cocomomo.
Pesanan dari luar negeri pun terus bertambah. Awalnya permintaan datang dari Swedia sebanyak 250 pasang. Selanjutnya meningkat dengan adanya pesanan dari Denmark, Belanda, dan Yunani yang meminta 100-200 kelom. Akhir tahun lalu permintaan dari Swedia bertambah menjadi 500 pasang kelom.
"Saat ini kami juga sedang bernegosiasi dengan pengusaha dari Swedia untuk bisa mengirimkan 10.000 pasang kelom per tiga bulan. Kami memang berusaha meningkatkan jumlah produksi yang diekspor, terutama ke Swedia," ujarnya.
Harga kelom yang dijualnya di Indonesia mulai dari Rp 250.000 sampai Rp 1,7 juta per pasang. Sedangkan yang diekspor mulai dari 40 dollar AS sampai 150 dollar AS per pasang.
Omzet penjualan Kloom untuk pasar lokal bisa mencapai Rp 300 juta per bulan, yaitu saat menjelang Lebaran. "Tadinya saya berpikir kelom itu akan diminati orang dewasa berusia sekitar 23 tahun ke atas. Ternyata banyak remaja yang juga mencari produk ini," kata Nadia.
Kini, usaha Nadia memperkenalkan kelom dengan bahan lokal berdesain mewah tak sia-sia. Sandal kayunya diminati banyak kalangan. Dia pun membantu perekonomian perajin lokal.
Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 29 MARET 2012