Rabu, 08 Agustus 2012

Fenny Martha Dwivany: "Banana Lady" dan Rahasia Etilen Pisang


FENNY MARTHA DWIVANY 
Lahir: Bandung, 18 April 1972
Pendidikan Terakhir: S-3 The University of Melbourne
Jabatan: Kepala Laboratorium Keahlian Genetika dan Analisis Molekuler Sekolah Ilmu dan Teknologi ITB
Penghargaan:
- 2010, Endeavour Award dari Pemerintah Australia
- 2007, The Best Achievement Category-Asosiasi Akademisi Perguruan Tinggi 
  Seluruh Indonesia (ASASI) Award
- 2007, Indonesia UNESCO-L'Oreal for Young Women in Life Science

Sejak tahun 2004, pisang ambon lumut ("Musa acuminata") tidak pernah lepas dari hidup Fenny Martha Dwivany (40), dosen Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung. Dia meneliti pisang tersebut, mempelajarinya hingga tingkat gen, demi menjawab pertanyaan: "Mengapa pisang menjadi matang?"

OLEH DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO

Jawaban itu pun didapatkan setelah dua tahun lebih meneliti, yakni keberadaan hormon etilen yang berperan dalam membuat buah pisang menjadi matang.
   Etilen menyebabkan gen-gen lain yang terlibat dalam pematangan buah bekerja dan menghasilkan perubahan pada buah, meliputi perubahan warna, tekstur, aroma, dan rasa.
   Setelah mengetahui runtutan proses pematangan pisang ambon, riset selanjutnya dilakukan untuk menghambat pembentukan etilen agar pematangan buah bisa lebih lama. Dengan risetnya, Fenny berhasil "mengganggu" pembentukan etilen dan akhirnya buah menjadi tidak matang.
   Berkat riset ini, Fenny mendapatkan penghargaan internasional L'Oreal UNESCO for Women in Science serta paper terbaik Hayati Award pada tahun 2009.
   Saat ini, Fenny ternyata masih berkutat dengan riset terkait pisang ambon shingga seorang rekan dengan nada bercanda pernah menjulukinya "Banana Lady", seperti halnya julukan "Iron Lady"  yang disematkan kepada mantan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher.
   Fenny memiliki segudang alasan mengenai pemilihan obyek risetnya. Alasan pertama, dia dan keluarganya sejak kecil adalah penyantap pisang. Pisang adalah makanan favorit karena mudah diperoleh, murah, dan kaya vitamin yang bermanfaat bagi tubuh. Setelah nasi, gandum, dan jagung, pisang juga menjadi makanan yang paling banyak dikonsumsi di dunia.
   "Di Uganda, setiap orang mengonsumsi 1 kilogram pisang setiap hari," ujarnya.
   Indonesia merupakan negara yang kaya ragam jenis pisang dengan sekitar 200 kultivar pisang. Hal itu menjadikan negeri ini sebagai penghasil pisang yang dominan di Asia, bahkan dunia. Dengan produksi tahunan sekitar 5 juta ton, Indonesia terletak pada peringkat keenam negara penghasil pisang setelah India, China, Brasil, Filipina, dan Ekuador.
   Namun, yang mencengangkan justru data ekspor yang menempatkan Indonesia pada peringkat ke-60. Penelusuran yang dilakukan menunjukkan bahwa rendahnya angka ekspor sudah dimulai dari hulu, yakni perlakuan sebelum panen hingga pascapanen. Faktor distribusi hingga penanganan produksi membuat pisang cepat membusuk.
   Berdasarkan riset yang dilakukan, pisang adalah buah yang harus mendapatkan perlakuan khusus sejak distribusi hingga dipajang di supermarket. Selama pengiriman, pisang tidak boleh lebam atau kulitnya tergores karena proses pematangan akan berlangsung cepat. Pengaturan suhu tidak bisa bisa dikenakan pada pisang karena justru merusak fisik buah.
   "Etilen pun bergerak layaknya gas. Jika di satu kontainer ada pisang yang sudah busuk, itu akan menyebabkan pisang lain cepat matang dari seharusnya," kata Fenny.

Transgenik

   Riset yang berhasil mengungkap penyebab pematangan pisang tidak berhenti sampai di sana. Fenny berpendapat, harus ada perbaikan agar petani pisang di Indonesia bisa bersaing dengan negara lain. Riset mengenai peran etilen dilanjutkan dengan rekayasa untuk menghasilkan pisang transgenik dengan pematangan yang terhambat. Saat ini uji coba tengah dilakukan dengan mempersiapkan bibit pisang transgenik yang memiliki karakter pematangan yang terhambat.
   Sebagai Kepala Laboratorium Keahlian Genetika dan Analisis Molekuler SITH ITB, Fenny beranggapan, walau teknik rekayasa genetika yang dilakukan sangat panjang dan membutuhkan baya besar, pada akhir penelitian bibit tanaman pisang transgenik dapat diperbanyak dengan mudah dan menjadi produk agrikultur yang murah.
   "Saya tidak dalam posisi untuk berkata bahwa kita harus mendukung produk transgenik. Biarkan mahasiswa saya membaca dan memutuskan sendiri," ujar Fenny.
   Dia memahami, kata transgenik masih terdengar sumbang di Indonesia karena berbagai ketakutan yang tidak terlalu berdasar, seperti menyebabkan kanker bagi siapa pun yang mengonsumsinya.
   Sebelum diedarkan, produk transgenik harus melalui proses yang ketat oleh berbagai lembaga, seperti Badan Pengawasan Obat dan Makanan serta Kementerian Pertanian. Kedelai yang diimpor Indonesia adalah produk transgenik.
   Sembari menanti bibit pisang transgenik rampung, Fenny juga memanfaatkan hasil riset etilen untuk mendesain tempat penyimpanan buah dengan pemberian gas oksigen, karbon dioksida, ataupun nitrogen. Gas karbon dioksida bisa menghambat pematangan buah, sementara gas oksigen mempercepatnya.
   Dengan pengaturan gas tersebut, Fenny tengah mengerjakan purwarupa tempat penyimpanan buah yang bisa dibawa para penjual buah-buahan dengan mudah. Dengan demikian, pisang bisa menjadi lebih awet dan pedagang pun bisa untung.
   Segala kerja keras hanya untuk pisang ambon ini bukan tanpa maksud. "Riset ini menjadi pintu masuk bagi rekayasa pangan untuk buah ataupun sayuran lain," ujarnya.
   Dengan rekayasa seperti ini, buah ataupun sayuran bisa bertahan lebih lama sehingga perjalanan dari petani ke tangan pelanggan terjaga dalam kondisi yang baik. Begitu pula sewaktu dikirim ke daerah lain. Peluang rekayasa genetika di masa mendatang masih terbuka untuk meningkatkan produksi pangan.

Pidato ilmiah

   Pencapaian itulah yang membuat Fenny didaulat untuk memberikan pidato ilmiah pada acara penerimaan mahasiswa baru ITB, akhir Juli lalu. Di hadapan sekitar 3.400 mahasiswa baru, Fenny membawakan pidato ilmiah berjudul "Aplikasi Ilmu Hayati dalam Menjawab Tantangan Pangan di Abad 21", berisi mengenai pencapaian ilmu hayati mulai penemuan mikroskop, rekayasa genetika, hingga biologi sintetis.
   "Saya ingin menunjukkan bahwa Indonesia punya daya saing dalam perkembangan ilmu biologi," kata Fenny.
   Dalam pidato ilmiah tersebut, Fenny mengaku tidak bisa menerangkan seperti halnya di ruang kuliah yang interaktif dan santai. Dia ingin meruntuhkan kesan, orang yang belajar ilmu biologi itu adalah orang kutu buku yang sulit berinteraksi dengan orang lain.
   Dengan gaya yang santai di hadapan 3.400 mahasiswa baru itu, Fenny dengan lantang berkata, "Biologi itu te-o-pe-be-ge-te (top banget)," dan disambut derai tawa sekaligus tepuk tangan dari para mahasiswa.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 9 AGUSTUS 2012

1 komentar:

  1. Orang pinter di Indonesia banyak banget, begitu juga dengan temuannya. Tapi mengapa tidak pernah bisa diterapkan di tingkat pengguna, misalnya petani ? Apa yang salah ? Kita dibanjiri produk pertanian dari Thailand dan sekarang Filipina dan Vietnam. Dan anehnya semua kelebihan hasil tsb sudah pula ditemukan oleh para peneliti kita. Kenapa petani kita hanya bisa menonton ? Pantaskah kita salahkan petani kita ? Mudah2an ke depan masalah ini bisa ikut diteliti dan diatasi. salam

    BalasHapus