H IIM MISBAH
Pendidikan : Sekolah Dasar
Istri : Hj Nani (55)
Anak :
- Eusi Maryati (38)
- Ai marlina (35)
- Ujang Mulyadi (27)
Para petani pembudidaya ikan di Kampung Ciloa, Desa Margaluyu, Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat, terlambat sadar bahwa pepatah kuno bersatu kita teguh bercerai bakal runtuh itu tak luntur oleh waktu atau lekang oleh zaman.
OLEH H DEDI MUHTADI
Kesadaran itu muncul ketika mereka mengangkat H Iim Misbah (56) sebagai Ketua Kelompok Pembudidaya Ikan Nila (Pokdakan) "Doa Ibu" di kolam jaring apung (KJA) Waduk Cirata tahun 2005 lalu.Lewat kesadaran tersebut, paling tidak usaha kelompok ini mampu bertahan dalam situasi sulit yang sering menjepit mereka di tengah waduk.
Misalnya, ketika terjadi upwelling (arus bawah waduk naik ke atas dan mematikan seluruh ikan), masing-masing petani hanya bisa gigit jari. Setelah berkelompok, saat pembudidaya tersebut terkena musibah, mereka dapat "bantuan" Rp 5 juta dari kelompok. Uang itu adalah dana cadangan kelompok yang dikumpulkan pada sat mereka panen ikan.
Tentu saja dana pengganti modal kerja untuk pembelian benih dan pakan ikan itu harus dikembalikan dalam jangka waktu du tahun. "Alhamdulillah, mereka selalu taat membayar kewajibannya, sebab tahu bahwa uang itu milik bersama," ujar Iim.
Keuntungan lain bernaung di bawah kelompok, yakni bisa membeli pakan lebih murah. Karena mereka bersama-sama berhimpun pakan yang dibeli dengan sendirinya dalam jumlah banyak sehingga harganya lebih murah. Jika harga untuk perorangan Rp 5.735 per kg, untuk kelompok hanya Rp 5.620 per kg.
Beda harga pakan yang Rp 115 per kg sangat berarti jika dihitung dengan kebutuhan kelompok yang mencapai ratusan ton setiap bulannya. Kalau 10 ton per hari saja, berarti penghematan usaha hampir Rp 35 juta setiap bulannya.
Diangkatnya bapak beranak tiga ini mejadi ketua kelompok atas keinginan bersama para pembudidaya ikan. Mereka melihat usaha Iim bertahan stabil cukup lama dan mampu melewati gelombang pasang surut usaha budidaya ikan yang rentan terhadap cuaca dan fluktuasi harga.
Ia juga merupakan nasabah bank paling lama bertahan dari terpaan non performing loan alias kredit macet yang sering dialami pembudidaya. "Kami mendapat pinjaman ddari bank sekitar Rp 500 juta atas jaminan pribadi H Iim," ujar Asep Sulaeman (35), anggota sekaligus Sekretaris Pokdakan.
Bank pun mendapat jaminan karena Iim menerapkan pola tanggung renteng, jika anggota kelompok telat bayar cicilan utang. Penggunaan uang oleh anggota juga dikontrol pengurus kelompok. "Tidak ada anggota yang menggunakan uang untuk beli sepeda motor atau bangun rumah. Sebab modal kerja ini khusus untuk memodali ikan," ungkap Asep.
Kini, Iim memimpin langsung pengelolaan usaha 23 anggota kelompok pembudidaya dengan 225 petak KJA. Satu petak KJA modalnya sekitar Rp 15 juta. Jadi total investasi kelompok ini hampir Rp 3,4 milyar. Ini belum termasuk investasi 17 mesin alcon (penyedot air) kolam yang diperlukan untukmenggerakan air kolam ketika terancam upwelling.
investasi miliaran rupiah itu nilainya sangat besar jika dihubungkan dengan lokasi Margaluyu, sebuah desa terisolasi di daerah aliran Sungai Citarum, 60 kilometer barat Kota Bandung.
Lewat kepemimpinan Iim, semua KJA di kelompoknya memperoleh izin dari Dinas Perikanan Jawa Barat dengan surat penempatan lokasi. Berdasarkan catatan, di waduk ini terdapat 52.000 petak KJA, padahal Gubernur Jawa Barat hanya memberikan izin bagi 12.000 KJA.
Sayang, karena tidak ada sanksi bagi pelanggar, banyak KJA ilegal beroperasi di waduk tersebut. "Pokdakan Doa Ibu merupakan contoh pembudidaya ikan yang taat aturan," ujar Sugandi, penyuluh perikanan dari Dinas Perkanan Kabupaten bandung Barat.
Tergusur
Keluarga besar Iim lahir dan dibesarkan di Desa Margaluyu. Sebelum waduk ini beroperasi 1988 lalu, desa tertinggal ini sulit dijangkau karena terjepit di antara perkebunan dan hutan. Untuk mencapai kota Kecamatan Cipeundeuy harus ditempuh berjam-jam turun naik perbukitan yang jalannya jelek, berlubang dan banyak batu.
Saat Waduk Cirata beroperasi, seluruh lahan pertanian seluas 3 hektar milik keluarga Iim terendam air waduk. Lewat uang hasil ganti rugi, ia membeli lahan pertanian di ujung desa yang tidak terendam, tapi hasilnya tidak cukup untuk makan keluarga. Kemiskinan nyaris melanda keluarga ini.
tahun 1995, sisa uang penggusuran waduk ia belikan dua petak KJA. Mulailah keluarga Iim menapaki kehidupan baru, bertransformasi menjadi petani ikan. Jalan usahanya tidak mulus karena perikanan sangat terkait iklim yang sulit dibaca dan harga produksi yang sulit diprediksi.
Bila dapat untung, sedikit demi sedikit uangnya ditabung dan dibelikan lahan kebun atau sawah untuk padi. "Sebetulnya budidaya ikan menguntungkan jika dikelola secara jujur dan benar," ujarnya.
Sembilan tahun kemudian, Iim dan istrinya, Hj Nani (55) menunaikan ibadah haji. Waktu itu ongkos naik haji sekitar Rp 60 juta untuk dua orang. Biaya ibadah haji dari tabungan hasil budidaya ikan nila. Karena itu, di kalangan petugas Dinas Perikanan, Iim dikenal sebagai haji Lauk Nila. Lauk, dalam bahasa Sunda, berarti ikan.
Kini lahan yang tergusur oleh waduk sudah "dikembalikan" lewat usaha budidaya ikan selama 16 tahun.
Malah KJA-nya sudah bertambah menjadi 22 petak. Kalau lagi mulus, dari satu petak yang ditanami ikan mas senilai Rp 7,5 juta, termasuk pakan, selama tiga bulan bisa menghasilkan Rp 12 juta-Rp 13 juta. kalau ikan nila, dengan modal Rp 4 jutaan, satu petak menghasilkan Rp 12 juta-Rp 13 juta per lima bulan.
Di Waduk Cirata seluas 6.200 hektar, hambatan budidaya ikan yang belum bisa diatasi adalah penyakit koi herves virus (KHV) dan upwelling. Kedua gangguan ini bisa menyebabkan kematian massal, terutama ikan mas.
Iim berinovasi menyegarkan air kolam, disedot lewat mesin alcon lalu dialirkan kembali ke kolam. Dengan air mengalir diharapkan kebutuhan oksigen bagi ikan terpenuhi dan ikan bertahan hidup. Pernah sehari semalam Iim menghabiskan 400 liter solar untuk mengalirkan air ke 22 petak kolam.
Pengalaman itu lalu ditularkan kepada para anggota kelompoknya. "Sekarang, ketika gangguan itu datang, di kolam masih tersisa 20-40 persen ikan," kata Asep.
Dikutip dari KOMPAS, JUAT, 29 APRIL 2011