Senin, 05 Maret 2012

Rambu Meha dan Konda Ngguna: Penggerak Perempuan Sumba

MARLINA RAMBU MEHA
Lahir: Kananggar, Sumba Timur,14 Agustus 1971
Suami: Abas Hukung
Anak:
- Junaidin (20)
- Hidayat (18)
- Ayu Rahmatya (16)
Pekerjaan: Ibu rumah tangga dan Penasehat KWT Tapa Walla Badi

KONDA NGGUNA
Lahir: Wairinding, Sumba Timur, 14 Februari1971
Suami: Dicky Talu Ndewa
Anak:
- Dewiyanti (15)
- Arnaldus (10)
- Yudian (18 bulan)
Pekerjaan: Ketua KWT Tapa Walla Badi

Kelompok wanita tani (KWT) Tapa Walla Badi di Kambata, Desa Mbata Kapidu, Kecamatan Kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, tengah naik daun. Ini seiring berbagai langkah KWT untuk meningkatkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat setempat.

OLEH FRANS SARONG DAN BRIGITTA ISWORO

Mereka berhasil menembus 16 nominasi peraih Kehati award ke-7 dari 100 peserta perseorangan/kelompok. Kelompok ini dimotori dua perempuan, Marlina Rambu Meha dan Konda Ngguna. Kehati adalah yayasan yang memberikan dukungan dan sumber daya guna memfasilitasi berbagai aktivitas, konservasi, dan penggunaan biodiversitas di Indonesia secara berkelanjutan.
     Puji Sumedi dari Kehati mengatakan, penghargaan kali ini difokuskan pada ketahanan pangan. Nominasi penghargaan ini adalah perseorangan atau kelompok yang dinilai serius mengupayakan ketahanan pangan terutama mengandalkan berbagai jenis pangan lokal.
     KWT Tapa Walla Badi adalah kelompok tani beranggota 21 perempuan sekaligus ibu rumah tangga. Didirikan pada tahun 2000, KWT menggeluti lima kegiatan utama, yakni usaha bersama simpan pinjam (USBP), tenun ikat, peternakan hewan kecil, arisan, dan usaha tanaman pekarangan.
     Usaha KWT mampu berperan sebagai penopang ketahanan pangan keluarga. Tahun lalu, misalnya, lebih dari 140 desa/kelurahan di Sumba Timur tertimpa rawan pangan. Ketika itu, umumnya warga mengonsumsi iwi (sejenis umbi hutan). Namun, keluarga anggota KWT tak mengonsumsi iwi karena stok pangan lain masih tersedia.
     "Itu karena hasil jagung dan ubi  dari kebun usaha para suami sepenuhnya untuk kebutuhan di rumah. Untuk biaya anak sekolah, kesehatan, minyak tanah, garam dapur, dan kebutuhan lain dipenuhi dari hasil usaha kami di KWT," kata Kona Ngguna, Ketua KWT Tapa Walla Badi, di Kambata, bulan lalu.
     Hal itu juga dikemukakan Kepala Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kelautan (BP3K) Kecamatan Kota Waingapu Lukas R Malo dan John Pati Ndamu dari Yayasan Pahadang Manjuru, mitra Kehati di Waingapu.
     KWT juga berupaya mengatasi ketertinggalan pendidikan. Lewat kegiatan menenun, USBP, dan arisan, mereka secara teratur menyisihkan 25 persen dari penghasilan untuk tabungan biaya sekolah anak. Dari 21 anggota KWT, total tabungannya sekitar Rp 14 juta. Jumlah yang besar untuk kelompok masyarakat tertinggal di NTT.
     Belakangan ini, KWT juga mengusahakan tanaman pangan lokal. Di bawah bimbingan BP3K setempat mereka mengelola lahan kering di Jara Wula (4.200 meter persegi) dan di Wailinggang (1,5 hektar). Dua kebun di Desa Mbata Kapidu itu antara lain ditanami jagung, kacang-kacangan, sorgum, jawawut, umbi-umbian, dan pisang.
     Singkong mukibat, hasil persilangan antara jenis lokal dan singkong karet, juga ditanam di Jara Wula. "Dari uji coba tahun lalu, hasilnya luar biasa. dari satu pohon singkong mukibat menghasilkan sekitar 22 kg umbi segar. Bandingkan dengan singkong lokal yang hasilnya paling banyak 2 kg per pohon," kata Lukas R Malo.

Gagal sekolah

     Pencapaian KWT Tapa Walla Badi tak lepas dari peran penggerak utamanya, Marlina Rambu Meha dan Konda Ngguna, keduanya asli Sumba Timur. Masa lalu menjadi inspirasi mereka untuk memperbaiki kondisi setempat.
     Rambu Meha asal Kananggar, Kecamatan Paberiwai, mengaku hingga kini menyisakan rasa kesal karena gagal menamatkan SMA akibat kesulitan biaya Tak lagi bersekolah, ia menjadi pembantu rumah tangga (PRT) keluarga Angel Paul, penggerak bidang pertanian di Sumba Timur asal Australia.
    Dua tahun sebagai PRT, Rambu Meha kembali ke Kananggar dan bergabung dengan Yayasan Tana Nua. Di yayasan ini, dia belajar berorganisasi dan menikah dengan sesama anggota lembaga swadaya masyarakat, Abas Hukung. Mereka lalu menetap di Desa Mbata Kapidu.
     Di sini dia merintis pembentukan KWT Tapa Walla Badi. Awalnya, ia menangkap peluang pasar kain tenunan Sumba yang saat itu sedang tinggi permintaannya. Namun, warga tak bisa memanfaatkan kesempatan itu karena terbatasnya hasil tenunan.
    Di sisi lain, Konda Ngguna dan sejumlah perempuan warga kambata yang menjadi penenun sejak berusia belasan tahun tak bisa bekerja karena kesulitan bahan baku benang. Rambu Meha lalu mengajak onda Ngguna membentuk kelompok tenun. Usaha itu tidak mulus. Mereka berbenturan dengan budaya Sumba yang terkesan tak rela membiarkan kaum perempuan tampil.
     "Pada prinsipnya, Ibu Konda bersedia, tetapi harus disetujui suaminya. Saya lalu mendekati suaminya. Itu pun baru direstui setelah pendekatan keempat kalinya," cerita Rambu Meha.
     KWT awalnya hanya beranggota empat perempuan. Mereka adalah Rambu Meha, Konda Ngguna, Mbitu Njola, dan Tinggi Nahu. Modal awalnya dua bantal benang.
     Konda Ngguna lalu mengatur kelompok kecil ini menenun dengan mengandalkan pewarna alam, seperti mengkudu, nila, gaharu, buah kemiri, landu kaka, dan panetang. Hasilnya, empat kain kombu yang saat  itu terjual seharga Rp 150.000 per lembar atau total Rp 600.000. Hasil itu kemudian dijadikan modal lanjutan untuk membeli bahan baku, terutama benang. Usaha tenun pun terus berkembang.
    Seiring waktu, anggota KWT terus bertambah hingga puluhan perempuan. Sampai kini untuk kegiatan menenun, Konda Ngguna, tetap berperan sebagai tutor bagi penenun lainnya.
     "Saya sudah aktif menenun sejak tamat sekolah dasar, sekitar 30 tahun lalu," kata Konda Ngguna, yang juga menyisakan penyesalan karena tak bisa melanjutkan sekolahnya akibat kesulitan biaya. Karena itu, sejak awal mengusahakan KWT, ia dan Rambu Meha sepakat mesti menyisihkan sebagian penghasilannya untuk tabungan anak sekolah. Selebihnya, uang yang ada digunakan untuk mengokohkan ketahanan pangan keluarga.
     Aturan menyisihkan sebagian penghasilan untuk tabungan anak sekolah itu mereka jalankan dengan disiplin. Setiap lembar kain tenunan mereka yang terjual, hasilnya langsung disisihkan 25 persen untuk tabungan anak sekolah.
     "Bahkan, kalau arisan siapa pun pemenangnya, 50 persen uang itu juga untuk tabungan anak sekolah," kata Konda.
     Melihat kiprah mereka, berbagai pihak di Waingapu tak keberatan memosisikan Rambu Meha dan Konda Ngguna sebagai penggerak perempuan Sumba. Alasan mereka, perempuan Sumba umumnya amat jarang berperan aktif dalam kegiatan kelompok seperti yang mereka lakukan lewat KWT Tapa Walla Badi.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 6 MARET 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar