Kamis, 02 Agustus 2012

Eko Yuli Irawan: Gantungkanlah Target Setinggi-tingginya

EKO YULI IRAWAN
Lahir: Metro, Lampung, 24 Juli 1989
Orangtua: Saman dan Wastiah
Istri: Masitah 
Prestasi:
- 2007 (emas) Kejuaraan Dunia Yunior Angkat Besi di Cali, Colombia, kelas 
  56   kilogram
- 2007 (emas) SEA Games Thailand, kelas 56 kilogram
- 2008(perunggu) Olimpiade Beijing, kelas 56 kilogram
- 2009 (emas) Kejuaraan Dunia Yunior angkat Besi di Bucharest, Romania, 
  kelas 62 kilogram
- 2009 (perak) Kejuaraan Dunia Angkat Besi di Goyang, Korea Selatan, kelas 
  62 kilogram
- 2009 (emas) SEA Games Laos, Vietnam, kelas 62 kilogram
- 2010 (urutan empat) Kejuaran Dunia Angkat Besi di Antalya, Turki, kelas 62 
  kilogram 
- 2010 (perunggu) Asian Games di Guangzhou, China
- 2011 (emas) Universiade XXVI di Shenzhen, China, kelas 62 kilogram
- 2011 (perunggu) Kejuaraan Dunia Angkat Besi di Paris, Perancis, kelas 62 
  kilogram
- 2011 (emas) SEA Games Palembang, Indonesia, kelas 62 kilogram
- 2012 (perunggu) Olimpade London, kelas 62 kilogram

Di Olimpade Beijing 2008, Eko Yuli Irawan hadir sebagai peraih medali pertama kontingen Indonesia. Dia merebut perunggu angkat besi kelas 56 kilogram. Itu medali olimpade pertama yang diraih lifter putra Indonesia sejak Thio Ging Hwie tampil sebagai satu dari tiga olimpian Indonesia perdana di Helsinki 1952.

OLEH YUNAS SANTHANI AZIZ

Eko juga meneruskan tradisi medali olimpade indonesia di cabang angkat besi, sejak lifter putri Raema Lisa Rumbewas mengantongi perak di Olimpade Sydney 2000
   Sehari kemudian, rekan masa kecilnya yang hingga kini tetap menjadi sahabat satu sasana, Triyatno, menambah sekeping perunggu kelas 62 kg putra bagi Merah Putih.
   Empat tahun setelah Beijing, di Olimpade London 2012, awal pekan ini, kembali duo lifter kelahiran Metro, Lampung, yang kini warga Kalimantan Timur tersebut menjadi pilar utama angkat besi Indonesia. Eko lagi-lagi sebagai pembuka medali kontingen Indonesia dengan meraih perunggu, sementara Triyatno perak. Bedanya, keduanya naik kelas, Eko di 62 kg dan Triyatno di kelas 69 kg.
   "Dua medali itu sama perunggunya, tetapi perebutan di Olimpade London jauh lebih berat ketimbang di Beijing," ujar Eko di London.
   Terlebih lagi persiapan ke London terbilang singkat. Dia hanya dua bulan berlatih intensif, yakni saat di Beijing dan di Seoul sebagai persiapan ke London. Itu sebabnya Eko deg-degan karena persiapan lawan sangat bagus, lama, dan konsisten.
   Jantungnya berdegup kencang dan wajahnya memucat menjelang akhir perebutan babak clean and jerk, terutama ketika Zhang Jie (China) dan Oscar Alberiro Figueroa Mosquera (Kolombia) naik ke panggung dan berupaya mengangkat barbel dalam kesempatan terakhir.
   Ada kebanggaan tersendiri menyaksikan Eko Yuli Irawan. Bahkan, kebanggaan itu meluap sebelum kompetisi angkat besi kelas 62 kilogram di ExCel Center, London, Senin lalu. Pada cabang yang mengusung moto ketiga olimpade, fortius (lebih kuat) itu, ada tradisi memperkenalkan semua kontestan kepada penonton sebelum mereka berlaga. Berjalan ke atas panggung bersama semua lifter yang menjadi seterunya. Eko tampil tegap, dagu tegak, senyum mengembang, sorot mata menatap ke depan.
   Eko yang sama seperti itu juga hadir ketika tidak sedang berlomba, di luar arena. Ketika diwawancarai wartawan, ketika para penonton menarik-narik mengajak foto bersama, atau tatkala sukarelawan London mengajaknya berbincang, Eko tetaplah Eko yang tersenyum. Matanya selalu menatap, menyimak ekspresi lawan bicaranya.
   Dia orang yang sangat ramah, sekaligus memiliki kepercayaan diri yang besar. Banyak atlet Indonesia ramah, tetapi sulit mengungkapkan buah pikiran mereka secara runtut. Eko sebaliknya, piawai bergaul dan cekatan menjawab pertanyaan. Semua dengan iringan senyum dan dengan sorot mata bersahabat.
   Betapa Eko yang kelahiran Desa Tejosari, Lampung, 23 tahun silam itu telah bermetamorfosis dari anak yang sederhana menjadi manusia unggul. Dia bukan berasal dari keluarga berada. Ayahnya, Saman, adalah seorang pengayuh becak. Ibunya membantu penghasilan keluarga dengan menjual sayuran. Saat latar belakang keluarganya itu dikonfirmasi, tiada kesan malu pada diri Eko.
   "Ya, betul itu," jawabnya mantap. 
   Eko kerap menghabiskan masa kecilnya dengan mengangon kambing. Atas jasanya, pemilik kambing mengupah Eko Rp 7.000 per pekan.
   Kebersahajaan hidup membangun ketekunan. Dia menuturkan, menjadi pengangon kambing membuat dia belajar tanggung jawab. "Jika ada kambing yang hilang, saya harus membayarnya. kami keluarga miskin, jadi kami harus tekun dan cermat dalam bekerja," katanya.
   Ketika usianya belum lagi 11 tahun, pada tahun yang sama dengan Lisa meraih medali perak olimpade Sydney 2000, Eko diajak teman-teman sepermainannya menonton atlet angkat besi berlatih di sasana milik Yon Paryono, mantan lifter nasional. Dasar anak-anak, Eko tidak sekadar menonton, tetapi berlari ke sana-sini, karena ingin melihat peralatan latihan lebih dekat hingga menyentuhnya. Alhasil, dia pun di usir. Beberapa waktu kemudian, sejumlah temannya kembali mengajak Eko ke sasana itu. Tidak untuk sekadar menonton, tetapi juga berlatih. "Modalnya hanya sepatu kets dan celana pendek," kata Eko mengenang.
   Enam bulan berlatih di Metro, Yon dan Lukman memindahkan Eko dan Triyatno berlatih ke Parung Panjang, Bogor, yang memiliki fasilitas latihan lebih lengkap.
   Singkat cerita, memotong kisah perjalanan Eko yang panjang, Eko pun memanen prestasi demi prestasi. Pada 2006, kala berusia 17 tahun, pertama kali Eko mencicipi kompetisi internasional. Eko pun menyapu emas setiap kali berlaga di SEA Games, yaitu pada 2007, 2009, dan 2011.
   Gelar juara dunia yunior dia sandang pada 2009.  Pada tahun yang sama pula Eko menjadi runner-up kelas 56 kg kelas 56 kg Kejuaraan Dunia Senior. Prestasi di kejuaraan Dunia relatif naik turun bagi Eko, tetapi pencapaiannya tidak buruk.
   Tahun 2010 dia bercokol di urutan keempat dan setahun kemudian di urutan ketiga. Eko memanfaatkan banyak hadiah dan bonus kejuaraan untuk membantu orangtuanya. Dia membelikan mereka sawah, tanah, dan warung.
   "Apa yang saya capai sekarang ini tidak mudah. Saya merasakan betapa berat dan panjang latihan yang harus saya jalani," kata Eko. Saat bertanding di London pun, Eko masih menyisakan cedera retak tulang kaki yang dia derita dalam latihan, penghujung tahun siam.
   Namun, perunggu olimpiade keduanya menjadi oleh-oleh manis bagi istri tercinta, Masitah, yang menunggunya di kediaman mereka di Kalimantan Timur. Masitah sedang mengandung. "Kira-kira dua pekan lagi istri saya akan melahirkan," kata Eko yang juga bekerja sebagai pegawai negeri di Pemprov Kaltim.
   Membahagiakan orangtua, menanti anak yang lahir, berprestasi dunia. Betapa lengkap hidup Eko. Apalagi, namanya pun terukir sebagai olimpian berprestasi. Dia bersyukur, dalam kondisi kaki sakit pun mampu mempersembahkan medali.
   "Jangan setengah-setengah. Dari dulu saya selalu mematok target. Saya menetapkan target prestasi yang lebih tinggi dari waktu ke waktu. Kalau melakukan sesuatu untuk coba-coba, sayang. Itu membuang waktu," ujar Eko membuka rahasia suksesnya.
   Gantungkan target setinggi-tingginya dan gapailah. Agaknya, itu bukan hanya berlaku di angkat besi. (HLN)

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 3 AGUSTUS 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar