Senin, 26 Maret 2012

Richard Mainaky: Pelatih Spesial Ganda Campuran

RICHARD MAINAKY  
Lahir: Ternate, 23 Januari 1965 
Istri: Meike P Mainaky
Anak: Maria Kartika Natalia
Pendidikan:
- SD, SMP, dan SMA Fransiskus, Ternate
Prestasi:
- Selama menjadi pelatih nasional, mengantar atlet bulutangkis nasional 
  meraih medali perak Olimpade Sidney (2000), Juara Dunia (2005,2007), 
  tujuh kali  meraih medali SEA Games, juara di sejumlah kejuaraan terbuka 
  internasional, serta juara All England 2012 dan Swiss

Di balik sukses seorang bintang, pasti ada karya orang lain. Demikian juga dengan keberhasilan pasangan ganda campuran Indonesia, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir, yang menjuarai turnamen bulu tangkis paling bergengsi, All England 2012. Hasil fantastis untuk pertama kalinya dalam 33 tahun terakhir ini tak lepas dari pelatih mereka, Richard Mainaky.

OLEH GATOT WIDAKDO

Tontowi Ahmad/Liliyana bukanlah pasangan pertama hasil polesan Richard yang berhasil menjuarai turnamen bergengsi. Ayah satu anak ini sudah menghasilkan beberapa pasangan juara yang mengharumkan nama bangsa Indonesia di kancah internasional. Sebagai contoh, sebut saja ajang super series, kejuaraan Asia, bahkan kejuaraan dunia.
     Gengsi nomor ganda campuran pun ikut naik berkat peran besar Richard. Ganda campuran, yang sebelumnya tak diperhitungkan, dalam 10 tahun terakhir ini ternyata justru banyak menyumbangkan gelar dan sering menjadi penyelamat wajah Indonesia di turnamen internasional.
     Pasangan Tri Kusharyanto/Minarti Timur adalah pasangan pertama polesan Richard yang banyak menghasilkan gelar di turnamen internasional. Pasangan ini bahkan tampil mengejutkan di Olimpiade Sydney (2000) dengan tampil di partai final. Sayang, mereka hanya membawa pulang medali perak sebagai runner-up.
    Belum lagi era Tri Kus/Minarti berakhir, Richard sudah menyiapkan pemain pelapis yang bakal menjadi pemain andalan generasi berikutnya. Ketajaman insting Richard menyatukan pasangan Nova Widianto/Liliyana Natsir. Nova sebelumnya berpasangan dengan Vita Marissa, sedangkan Liliyana bermain di ganda putri, juga bersama Vita.
     Setelah Nova dan Liliyana dipersatukan, ternyata Richard berhasil menggali potensi pemain ini. Gelar juara pun banyak dihasilkan, termasuk gelar Juara Dunia (2005,2007) dan medali perak di Olimpiade Beijing (2008).
     Pertengahan tahun 2010, Richard membuat keputusan kontroversial. Dia melepas Nova dan menggantinya dengan pemain muda, Tontowi Ahmad. Keputusan ini awalnya disesali banyak pihak, termasuk sejumlah pengurus PBSI. Ini bisa dimaklumi karena saat itu Nova/Liliyana merupakan pemain peringkat pertama dunia. Mereka sering tampil sebagai juara, menyelamatkan muka PBSI.
     Akan tetapi, Richard tetap pada keputusannya. "Saya harus membuat transformasi. Nova usianya sudah 33 tahun, sedangkan Liliyana baru 26 tahun. Saya melihat kekuatan fisik Nova sudah mulai menurun. Karena itu, saya harus mendapatkan pemain yang bisa mengimbangi Liliyana," papar Richard.
     Perhitungan Richard tidak meleset. Liliyana kemudian dipasangkan dengan Tontowi yang berusia 23 tahun. Meski saat itu Tontowi masih termasuk pemain yunior, Richard bisa melihat potensi yang dimilikinya. Hasil manisnya pun sudah bisa dipetik di All England meski mereka belum genap dua tahun main bersama.

Kerja keras dan disiplin

     Menurut Richard, semua pencapaian ini didapat dari kerja keras dan sikap disiplin yang dia terapkan kepada pemain-pemainnya di Pelatnas Cipayung. Dia mengaku membentuk pemainnya dengan tangan besi. "Dalam melatih, hal yang saya tekankan adalah disiplin dan membentuk mental pemain. Mereka bukan cuma disiplin dalam latihan, melainkan dalam seluruh aspek kehidupan," tuturnya.
     Bagi Richard, sama seperti orang kebanyakan, atlet akan menjalani kehidupan dengan keras. Bahkan, untuk mejadi atlet kelas dunia, kehidupan keras saja tidak cukup, butuh disiplin tinggi dan perjuangan luar biasa. Keringat, darah, dan air mata. Awalnya, kata Richard, agak sulit buat pemain menerima metode latihannya. "Karakter anak sekarang agak berbeda. Mereka lebih manja dan kurang disiplin. Itu sebabnya saya harus keras kepada mereka. Namun, keras saja tidak cukup. Mereka harus terus-menerus dimotivasi agar tetap semangat dan ada kesadaran dalam diri mereka," katanya.
     Untuk urusan memotivasi, pria kelahiran Ternate (Maluku) ini cukup kreatif. Dari beberapa buku bacaannya, dia mengutip kalimat motivasi yang kemudian dia tulis di kertas karton, lalu dibingkai dan ditempel di dinding Pelatnas Cipayung.
     "Jadilah berani dan kekuatan besar akan datang membantu Anda". "Berfokuslah pada kekuatan bukan kelemahan". "Keterbatasan hanya ada dalam jiwa orang-orang yang tidak punya kemauan". Demikian beberapa kalimat yang ditempel di tembok Pelatnas Cipayung.
     "Saya memang sengaja menempel tulisan-tulisan itu agar selalu dibaca pemain seusai latihan. Saya ingin pemain saya punya impian besar dan bisa mewujudkan impian itu dari hasil kerja keras mereka," ungkap Richard.
     Berkarakter saat melatih, Richard pun disegani dan dihormati pemain. Bahkan, buat sejumlah pemain, seperti Liliyana, Richard seperti teman yang enak diajak bicara atau tempat menumpahkan keluhan.
     Ikatan emosional Richard dengan pemain yang dibinanya juga cukup kuat. Itu sebabnya dia tidak segan membela pemainnya jika diperlakukan tidak adil oleh pengurus PBSI atau wasit di lapangan saat bertanding. Karakternya yang keras kadang membuat emosinya sedikit tak terkontrol.
    Seperti pada ajang Indonesia Open 2010, Richard memprotes keras wasit saat pertandingan babak perdelapan final antara Greysia Polii/Tontowi melawan pemain Denmark, Thomas Layborn/Kamilla Rytter Juhl.
     Ia mengambil kok yang jatuh ke lapangan dan menunjukkan ke arah wasit. Richard protes bahwa bola saat itu jatuh di luar lapangan. Aksi Richard ini mendapat dukungan penonton yang meemadati Istora Senayan, Jakarta.
     Meski demikian, Richard tetap mengakui kesalahannya saat melakukan protes berlebihan kepada wasit. "Saat itu saya langsung minta maaf kepada wasit. Semua manusia bisa buat kesalahan. Saya pun bisa buat kesalahan. Intinya saya hanya bela atlet saya. Kasihan mereka sudah capek-capek latihan, kok (diperlakukan), seperti itu," ujarnya.
     Sikap emosional yang demikian diakui Richard, kadang sulit dibendung saat mendampingi pemainnya. Itu sebabnya, pada saat Tontowi/Liliyana tampil di All England, dia memilih tidak mendampingi. "Makanya, saya minta asisten saya Yati Kusmiati yang berangkat. Setiap mereka bertanding, saya hanya kirim pesan melalui Blackberry Messenger kepada Yati, apa yang mesti mereka lakukan. Rupanya, mereka berhasil juara," kata Richard sambil tertawa.
     Sebagai pelatih, Richard telah mencapai kesuksesan yang lebih besar ketimbang ketika menjadi pemain. Meski demikian, dia mengaku belum pernah merasa puas. Olimpiade London menjadi target terdekatnya.
     "Saya selalu percaya rahasia Tuhan. Dengan kerja keras, semua impian akan bisa diwujudkan. Saya tahu prestasi bulu tangkis kita sedang terpuruk, tetapi semua pemain punya kesempatan yang sama," kata Richard.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 27 MARET 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar