Minggu, 05 Agustus 2012

Agus Susatya: Menjaga Rafflesia di Habitatnya

AGUS SUSATYA
Lahir: Purworejo, Jawa Tengah, 16 Agustus 1961
Istri: Astri Wahyu Utami (40)
Anak:
- Sequioa MSR (14)
- Magnolia GSR (11)
Pekerjaan: Dosen Universitas Bengkulu, sejak 1987
Pendidikan:
- SDN 04 Blora, Jawa Tengah
- SMPN 2 Blora, Jawa Tengah
- SMAN Pati, Jawa Tengah
- S-1 Fakultas Kehutanan UGM, 1981-1986
- S-2 Michigan State University, AS, 1989-1993
- S-3 Universiti Kebangsaan Malaysia, 2001-2007
Buku: "Rafflesia, Pesona Bunga Terbesar di Dunia"

Bunga Rafflesia adalah bunga terbesar di dunia dan teramat langka. Meski Indonesia memliki 14 dari 25 jenis Rafflesia di dunia, peneliti Rafflesia di Tanah Air bisa dihitung dengan jari. Salah satu di antara peneliti itu adalah Agus Susatya.

OLEH ADITYA RAMADHAN

Sekitar 12 tahun Agus Susatya mendedikasikan diri untuk ilmu taksonomi Rafflesia. Dialah salah satu di antara segelintir pakar Rafflesia di Tanah Air. Penemuan dua jenis Rafflesia baru dalam tujuh tahun terakhir menjadi bukti dedikasinya pada pengembangan ilmu pengetahuan.
   Penemuan itu membuat namanya disejajarkan dengan para penemu lain di dunia taksonomi flora. Jadilah, sejak tahun 2005 nama belakang dosen Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu (Unib) itu, beserta kolega dan pembimbingnya, disematkan di belakang nama salah satu spesies bunga raksasa itu.
   Bunga Rafflesia yang ditemukan di Bengkulu itu dinamai Rafflesia bengkuluensis, Susatya, Arianto & Mat-Saleh. Penemuan ini dipublikasikan pertama kali dalam jurnal ilmiah Folia Malaysiana tahun 2005.
  Hasil temuannya itu menambah daftar koleksi rafflesia di dunia, khususnya di Bengkulu. Di provinsi yang terletak di pesisir barat Sumatera itu, kini terdapat empat jenis Rafflesia, yakni Rafflesia arnoldii, Rafflesia haseltii, Rafflesia gadutensis, dan terakhir Rafflesia bengkuluensis.
   Penemuan Rafflesia bengkuluensis terjadi saat Agus sedang mengumpulkan data untuk penyusunan disertasinya tentang ekologi dan taksonomi Rafflesia arnoldi di Bengkulu, tahun 2002-2003. Rafflesia jenis baru tersebut ia temukan di Talang Tais, Kecamatan Padang Guci, Kabupaten Kaur, Bengkulu.
   Berkat ketekunannya, tahun 2005 Agus menyimpulkan, bunga Rafflesia temuannya di Talang Tais itu adalah jenis baru. Rafflesia ini berbeda dengan berbagai jenis yang sudah ada.
   "Ukuran Rafflesia bengkuluensis kecil, 20-30 sentimeter. Corak pada kelopak bunganya juga berbeda dari Rafflesia arnoldii. Selain itu, ramenta atau bulu di dalam bunga juga pendek, 2-3 sentimeter," tutur Agus tentang ciri bunga temuannya.
   Tak hanya menemukan satu jenis Rafflesia, bersama pembimbingnya di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Kamarudin Mat Saleh, Agus juga terlibat penemuan Rafflesia lawangensis di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) tahun 2010.

Proyek penelitian

   Pada awalnya, Agus yang berlatar belakang ilmu ekologi tak terlalu tertarik dengan Rafflesia. Namun, jalan hidup justru membawanya semakin dekat dengan bunga Rafflesia.
   Tahun 1999-2000, misalnya, ia mendapat proyek penelitian tentang distribusi Rafflesia di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Ia juga berkesempatan ikut keanekaragaman hayati di Bogor pada tahun 2000 yang mempertemukan dia dengan Kamarudin Mat Salleh, pakar Rafflesia dari UKM.
   Kamarudin Mat Salleh menawarinya beasiswa belajar di Malaysia. Agus menerima tawaran itu, dan mulai menekuni Rafflesia.
   Saat mengerjakan disertasi di Malaysia, setiap malam Minggu ia menyambangi hutan simpanan di Pahang untuk melihat Rafflesia. Agus terkadang menanti bongkol Rafflesia mekar selama berhari-hari di hutan guna mendokumentasikannya. Jadwal rutin pada malam Minggu itu menciptakan kedekatan dan keterikatannya dengan Rafflesia.
   Tak heran, cerita Agus, peneliti Rafflesia sering dijuluki "orang gila". Mereka harus masuk dan menginap di hutan hanya untuk melihat sebuah bunga mekar. Padahal waktu mekar bunga itu pun tak jelas kapan. Ini memerlukan pengorbanan tenaga, waktu, dana, dan pikiran.
   "Waktu itu, kalau ada bongkol bunga (Rafflesia) mau mekar, saya sudah punya feeling kapan bunga itu mekar sempurna. Ketika kami cek, benar ada bunga yang mekar. Seolah ada keterikatan kami dan Rafflesia di sini," ujarnya.

Seharusnya bangga

   Agus menyatakan, Indonesia seharusnya bangga karena memiliki 14 dari sekitar 25 jenis Rafflesia di dunia. Dari jumlah itu, 11 jenis di antaranya berada di Sumatera. Namun, faktanya, amat sedikit orang yang peduli dengan bunga langka ini. Di Indonesia, peneliti Rafflesia pun bisa dihitung dengan jari.
   Sebagai perbandingan, dalam lima tahun terakhir, Filipina menemukan lima jenis Rafflesia baru. Di Indonesia, hanya ada tiga penemuan jenis Rafflesia baru dalam waktu hampir 30 tahun. Ketiga jenis itu adalah Rafflesia bengkuluensis (2005), Rafflesia lawangensis (2010), dan Rafflesia maejerii (2010). Dua di antaranya ditemukan Agus. Itulah sebabnya Filipina mengklaim diri sebagai pusat penyebaran Rafflesia.
   Makin ironis mengingat bunga Rafflesia arnoldii pertama kali ditemukan Gubernur Jenderal Bencoolen (kini Bengkulu) Sir Thomas Stamford Raffles bersama seorang dokter sekaligus pencinta alam Joseph Arnold, di Pulau Lebar, Bengkulu Selatan, tahun 1818.
   Padahal, keberadaan bunga Rafflesia juga berpotensi dikembangkan menjadi obyek ekoturisme. Apalagi Bengkulu tak hanya menjadi habitat endemik Rafflesia, tetapi juga bunga tertinggi di dunia, Amorphophallus sp, dan anggrek terpanjang di dunia, Grammatophyllum (anggrek macan).
   "Di Indonesia, Rafflesia bisa ditemukan di Pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Jangan sampai kita kalah dengan Malaysia, Filipina, dan Thailand yang gencar melakukan penelitian dan promosi wisata tentang Rafflesia," katanya.
   Agus bersama beberapa orang dengan latar belakang beragam dalam Komunitas Peduli Puspa Langka (KPPL) Bengkulu juga mendampingi sekelompok masyarakat di Desa Tebat Monok, Kabupaten Kepahiang, menjaga habitat asli Rafflesia di hutan lindung Bukit Daun register 5.
   Di lokasi itu, Agus juga merancang tata cara kunjungan bagi mereka yang ingin melihat langsung Rafflesia arnoldii sedang mekar. Tata cara itu diharapkan bisa menjadi rambu ekowisata Rafflesia tanpa merusak kelangsungan hidup habitat bunga parasit tersebut.
   Bagi Agus, upaya konservasi Rafflesia tidak hanya untuk kepentingan bunga ini, tetapi secara tidak langsung juga melindungi kelestarian hutan sebagai habitat asli Rafflesia.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 31 JULI 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar