Kamis, 15 Maret 2012

Tirta Nursari: Mengelola Warung Pasinaon

TIRTA NURSARI
Lahir: Brebes, Jawa Tengah, 7 Maret 1973
Suami: Hermawan budi Sentosa (45)
Anak:
- Zavier Raihan Aaf (10)
- Taj Abbad Abdullah (6)
Pendidikan: D-3 Ekonomi Akademi Perdagangan Tjendekia Puruhita, Semarang, 1995  
Penghargaan:
- Juara I Manajemen Taman Bacaan Masyarakat (TBM) se-Jawa Tengah, 2009
- Juara I TBM Kreatif Tingkat Nasional, 2011

Ada apa saja di Warung Pasinaon? "Semuanya ada. Mau minta apa saja di sini, kalau dapat memenuhinya, akan kami penuhi. Makanya, kami menamai tempat ini warung. Bedanya, ini warung untuk siapa saja belajar banyak hal," kata Tirta Nursari menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya.

OLEH AMANDA PUTRI NUGRAHANTI

Tirta Nursari adalah pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Warung Pasinaon di Desa Bergas Lor, Kecamatan Bergas, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Diberi nama warung agar banyak orang tertarik datang ke tempat itu dan pulang dengan "kenyang" ilmu pengetahuan. Sedangkan "pasinaon" dalam bahasa Jawa berarti pembelajaran. Siapa saja yang ingin belajar boleh datang ke warung ini.
     Berawal tahun 2007, Tirta melihat banyak anak-anak di lingkungan tempat tinggalnya kurang mendapat perhatian orangtua. Sejak daerah itu tumbuh menjadi kawasan industri, sebagian besar warga bekerja sebagai buruh pabrik, terutama kaum perempuan.
     Waktu seorang ibu berada di rumah justru minim. Para ibu pergi bekerja pagi dan pulang pada malam hari. Peran mereka di sektor domestik digantikan kaum bapak. Anak-anak yang kurang mendapat perhatian, pergaulannya pun tak terkontrol. Beberapa anak bahkan mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
     Kondisi tersebut membuat Tirta memutuskan berhenti mengelola lembaga bimbingan belajar (bimbel) miliknya. Alasannya, pengelolaan bimbel yang profesional tak mampu menjangkau anak-anak yang berasal dari keluarga tak mampu.
     "Saya putuskan bergerak di bidang sosial saja supaya anak-anak itu bisa memiliki tempat belajar. Saat itu saya membayangkan, anak-anak butuh tempat untuk menyalurkan energi mereka dengan hal-hal yang positif," kata Tirta yang kemudian membuka bimbel Bahasa Inggris gratis untuk anak-anak.
     Keberadaan bimbel bahasa Inggris itu ditawarkannya kepada warga lewat pengumuman di masjid. Proses pembelajaran pun dimulai di masjid. Berawal dari 14 anak yang tertarik mengikuti bimbel, dalam tempo sebulan, jumlahnya bertambah menjadi 40 orang.
     Namun, sebagian warga merasa terganggu dengan keberadaan bimbel tersebut. Saat itu Tirta tinggal di rumah orang tuanya di Desa Talun, Kecamatan Bergas. Jadilah proses belajar-mengajar dilakukan di rumah orangtuanya. Tirta menyertai bimbel itu dengan membuka perpustakaan dengan koleksi buku-bukunya sendiri.
     Meski kegiatan sosial tersebut sempat tidak disetujui sang ayah, saat Tirta mengadakan pengobatan gratis atas bantuan berbagai pihak, hati ayahnya pun luluh. Jadilah kegiatan belajar-mengajar ini dinamakan "TBM Warung Pasinaon". maksudnya, di mana saja dan siapa saja dapat mempelajari sesuatu dan berbagi dengan yang lain.
     "Anak-anak di kampung ini biasanya meminta sesuatu kepada orangtua mereka. Nah, kalau orangtua mereka terlalu sibuk, anak-anak bisa memintanya di tempat ini," ujar Tirta.
     Tahun 2009, Tirta dan suaminya Hermawan Budi Sentosa, bisa membangun rumah sendiri. TBM Warung Pasinaon pun pindah ke rumah mereka. Teras rumah menjadi ruang terbuka bagi siapa saja, dan dipenuhi rak dengan buku-buku yang dapat dipinjam siapa pun.
     Jumlah anak yang belajar di TBM Warung Pasinaon bisa mencapai 200 anak, dari usia taman kanak-kanak hingga SMA. Mereka umumnya datang setelah jam sekolah usai, sekitar pukul 12.30 dan berakhir hingga malam hari.

Merangkul kaum ibu

     Tak hanya anak-anak, tetapi kaum ibu pun belajar di TBM Warung Pasinaon. Mereka adalah ibu-ibu yang mengikuti program Keaksaraan Fungsional guna memberantas buta aksara. Tirta pun menggagas lahirnya sebuah media untuk para ibu agar mereka dapat terus mengasah kemampuan baca tulisnya.
     Kebetulan, kata Tirta, saat itu ada program dari Departemen Pendidikan Nasional (kini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) untuk pembuatan Koran Ibu. Maka, Tirta dan sekelompok ibu membuat media berbentuk buletin dan menamainya Koran Ibu Pasinaon. Koran itu terbit setiap bulan dengan oplah 1.000 eksemplar dan disebarkan ke sekolah-sekolah ataupun komunitas ibu-ibu di Kabupaten Semarang.
     Sekitar 20 ibu yang sebelumnya buta huruf atau tak lancar baca tulis kini rajin membaca dan membuat tulisan untuk dimuat Koran Ibu Pasinaon. Dari tiap tulisan yang masuk, sebagian dipindai dan dimuat apa adanya, sebagian diedit dan diketik ulang.
     Isi koran itu adalah hal-hal yang dekat dengan kehidupan ibu-ibu, seperti tips kesehatan, resep masakan, dan persoalan kehidupan sehari-hari, misalnya kenaikan harga bahan pokok dan mahalnya biaya pendidikan.
     "Ibu-ibu memiliki pemikiran yang lebih terbuka. Pola pikir mereka pun berubah. Ibu-ibu memilih membaca buku daripada bergosip," kata Tirta.
     Sayang, karena biaya penerbitan setelah dua edisi ditanggung sendiri, koran tidak bisa terbit secara rutin. Kadang koran ini terbit dua bulan sekali, tergantung dananya. Dalam perjalanan, ternyata banyak pihak yang membantu hingga Koran Ibu Pasinaon bisa terbit hingga kini.

Percaya diri

     Sukses dengan Koran Ibu Pasinaon, TBM Warung Pasinaon mencoba menerbitkan media untuk anak-anak berjudul Ekspas singkatan Ekspresi Pasinaon. Penerbitan buletin ini juga diawali bantuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk penerbitan dua edisi.
     Ekspas berisi tulisan anak-anak yang aktif di TBM Warung Pasinaon. Mereka menulis pengalaman sehari-hari, kiat belajar dengan mudah, puisi, dan cerpen. Media itu juga memiliki tiras 1.000 eksemplar sekali terbit.
     "Sekarang yang menata grafis masih orang lain. Kami ingin semuanya dikerjakan anak-anak supaya betul-betul dari dan untuk anak. Beberapa anak sedang dilatih untuk menguasai program tata letak," ujarnya.
     Setelah mengikuti berbagai kegiatan di TBM Warung Pasinaon, anak-anak kian mandiri. Mereka yang sebelumnya tak yakin akan kemampuannya menjadi lebih percaya diri. Tirta mengatakan, anak-anak hanya membutuhkan ruang untuk mengekspresikan apa yang ada dalam pikiran mereka.
     Oleh karena itu, Tirta tetap terbuka jika anak-anak meminta sesuatu, sepanjang hal itu baik dan memungkinkan dipenuhi. Ada anak yang minta berenang, misalnya, Tirta akan segera mengusahakan. Dia menghubungi teman-teman dan donatur untuk berpartisipasi membantu mewujudkan hal itu.
     "Ternyata masih banyak orang yang peduli. Saya yakin, kalau kita melakukan hal yang benar, selalu ada jalan terbuka untuk mewujudkannya," tuturnya.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 16 MARET 2012

1 komentar: