SETYASTUTI PURWANTI
Lahir: Jakarta, 2 Maret 1952
Pendidikan:
- SR Negeri 56 Surakarta, 1964
- SMP Negeri 6 Surakarta, 1967
- SMA Negeri III Surakarta, 1970
- S-1 Teknologi Benih Fakultas Pertanian UGM, 1977
- S-2 Teknologi Benih Fakultas Pascasarjana UGM, 1985
- S-3 Agronomi Fakultas Pascasarjana UGM, 2004-kini
Riwayat pekerjaan, antara lain:
- Dosen/Lektor Kepala Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian UGM
dengan spesialisasi Teknologi Benih/ Pemuliaan Tanaman
- Ketua Lab Teknologi Benih Jurusan Budidaya Pertanian UGM, 1986-2004
- Dosen pada beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta
- Tim peneliti kedelai hitam kerja sama UGM dan R&D PT Unilever Indonesia,
2001-kini
- Koordinator pembina dalam program Pengembangan Pemberdayaan Petani
Produksi benih Kedelai Hitam kerja sama UGM dan CSR PT Unilever
Indonesia, 2003-kini
Publikasi, antara lain:
- Usaha Meningkatkan Kuantitas dan Kualitas Benih Kacang Hijau,
Agricultural Science Vol 6 No 1, 1997
- Kajian Suhu Ruang Simpan terhadap Kualitas Benih Kedelai Hitam dan
Kedelai Kuning, Ilmu Pertanian Vol 11 No 1, 2004
- Pengaruh Aplikasi ABA dan Osmoconditioning dalam Pengeringan Benih Kopi
Arabika, Agrosains Vol 18 No 2, April 2005
Awalnya hanya segenggam kedelai hitam, lalu berkembang menjadi ribuan ton kedelai. Inilah hasil produksi 7.000 petani yang menyebar di Pulau Jawa. Inilah hasil kesetiaan Ir Setyastuti Purwanti, MS, membina petani mengolah kedelai hitam.
OLEH THOMAS PUDJO WIDIJANTO
"Awalnya benar-benar segenggam kedelai pemberian Ibu Mary Astuti agar benih itu saya pelajari dan ditanam," kata Setyastuti, peneliti sekaligus dosen Pemuliaan Tanaman dan Teknologi Benih fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Mary Astuti yang ia sebutkan adalah Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM, yang dikenal sebagai ahli tempe di Indonesia.
Karena permintaan guru besar dan seorang ahli, Tuti, panggilannya, menanam segenggam biji yang tak semuanya berkualitas baik itu di lahan percobaannya. Dalam tiga bulan, ia memanen 40 kilogram (kg) kedelai hitam.
Hasil 40 kg kedelai yang awalnya tak diketahui namanya itu ia jadikan benih lagi. Tahun 2002, benih itu ditanam di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat. "Hasilnya tak mengecewakan, kami panen 940 kg."
Penelitian uji daya hasil kedelai terus dilakukan di 12 lokasi. Bermodal bahan baku kurang dari 1 ton itu, ia mulai bergerak. Ia menyusuri desa-desa diwilayah Imogiri dan Bambanglipuro, Bantul, DI Yogyakarta, bertemu petani yang biasa menanam kedelai.
Dibantu tiga mahasiswa, ia menemui beberapa kelompok tani. Namun, tak semua petani menanggapi maksudnya karena mereka terbiasa menanam kedelai kuning. Mereka enggan diajak menanam jenis kedelai lain.
"Waktu awal saya mencari kelompok tani untuk menanam kedelai itu susah banget. Saya sampai bingung. Saya pergi pukul 7 pagi sampai pukul 7 malam, tak begitu membuahkan hasil," ujarnya berkisah.
Namun, kondisi itu justru membuatnya makin bersemangat mencari cara bagaimana membina petani, khususnya untuk menanam kedelai hitam.
Tuti akhirnya berhasil merayu ratusan petani untuk menanam kedelai hitam di Bambanglipuro dan Sumbermulyo, Klaten, Jawa Tengah. Masing-masing area seluas 8 hektar dan 25 hektar. Benih yang kurang dari 1 ton disebar di kedua tempat itu.
Agar menghasilkan panen berkualitas baik, petani didampingi dan dibinanya. Panen pertama pertengahan 2003 mendapatkan 20 ton kedelai. Sesuai janji sebelumnya, hasil panen dibeli Unilever. "Kami memang minta Unilever membeli langsung kepada petani, tidak lewat tengkulak."
Tak berpengalaman
Setelah panen di Bantul dan Klaten, Tuti mulai mengajak petani di daerah lain, seperti Ngawi, Madiun, dan Probolinggo, Jawa Timur, untuk melakukan hal yang sama. Bertahun- tahun ia menghabiskan waktu mendampingi petani.
Tuti tak pernah membayangkan dirinya terjun langsung ke lapangan. bahkan, cara membina petani pun ia tak punya banyak pengalaman. Sejak menjadi dosen awal 1980-an, ia hanya mengajar dan meneliti di laboratorium benih.
Namun, semakin sering bertemu petani, ia merasa makin memahami mereka. "Semakin sering kami bertemu saya makin mencintai petani," ujarnya.
Tuti bersama asisten mahasiswanya pun secara rutin mengadakan pertemuan dengan petani. Mereka memberi contoh memakai pupuk, menjaga jarak tanaman, menyediakan air oncoran, dan memilih benih yang baik. Awalnya petani dapat memanen 1 ton per hektar, kini mencapai 2,7-2,9 ton per hektar.
"Saya senang membina petani karena kita juga mendapat banyak pengalaman. Kami saling belajar. Saya pun berusaha mencarikan pasar untuk kedelai hasil panen petani," katanya.
Sampai kini, sekitar 7.000 petani dibina Tuti. Mereka menyebar di wilayah Jateng, DI Yogyakarta, dan Jatim. Produksinya mencapai lebih dari 1.000 ton.
"Semua ini tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Segenggam benih itu, telah menyebar menjadi budidaya kedelai buat petani," katanya.
Hampir 10 tahun kedelai itu ditanamnya, tetapi ia tak tahu pasti namanya. Tuti hanya tahu, kedelai itu merupakan varietas lokal yang bibitnya dari Purwokerto. "Karena bibit lokal, saya lakukan pemuliaan dengan kemurniannya."
Karena keunggulannya, ia mendaftarkan benih kedelai hitam itu ke Kementerian Pertanian untuk dilepas sebagai varietas. Begitu disetujui, kedelai itu ia beri nama Mallika, bahasa Sanskerta yang berarti kerajaan. "Nama itu dari Presdir (Presiden Direktur) Unilever Indonesia yang sering membeli kedelai petani," katanya.
Batang kedelai hitam berbulu warna coklat kehitam-hitaman. Namun, ada pula bulu batang kedelai yang berwarna putih keemasan. "Bulu batang kedelai yang berwarna putih itu jelas varietas lain," ungkapnya.
Tuti lantas memilah-milah, bulu batang kedelai yang berwarna putih disisihkan. Dalam penelitian lanjut, bulu batang kedelai yang berwarna putih ternyata bisa dimuliakan dan dimurnikan.
"Kami melakukan uji coba di delapan lokasi pada dua wilayah. Hasilnya menunjukkan kualitas yang signifikan. Batang kedelai berwarna putih keemasan ini saya namakan Gamalika, tapi belum didaftarkan ke Kementerian Pertanian untuk dilepas sebagai varietas baru," ujarnya.
Diajak nenek
Tuti tak punya darah petani. Namun, sejak kecil ia sudah mengenal petani karena sering diajak neneknya yang waktu itu menjadi wedana di wilayah Kabupaten Wonogiri, Jateng. "Mungkin kenangan itulah yang memperkuat saya menempuh pendidikan pertanian."
Ketertarikannya kepada petani semakin kental saat menjadi sarjana dan mengadakan penyuluhan untuk petani ke desa-desa. "Hampir semua desa di Kecamatan Pakem, Sleman, saya jelajahi untuk penyuluhan tentang hortikultura," katanya.
Tuti berpendapat, swasembada kedelai sebenarnya bisa dicapai. "Namun, petani jadi malas menanam kedelai karena kedelai impor terus berdatangan. Kondisi ini menekan harga jual kedelai dalam negeri," tuturnya.
Swasembada kedelai sangat mungkin terwujud. Dengan demikian, jika harga kedelai impor dari Amerika Serikat membubung tinggi seperti sekarang, kondisi sosial-ekonomi perajin tahu-tempe di Indonesia tak akan terpengaruh.
Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 30 JULI 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar