Jumat, 09 Maret 2012

Wahudin: Tak Gentar Kembangkan Rumput Laut

WAHUDIN
Lahir: Indramayu, Jawa Barat, 4 April 1980
Istri: Wasiah (27)
Anak:
- Adinda Putri (6)
- Putri Azzatus Sholihah (7 bulan)
Penghargaan:
- Pemuda Pelopor Bidang Kelautan dan Kebaharian Jawa Barat, 2010
- Masyarakat Peduli terhadap Lingkungan Hidup (Balad Kuring) Jawa Barat, 
  2010  
- Penyuluh Perikanan Swadaya Jawa Barat, 2010
- Pemuda Pelopor Bidang Kelautan dan Kebaharian Kabupaten 
  Indramayu,2011

Jalan kampung itu berbatu dan berdebu. Di sepanjang jalan terlihat rumah-rumah nelayan yang sederhana, berupa bangunan semipermanen beralas tanah dan dinding dari anyaman bambu. Aroma kemiskinan menyeruak, bercampur antara debu jalan rusak dan bau amis ikan asin yang sepi pembeli.

OLEH RINI KUSTIASIH

Kemiskinan itulah yang selama ini mengusik Wahudin (31). warga Desa Cangkring, Kecamatan Cantigi, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Pemuda lulusan SMA ini tak tahu bagaimana cara memperbaiki kondisi tersebut, sampai kesempatan datang enam tahun lalu.
     "Dulu saya nelayan dan tukang bikin jaring yang dijual kepada nelayan lainnya. Saya juga suka berkumpul dan aktif dalam kegiatan apa pun," kata Wahudin, yang kini menjadi salah satu pembudidaya rumput laut jenis Gracilaria di Indramayu. Sebanyak 30 orang menjadi anggota kelompok taninya dan satu per satu menyerap ilmu secara gratis dari dia.
     Wahudin menunjukkan petak-petak tambak yang dia kelola. Kami berboncengan dengan sepeda motor buatan tahun 1990-an. Jalan yang harus kami lintasi berupa pematang tambak yang licin dan berlumpur sehabis hujan, dengan lebar kurang dari 1 meter.
     "Saya biasa naik motor ini saat subuh, waktu hari masih gelap. Petambak lain datang ke sini sekitar pukul 07.00. Saya terbiasa mengecek lebih awal, siang banyak pekerjaan lain yang harus dikerjakan," katanya.
     Sampai di petak yang dikelolanya, terlihat warna permukaan kolam kehijauan seperti dipenuhi lumut. Beberapa talus menonjol ke permukaan.
     "Ini tanda rumput laut sudah bisa dipanen," kata Wahudin sembari memasukkan tangan ke kolam dan menjumput beberapa talus. "Besok, kalau cuaca baik, saya akan memanennya."
     Dia memperhatikan kondisi rumput laut di tambaknya. Tak hanya sepetak, ia kini mengelola sekitar 10 hektar tambak. Tak satu pun dari tambak itu yang dia miliki. "Saya sewa rata-rata Rp 6 juta per hektar per tahun," katanya.
     Itulah, antara lain, yang membuat perih hatinya. Warga kampungnya malas mengelola sendiri lahan mereka. Dengan menyewakan lahan, mereka mendapatkan keuntungan instan. Khusus tambak yang ditanami rumput laut, pemilik lahan beruntung karena mereka tinggal menikmati perkembangan rumput laut di kolam setelah ditinggal penyewanya.
     "Pemilik lahan tak perlu susah payah mengembangkannya dari awal. Sekali bisa tumbuh, talus-talus rumput laut akan tumbuh terus tanpa perawatan macam-macam," katanya.
     Tantangan terberat adalah menumbuhkan bibit rumput laut di awal budidaya. Tak semua petambak telaten mengawasi tanamannya setiap hari, sebagaimana dilakukan Wahudin.
     Bahaya terbesar ialah lumut sutra yang jika dibiarkan tumbuh bisa menyelimuti rumput laut. Akibatnya, rumput laut tak bisa berkembang dan mati. Untuk mencegah hama itu tumbuh setiap sore Wahudin terjun ke kolam dan "mencuci" rumput laut.

Buah ketekunan

     Ketekunan itulah yang membuat Wahudin sukses mengelola rumput laut. Tahun 2006, dari 40 anggota Perhimpunan Petani Tambak Pantura (PPTP) Indramayu, ia yang oertama kali berhasil mengembangkan rumput laut. Saat itu, PPTP mendapatkan bantuan 1,5 ton bibit untuk dikembangkan di lahan 0,25 hektar.
     Dalam waktu tiga bulan, Wahudin memanen 350 ton rumput laut basah atau setara dengan 3,5 ton rumput laut kering. Selanjutnya, setiap 45 hari ia panen kembali. Sepanjang tahun itu panennya melimpah. Ia gembira bukan main. Begitu juga kalangan dinas setempat yang sejak 2003 mencoba membudidayakan rumput laut di Indramayu tetapi gagal. Keberhasilan ini menajdikan Cantigi sebagai sentra rumput laut.
     Wahudin lalu mengajari petambak lain. Yang pertama berhasil mengikuti jejak Wahudin ialah Kari (54), tetangganya yang semula membudidayakan bandeng dan udang windu. Pamor bandeng dan udang windu lama-kelamaan surut di Cantigi.
     Sejak pertengahan 1990-an, usaha uang windu yang dulu berjaya dan membawa kesejahteraan bagi petambak kian redup seiring dengan ganasnya virus yang mematikan udang petambak.
     Bandeng pernah menjadi gantungan hidup petambak. Namun, keuntungan dari beternak ikan ini minim dan baru bisa dirasakan ketika panen 5-6 bulan sekali.
     Keberhasilan Wahudin mengembangkan rumput laut seperti angin segar bagi warga pesisir. Apalagi harga rumput laut kering Rp 7.000 per kilogram, dengan hasil 3,5 ton, petambak bisa meraup Rp 24,5 juta sekali panen. dalam setahun, mereka bisa sampai lima kali panen.
     Memang jalan keberhasilan tak mulus. Sampai tahun 2008 budidaya rumput laut terkendala pasar. Rumput laut menumpuk di gudang. Petambak yang latah karena tertarik iming-iming untung besar segera patah semangat dan mematikan rumput laut setelah tahu komoditas itu tak laku. Sebagian orang menganggap ide mengembangkan rumput laut di Indramayu itu gila.
     Namun, Wahudin tak patah semangat. Dengan memanfaatkan koneksi dan jaringannya pada Dinas Perikanan dan Kelautan Jabar, ia menghubungi PT Agarindo, produsen agar-agar. Persoalan pasar pun terpecahkan. Jutaan rupiah setiap kali panen mengalir ke kolam-kolam Wahudin dan menghidupi 30 anggota kelompoknya. "Ini sungguh tak terduga," katanya.
     Rumput laut kembali dilirik. Dari tahun ke tahun luas tambak rumput laut di Indramayu bertambah. Hingga akhir Desember 2011, luas tambak rumput laut sekitar 485 hektar, tersebar di Kecamatan Cantigi (225 hektar), Pasekan (125 hektar), Indramayu (75 hektar), Sindang (25 hektar), Kandangharu (20 hektar), dan Losarang (15 hektar).
     Melihat perkembangan ini, rumput laut jadi harapan baru kesejahteraan warga pesisir pantai utara Jabar. Dalam acara panen raya rumput laut Januari lalu, Gubernur Jabar Ahmad Heryawan menjanjikan dana APBD Perubahan 2012 senilai Rp 2 miliar untuk pengembangannya.
     Ada juga kredit ringan Bank Jabar Banten dengan bunga 9 persen per tahun, lebih murah dibandingkan dengan bunga kredit usaha rakyat yang 14 persen.

Nasib nelayan

     Meski demikian, bukan itu yang dicari Wahudin. Ia tak kurang gelisah dibandingkan dengan enam tahun lalu saat mula-mula mengembangkan rumput laut.
      Kesejahteraan mungkin sudah di depan mata petambak, tetapi bagaimana nasib nelayan? "Bantuan itu untuk petambak yang punya lahan atau yang mampu menyewa lahan. Tapi bagaimana dengan nelayan yang tak bertanah (berlahan)? Setiap kali cuaca buruk mereka pasti tak dapat ikan, juga tak dapat bantuan modal,"  ujarnya menggugat.
     Wahudin lalu bercerita, sungai di depan rumahnya yang bermuara ke laut sejauh hampir 5 kilometer. "Saya terpikir untuk membuat jaring apung di kali itu biar bisa dimanfaatkan nelayan untuk memelihara  ikan kerapu dan kakap putih. Itu bisa menjadi usaha sampingan mereka saat paceklik ikan. Tetapi belum terpikir dari mana bibit dan biayanya," katanya.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 9 MARET 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar