Senin, 27 Agustus 2012

Oky Setiarso: Kelas Belajar untuk Anak-anak Marjinal

OKY SETIARSO
Lahir: Jakarta, 21 Oktober 1977
Pendidikan:
- Akademi Gizi Depkes RI, 1995-1998
- Jurusan Gizi Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas 
  Indonesia, 1999-2002 
Kegiatan:
- Karyawan Bank BTPN, Maret 2012-kini
- Talenta Asia Foundation, Januari 2012-kini
- Oxfam International, Oktober 2005-April 2006 dan Februari-April 2010
- Indonesian Bussines Coalition on AIDS (IBCA), Agustus 2008-Desember 2009
- Care International, Maret 2007-2008
- Project Concern International Indonesia, 2006-2007
- World Vision International, 2000-2005
- Mengajar pada beberapa perguruan tinggi di Jakarta

Puluhan bocah yang berkumpul di lapak barang rongsokan milik Kartini (50) di Jalan Bintaro Permai 3, Jakarta Selatan, Sabtu (14/7), bernyanyi dengan lirik tentang  pentingnya kebersihan tubuh. Suara kereta api yang melintas di belakang lapak tak mengganggu aktivitas mereka.

OLEH AUFRIDA WISMI WARASTRI

Anak-anak itu tengah belajar di "Kelas Belajar Oky". Ini bukan kelas dalam arti fisik, melainkan kelompok belajar anak-anak dari keluarga tak mampu yang digerakkan oleh para sukarelawan.
   "Coba kalau setiap orang dewasa bisa meluangkan waktu satu jam saja setiap minggu untuk mendampingi anak-anak, pasti Indonesia lebih baik," tutur Oky Setiarso (35), guru sekaligus pendiri Kelas Belajar Oky, kelas bagi anak-anak yang terpinggirkan.
   Di sini mereka belajar hidup sehat dan mengenal lingkungannya masing-masing. Kelas ini ada di Jakarta, Magelang, dan Solo.
   "Namanya (Kelas Belajar Oky) terlihat narsis, ya, he-he-he, tetapi itu bukan dari saya, mereka yang  menamai," katanya. Mereka yang dia maksud adalah anak-anak di Kelas Belajar Oky berikut orangtuanya.
   Setiap Sabtu dan Minggu, selama sekitar dua tahun terakhir, ia mengajar anak-anak berusia empat hingga 14 tahun. Mereka berasal dari keluarga miskin, seperti pemulung, buruh, dan pembantu rumah tangga. Banyak di antara mereka adalah anak-anak yang bekerja sebagai pengupas kerang dan pengupas bawang. Ada pula anak-anak terlantar yang ditinggalkan orangtua mereka.
   Kelas Belajar Oky ada delapan titik di Jakarta, yakni di pinggir rel kereta api Jalan Bintaro Permai 3; Bintaro Sarmili; kolong Tol Pejagalan, Pluit; Pulau Kandang Kelapa Gading; Kampung Beting; Koja; di belakang Islamic Center, Jakarta Utara; Cilincing; dan RW 10 Pulau Gundul, Johar Baru. ia mulai mengajar Sabtu pagi dan mengakhirinya pada Minggu petang. Setiap kelas mendapat alokasi waktu sekitar 1,5 jam.
   Dua minggu sekali ia pergi ke Solo, tepatnya di Mipitan, Mojosongo, di tepi Bengawan Solo. Di tempat ini, Oky juga mendirikan kelas belajar serupa bersama rekan-rekannya di Solo. Sebelumnya, ia mendirikan kelas belajar di lereng Gunung Merapi, yakni di Desa Banyubiru dan Desa Krinjing, Dukuh, Magelang. Total sekitar 800 anak yang diajarinya setiap minggu.

Berawal dari LSM

   Selama 10 tahun bekerja profesional pada berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional, Oky tak hanya berkeliling sampai ke daerah-daerah terpencil di Indonesia, tetapi ia pun mendapat banyak pengetahuan. Namun, ia merasa ada yang kurang dalam berbagai program yang selama ini dilakukan.
   "Nah, daripada saya cuma sibuk mengkritik, lebih baik  melakukan sesuatu," kata Oky, seorang ahli gizi.
   Kesempatan itu terbuka saat sang kekasih mendapat beasiswa melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Oky memanfaatkan hari liburnya, Sabtu-Minggu, untuk mengajar anak-anak yang kurang beruntung.
   Ia memulai dengan mendekati anak-anak di daerah yang menjadi kawasan proyek bantuan LSM dimana Oky pernah bekerja. Ketika Gunung Merapi meletus tahun 2010, ia memulai kelas belajar di Desa Banyubiru dan Desa Krinjing, Dukuh, Magelang.
   Di Jakarta, Oky memulai di kolong Tol Pejagalan, Pluit, dengan 10 siswa. "Saya minta izin RT-RW setempat dan mereka terbuka," tuturnya.
   Pendekatan yang dia lakukan kepada warga pun berbeda dengan saat bekerja profesional. "Dulu, saya datang dengan mobil, sekarang memakai motor," katanya. Ia berusaha mendampingi anak-anak yang terpinggirkan itu menyongsong masa depan.
   "Mereka memerlukan pendampingan, tempat di mana ada seseorang yang bisa ditanya, apakah mereka telah melakukan hal yang benar, dan memberi tahu apabila mereka memerlukan jalan keluar," katanya.

Jejaring sosial

   Pelajaran pertama yang dia berikan kepada anak-anak itu sederhana, yakni bagaimana hidup bersih. Kebiasaan itu dia coba terapkan dalam kehidupan mereka sehari-hari, misalnya mencuci tangan, gosok gigi, dan mandi. Di sela-sela pelajaran ada acara menyanyi dan bermain.
   Ia lalu mengunggah aktivitasnya di jejaring sosial sehingga banyak kawan yang tertarik menjadi sukarelawan. Tercatat 20 sukarelawan yang setiap minggu mengajar di Kelas Belajar Oky. Para sukarelawan itu adalah sarjana dan ahli di bidang masing-masing. Para ibu di lokasi belajar itu pun dilibatkan sebagai kader pengajar.
   Menyadari tak punya latar belakang pendidikan, Oky siap menerima kritik. Sering kali pengkritik itu kemudian ikut terlibat dalam kegiatan sosial ini dan memberi perbaikan dalam operasional pengajaran.
   Salah satu hasil perbaikan adalah dibuatnya jadwal pelajaran. Misalnya, pada bulan pertama pengajaran tentang "Hidup Bersih", bulan kedua soal "Matematika Itu Asyik", dan bulan ketiga adalah "Bahasa Inggris yang Menyenangkan".
   Oky juga membagi kelas berdasarkan umur, yakni prasekolah-TK, SD untuk kelas I-II, Kelas III-IV, dan kelas V-VI. Maka, setiap kali pertemuan ada empat lingkaran anak-anak yang sibuk mengerjakan tugas masing-masing. ia menggerakkan kegiatan itu dengan dana dari donatur, selain merogoh kocek sendiri.
   Pertemanan dan publikasi lewat jejaring sosial membuat aktivitasnya dikenal orang. Bantuan pun datang dari perseorangan dan lembaga. Sabtu (14/7) itu, misalnya, dua ibu datang ke lapak yang dipakai sebagai tempat mengajar dengan membawa buku gambar, buku tulis, sabun, pasta gigi, dan makanan.
   Dari pengalamannya bersama anak-anak, Oky pun memahami karakter anak-anak dari setiap wilayah. Contohnya, anak-anak di Cilincing cenderung lebih aktif dan hasil gambar mereka amat variatif. Sementara anak-anak di Bintaro Permai umumnya lebih santun.
   "Waktu saya minta anak-anak menggambar lambang Jakarta, pilihannya adalah Monas, patung di Pancoran, dan bajaj. Ternyata paling banyak anak yang menggambar bajaj karena bajaj-lah yang paling dekat dengan keseharian mereka," cerita Oky yang berharap suatu hari nanti bisa membawa anak-anak ini ke Monas.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 18 JULI 2012

2 komentar:

  1. Saya mau datang utk mengajar/memberi wawasan ke anak klas II atau III SD, kapan bisa diberi waktu yaWass Soeprijanto S Atmodjo,Pensiunan BUMN Tinggal di Bintarojaya,Sektor 3

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo Pak, silakan menghubungi Mas Oky melalui twitter & instagram @okysetiarso :)

      Hapus