Selasa, 28 Agustus 2012

Ambrosius Ruwindrijarto: Mendemokratiskan Usaha di Hutan


AMBROSIUS RUWINDRIJARTO
Lahir: Grobogan, Jawa Tengah, 14 November 1971
Istri: Cicilia Debbie (32)
Anak: Lana Maringi Rejeki (5)
Pendidikan, antara lain:
- 2009: Harvard Business School Executive Education, Strategic Perspectives 
  in Nonprofit Management, Cambridge, AS
- 1994: Environment Education Course, North America Association for 
  Environment Education, Washington, DC, AS
- 1989-1996: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
Pekerjaan, antara lain:
- 2003-kini: Anggota dan pendiri Samdhana Institute
- 1998-kini: Anggota dan pendiri Forest Watch Indonesia
- 1997-kini: Anggota dan pendiri Yayasan/Perkumpulan Telapak
- 2004-2006: Direktur PT Poros Nusantara Utama
- 2002-2004: Direktur PT Bahtera Lestari
Penghargaan:
- 2012: Ramon Magsaysay Award
- 2010: The Skoll Award for Social Entrepreneurship
- 2008; Ernst Young/Schwab Foundation Social Entrepreneurship of the Year

Menjalankan prinsip kerakyatan dan kelestarian menjadi pedoman Ambrosius Ruwindrijarto untuk mendampingi masyarakat pemangku hutan. Sejak 1996 ia berjuang mendemokratiskan usaha pemanfaatan hasil hutan secara lestari oleh rakyat. Pendiri Yayasan/Perkumpulan Telapak Indonesia ini meraih Ramon Magsaysay Award 2012.

OLEH NAWA TUNGGAL

"Usaha kerakyatan menekankan usaha yang dimiliki kolektif rakyat dengan semangat gotong royong, berorientasi memenuhi kebutuhan dasar komunitas. Prinsip kelestarian menjadikan bisnis pengelolaan alam itu berkelanjutan," kata Ruwindrijarto, Kamis (16/8), di Kedai Telapak, dekat Terminal Baranangsiang, Bogor, Jawa Barat.
   Kedai telapak yang berupa kedai makanan dan minuman itu sekaligus kantor Telapak. Ini tempat rapat, juga untuk menerima para tamu Telapak. "Model bisnis ini untuk menjaga kesinambungan berorganisasi," katanya.
   Mendemokratiskan usaha di hutan secara lestari oleh rakyat, tak hanya konsep yang terus dibicarakan saja. Inti demokrasi itu partisipasi.
   Ruwi, panggilannya, membuktikan. Bahkan, ini menjadi perlawanan ketika pemerintah justru memintas usaha pengerukan habis-habisan dengan memberikan hak pengelolaan hutan kepada segelintir pemodal.
   Ruwi menempuh studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor tahun 1989-1996. Setelah lulus, ia bersama lima rekannya mendirikan organisasi Telapak. Setahun kemudian, lembaga ini berbadan hukum yayasan. Lima rekannya yang turut mendirikan Telapak adalah Hapsoro, Rita Mustika Sari, Arbi valentinus, Mohammad Imran Amir, dan Hermanto Effendy.
   "Badan hukum Yayasan Telapak menjadi kurang demokratis karena kekuasaan tertinggi di tangan pendiri. Pada 2002 diubah menjadi perkumpulan dengan kekuasaan tertinggi pada anggota," katanya.

Menoreh

   Orangtua Ruwi tinggal di Pegunungan Menoreh. Persisnya di Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo, DI Yogyakarta. Ini menjadi salah satu titik awalnya mewujudkan gagasan mendemokratiskan usaha pengelolaan hutan yang tersisa secara lestari oleh rakyat kolektif.
    "Saat saya pulang, sering berdiskusi dengan teman-teman di Samigaluh tentang kegiatan dan tujuan Telapak. Mereka bisa menerapkan dan menjadi pemimpin lokal," katanya.
   Di Samigaluh, Ruwi berpartisipasi mendirikan Koperasi Wana Lestari Menoreh pada 2006. Semula hanya beranggotakan 50 keluarga. Kini melampaui 1.000 keluarga anggota yang tersebar di enam kecamatan. Mereka mengelola dan mengolah kayu hasil hutan, seperti jati, mahoni, sonokeling, dan sengon. Budidaya empon-empon juga menjadi andalan pendapatan untuk bahan jamu industri farmasi.
   Koperasi ini meraih sertifikat dari Forest Stewardship Council (FSC) yang berpusat di Bonn, Jerman, pada 2010. FSC adalah lembaga independen yang mempromosikan pengelolaan hutan lestari di dunia.
   "Keberadaan koperasi di antaranya mampu menghilangkan praktik ijon kayu atau tebang kayu belum layak dengan menjadikan pohon sebagai jaminan kredit," katanya.
   Koperasi Wana Lestari Menoreh tumbuh menjadi dua jalur, yaitu mengurusi produksi dan keuangan. Untuk jalur produksi, koperasi ini membentuk PT Poros Nusantara Utama Jogya yang menerima kayu gelondong dari anggota koperasi sebagai bahan mentah mebel. Lalu, bekerja sama dengan Koperasi Kredit Carisma Tali Asih untuk melayani jalur keuangan.
   "Pohon bisa dijadikan agunan kredit," kata Ruwi.
   Jejak Telapak juga ada di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Pada 2003, beberapa aktivis Telapak yang juga mendirikan lembaga swadaya masyarakat Jaringan untuk Hutan (Jauh) membentuk Koperasi Hutan Jaya Lestari. Ini koperasi yang pertama kali memperoleh sertifikat FSC tahun 2005 dan terus tumbuh dengan anggota lebih dari 8.000 keluarga.
   Di Lampung, didirikan Koperasi Giri Mukti Wana Tirta yang didampingi Yayasan Konservasi Way Seputih (YKWS). Aktivis YKWS juga anggota Telapak. Pada 2011, koperasi ini memperoleh sertifikat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). SVLK adalah sistem pelacakan untuk memastikan legalitas sumber kayu. Kementerian Kehutanan menentukan mulai 2013 setiap kelompok usaha atau perusahaan kayu harus memiliki SVLK.
   "Kayu legal berasal dari kawasan hutan produksi yang sah," katanya.
   Ruwi meneruskan pendirian model koperasi untuk usaha hasil hutan lestari secara kolektif. Sejak 2010 ia merintis pendirian koperasi serupa di Sorong Selatan, Papua Barat, dengan dukungan Persekutuan Adat Knasaimos. Di Kabupaten Maybrat, Papua Barat, ia juga merintis Koperasi Shywa.

Ramon Magsaysay

   Pada 26 Juli 2012, Presiden Ramon Magsaysay Award Foundation (RMAF) Carmencita Abella menelepon Ruwi. Carmencita menyampaikan, Ruwi dinyatakan sebagai salah satu peraih Ramon Magsaysay 2012 atas segala usahanya untuk menyelamatkan hutan di Indonesia. Penghargaan akan disampaikan di Manila, Filipina, 31 Agustus 2012.
   Bersama para aktivis Telapak, Ruwi mengembangkan berbagai investigasi pembalakan hutan secara liar. Ia bekerja sama dengan Badan Investigasi Lingkungan Hidup (EIA) Inggris dan tahun 1999 melacak serta membongkar jaringan pembalakan kayu ilegal, terutama di Kalimantan. Tak pelak, Ruwi beberapa kali menerima ancaman fisik, bahkan pembunuhan, oleh pihak-pihak yang terlibat pembalakan kayu ilegal di hutan Kalimantan.
   Selain Ruwi, peraih Ramon Magsaysay Award tahun ini adalah Chen Shu-Chu dari Taiwan. Romulo Davide dari Filipina, Kulandei Francis dari India, Syeda Rizwana Hasan dari Banglades, dan Yang Saing Koma dari Kamboja.
   Ruwi menjadi bagian dari 21 tokoh Indonesia yang sebelumnya menerima penghargaan ini, antara lain Pramoedya Ananta Toer, Abdurrahman Wahid, Ali Sadikin, dan Ahmad Syafii Maarif.
  Ruwi menjadi Direktur Eksekutif Yayasan Telapak Indonesia pada 1999-2002. Ia juga memimpin beberapa perusahaan yang didirikan untuk menopang usaha hasil hutan lestari. Ia memimpin PT Bahtera Lestari pada 2002-2004, lalu memimpin PT Poros Nusantara Utama pada 2004-2006.
   Tahun 2005-2006 ia memimpin lembaga Samdhana Institute untuk penyelamatan keanekaragaman alam, budaya, dan spiritual. Pada 2006-2012, ia menjadi Presiden Telapak.
   "Penghargaan Ramon Magsaysay bagi saya ibarat durian runtuh," ujarnya.
   Ruwi tak berharap penghargaan atas kegiatannya menyelaraskan kehidupan rakyat dan hutan agar lestari. Dia berharap ada perubahan sosial dalam menata produksi kayu dan hasil hutan lain secara demokratis dan lestari. Usaha yang tak menghamba keserakahan dan menghancurkan hutan.

Dikutip dari KOMPAS, RABU 29 AGUSTUS 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar