Selasa, 14 Agustus 2012

Hadjirah Abudullah: Pelestari Kopiah Karanji


HADJIRAH ABUDULLAH
Lahir: Gorontalo, 5 Oktober 1954
Suami: Edi Ibrahim (57)
Anak:
- Rasyid Edi (38)
- Isa Edi (36)
- Rahman edi (35)
- Rusman Edi (33)
- Nining Edi (32)
- Fatma Edi (30)
Penghargaan:
- Juara II Lomba Cipta Cendera Mata Khas Daerah Sulawesi Utara, 1990
- Perajin Teladan se-Kabupaten Gorontalo, 1992
- Upakarti dari Presiden Soeharto, 1996
- Prama Karya dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 2007

Selain kain sulam karawo, kerajinan khas Gorontalo lain yang populer adalah kopiah karanji. Di pelosok Desa Pulubala, Kecamatan Pulubala, Kabupaten Gorontalo, Hadjirah Abudullah menjadi pelestari kerajinan kopiah karanji secara turun temurun. Ia dikenal sebagai pembuat kopiah yang dipakai Gus Dur. Kopiah karanji buatan Hadjirah laris dan ia memberdayakan ratusan tetangganya.

OLEH ARIS PRASETYO

Tahun ini usianya 58 tahun. Namun, kedua tangan dan jari-jarinya masih lincah menganyam mintu (sejenis rotan) untuk dijadikan kopiah karanji. Sesekali batang mintu yang sedikit lebih kecil dibandingkan batang lidi itu ia raut halus dengan pisau. Setelah itu, jari-jarinya kembali sibuk menyatukan batang-batang mintu menjadi jalinan indah berbentuk kopiah.
   "Saya belajar menganyam mintu untuk membuat kopiah sejak usia enam tahun. Keterampilan ini saya dapat dari orangtua. Selain orangtua yang perajin mintu, kakek-nenek saya juga melakukan hal serupa," tutur Hadjirah saat ditemui di rumahnya, Jumat (10/8).
   Rupanya menganyam mintu seolah menjadi pilihan hidup nenek dengan 22 cucu ini. Kesibukannya membantu orangtua membuat kopiah kala itu menyebabkan sekolahnya terputus saat ia masih di kelas III SD. Sejak saat itu, Hadjirah kecil semakin sibuk menganyam mintu menjadi kopiah karanji. Selain bermain, hari-harinya sejak pagi hingga senja habis untuk menganyam.
   Hadjirah mulai serius berbisnis kopiah karanji sejak 1976. saat itu ia dibantu suaminya, Edi Ibrahim, dan beberapa sanak saudara. Ia memasarkan kopiah ke toko-toko di Kota Gorontalo. Ia belum lupa kedua toko yang menjadi langganannya saat itu, yakni "Palapa" dan "Matahari" yang masih berdiri hingga kini.
   "Waktu itu, dalam sebulan biasanya saya menaruh barang (kopiah karanji) 15-20 buah. Harga jualnya (tahun 1976) Rp 1.000-Rp1.500 per buah. Waktu itu belum banyak orang yang membuat kopiah karanji. Jadi, kopiah buatan saya terbilang laris," cerita Hadjirah.
   Kopiah buatan Hadjirah semakin dikenal orang, dari mulut ke mulut. Merasa percaya diri dengan kualitas kopiah buatannya, Hadjirah maju pada "Lomba Cipta Cendera Mata Khas Daerah" yang diselenggarakan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara pada 1990.
   Saat itu Gorontalo masih tergabung dalam Provinsi Sulawesi Utara (Sulut). Hadjirah meraih juara II dan menjadi satu-satunya perempuan yang mendapat penghargaan dalam lomba ini. Hadiah uang Rp 150.000 dan piagam penghargaan pun ia bawa pulang.
   Setelah menjuarai lomba itu, nama Hadjirah sebagai perajin khas Gorontalo semakin berkibar. Pada 1992 ia kembali meraih penghargaan dari Pemerintah Kabupaten Gorontalo sebagai perajin teladan. Masih pada tahun yang sama, ia beberapa kali diundang ke Jawa untuk bertukar pengalaman antar perajin.
   Pengakuan terhadap ketekunan Hadjirah menganyam mintu memuncak saat ia menerima penghargaan Upakarti dari Presiden Soeharto, 16 Desember 1996.
Penghargaan itu ia terima dari tangan Soeharto di Istana Merdeka. Semua dokumen dan foto penghargaan yang ia terima masih tersimpan rapi di rumahnya.
   Konon, kopiah yang kerap dipakai mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah kopiah karanji buatan Hadjirah. Saat Gus Dur berkunjung ke Gorontalo tahun 2000, seseorang yang mengaku suruhannya memesan dua kopiah ke rumah Hadjirah.
   "Orang itu memesan dua kopiah yang masing-masing bertuliskan 'Presiden RI' dan 'Mantan Presiden'. Katanya, kopiah itu buat Gus Dur," cerita Hadjirah.

Modal nyaris nol

   Selain keterampilan, tak perlu modal besar untuk membuat kopiah karanji. Mamanfaatkan batang mintu yang tumbuh liar di hutan wilayah Gorontalo, Hadjirah memulai usahanya. Pengambilan mintu di hutan merupakan tanggung jawab penuh suaminya yang kadang dibantu anak atau famili lelaki.
   Dalam sehari bisa terkumpul 3-5 ikat mintu. Setiap ikat berisi 200-an batang mintu dengan panjang 80-90 sentimeter. Dari satu ikat mintu, bisa dibuat menjadi 10-15 kopiah karanji.
    Setelah dipotong dengan ukuran sama , mintu yang masih segar lantas dijemur seharian. Mintu yang kering berwarna kecoklatan dan siap diolah. Awalnya setiap batang mintu kering dibelah menjadi enam bagian. Setiap bagian lantas diraut dengan pisau kecil.
   Untuk menghasilkan mintu yang sempurna, batang mintu masih dihaluskan lagi dengan cara sederhana. Caranya, memasukkan batang mintu ke lubang yang dibuat pada tutup kaleng (sebelumnya sudah dilubangi dengan beragam ukuran). Batang mintu pun siap dianyam.
   Kelincahan tangan Hadjirah mampu menghasilkan aneka jenis kopiah karanji. Jenis yang khas atau kerap dibuatnya adalah kopiah berbentuk oval dan bundar. Ia juga bisa membuat topi ala koboi dari bahan mintu.
   Di rumahnya, ia bersama perajin yang lain tengah menggarap pesanan Gubernur Gorontalo Rusli Habibie sebanyak 150 topi koboi.
   "Selain bermodal keterampilan, bisa dibilang modal kerajinan mintu ini gratis. Mintu tidak perlu kita beli, tinggal mencari di hutan. Kami tak pernah kehabisan bahan baku," ucap Hadjirah.

Berdayakan tetangga

   Ketekunan Hadjirah membuahkan hasil. Selain memberi pekerjaan sampingan bagi 100 lebih tetangga yang kebanyakan ibu rumah tangga, ia juga mempunyai 500-an pohon kelapa untuk dibuat kopra dan 2 hektar ladang jagung.
   Semua itu didapat dari jerih payahnya membuat kopiah. Jika dirata-rata dalam sebulan bisa diproduksi 600-800 kopiah karanji. Harga kopiah ini bervariasi, Rp 50.000-Rp 80.000 per buah, tergantung model dan ukuran. Pendapatan kotor Hadjirah sebulan sekitar Rp 30 juta.
   "Waktu menjelang musim haji, produksi kopiah bisa membengkak sampai 1.000-an setiap bulan. Selain dipasarkan di Gorontalo, kopiah ini juga dijual sampai Manado, Ternate, dan Jakarta," katanya.
   Hadjirah memang tak mengerjakan semua itu sendirian. Selain dibantu anak dan cucu, 100-an tetangganya di Desa Pulubala dan di desa lain pun dilibatkan. Mereka membuat kopiah yang kemudian diberikan kepada Hadjirah untuk dipasarkan. Tentu mereka mendapat upah yang bisa menjadi penghasilan tambahan keluarga.
   "Selama kedua tangan saya masih kuat, saya akan terus membuat kopiah karanji," ujarnya menegaskan.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 15 AGUSTUS 2012

2 komentar: