Kamis, 14 April 2011

Wanua Tangke, Refleksi dari Timur


ANDI WANUA TANGKE

Lahir : Soppeng, Sulawesi Selatan, 4 April 1964
Istri : Andi Farisna (41)
Anak :
- Andi Riswan Muhammad (14)
- Andi Pramudya Muhammad (11)
Pendidikan :
- SD Pising, Soppeng, 1976
- SMP Negeri Ta'juncu, Soppeng, 1979
- SMA Negeri 5 Makassar, 1983
- Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, 1992
Pekerjaan :
- Direktur Penelitian Pustaka Refleksi dan Arus Timur, 2001-kini
- Mantan Wartawan "Bina Baru"
- Mantan Redaktur Pelaksana "Berita Kota Makassar"
- Mantan Wartawan "Media Bisnis"

Sulawesi Selatan yang dihuni suku Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar menyimpan setumpuk mitos, legenda, serta sejarah lokal yang luput terakomodasi buku pelajaran sekolah. Lewat penerbit buku Pustaka Refleksi, Andi Wanua Tangke mencoba "melawan" sentralisasi konten buku pelajaran yang selama ini didominasi penerbit dari kota besar di Pulau Jawa.

OLEH MARIA S SINURAT DAN NASRULLAH NARA

Kelahiran Pustaka Refleksi paada 3 April 2001 bermula dari keresahan Wanua akan minimnya bahan kepustakaan tentang kisah-kisah Sulawesi Selatan (Sulsel).
Buku-buku yang terbit umumnya dikemas terlalu ilmiah sehingga tak menarik minat anak muda. Dia berupaya mewujudkan terbitnya buku yang bertalian secara emosional dengan pembacanya melalui bahasa yang ringan.
Mimpi itu dimulai dari rumah sederhana di gang sempit di Kota Makassar, Sulsel. Inilah "markas intelektual" Wanua dan rekannya, Anwar Nasyarudin (49), untuk menekuni naskah yang siap diterbitkan. Dalam rentang waktu 10 tahun, penerbit itu telah menelurkan 369 judul buku.
Terlepas dari lemahnya pengeditan dan kerancuan struktur bahasa Indonesia di sana sini, kehadiran buku-buku itu patut dimaknai sebagai upaya melestarikan cerita yang melegenda di masyarakat Sulsel.
Pustaka Refleksi mencoba memanggungkan roh kearifan lokal Sulsel. Buku yang diterbitkan umumnya memuat nilai, mitos, dan tradisi yang melekat pada akar budaya empat suku di Sulsel. Sebutlah kisah tentang silariang (kawin lari) sebagai hal yang tabu atau kasipalli (tradisi kepercayaan nenek moyang) dan romantika sawerigading serta We Tenriabeng (tokoh dalam epos I La Galigo).
Cerita rakyat hingga kekhasan suku dan komunitas di Sulsel dikisahkan dengan sederhana, seperti buku Kearifan Manusia Kajang, Manusia Bissu, dan Ammatoa Komunitas Berbaju Hitam. Begitu banyak kisah kearifan yang terserak di Sulsel dan luput dari perhatian penerbit.
"Kalau tidak dibukukan, bisa-bisa kisah itu menguap dan tak ada lagi orang yang mengingatnya," tutur Wanua.
Kisah para pejuang lokal pun mendapatkan panggungnya. Siapa yang mengenal Ranggong Daeng Romo? Bersama Usman Nukman, Wanua mengisahkan hikayat pahlawan nasional dari Takalar ini. Sosok yang ikut mengangkat senjata demi merebut dan mempertahankan kemerdekaan negeri ini. Liku-liku menghadapi serdadu Jepang dan Belanda diulas ringan di buku ini.
Salah satu terbitan yang melejitkan nama Pustaka Refleksi adalah kisah tentang Kahar Muzakkar. Pejuang kelahiran Luwu, Sulsel, ini lebih dikenal sebagai pemberontak melalu gerakan Darul Islam/Tenatara Islam Indonesia (DI/TII).
Padahal, di beberapa daerah seperti Palopo, sosok Kahar dikultuskan sebagai simbol perlawanan terhadap pemerintahan Soekarno yang mengabaikan peran penting tentara luar Jawa dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI.
Misteri kematian Kahar, yang tak secara gamblang diceritakan, terus menyisakan teka-teki. Celah ini digunakan untuk menerbitkan kisah-kisah tentang Kahar, termasuk Misteri Kahar Muzakkar Masih Hidup, yang sudah dua kali dicetak.
Agar tak mengabaikan pendekatan ilmiah, Wanua berupaya menggali naskah dari kampus. Hasil penelitian dosen sejarah Universitas Negeri Makassar, Abdul Rahman Hamid, diterbitkan menjadi buku yang memberi perspektif luas. Buku itu mengungkap hubungan antara gerakan separatis Kartosuwirjo dan gerakan DI/TII Kahar Muzakkar tahun 1953 yang meluas dari Sulsel ke Sulawesi Tenggara, hingga Halmahera.
Hasil riset Sutiono Sinansari Ecip tentang sepak terjang pahlawan nasional Wolter Monginsidi yang digali dari museum di Belanda juga diterbitkan.
"Intrik" militer Jenderl M Jusuf (mantan Menteri Pertahanan dan Keamanan/ PAnglima ABRI) dengan Andi Selle pun diangkat dalam kisah ringan. Buku-buku itu terbit dengan ketebalan rata-rata 100 halaman.

Menjahit sejarah

Wanua berupaya menghadirkan penerbitan minimal dengan mimpi maksimal. Dia hanya dibantu Anwar untuk bertahan mengurusi penerbitan setelah tiga penggagas lainnya mundur karena kesibukan dan minat lain.
Mereka berdua menjemput sendiri naskah dari rumah ke rumah penulis, mengedit, bahkan, kadang menuliskannya kembali. Mimpi Wanua tak surut, yakni menjahit sejarah Sulsel melalui buku yang terjangkau masyarakat.
Kiprah Wanua setidaknya menggairahkan aktivitas kepenulisan di Sulsel dan daerah lain di kawasan timur Indonesia. Naskah baru yang diajukan para penulis muda mengalir deras. Masih ada 80 naskah yang menunggu diterbitkan.
Penulis-penulis dari Palu (Sulteng), Kendari (Sultra), Gorontalo, hingga Papua menguji diri memasukkan naskah mereka. Antusiasme para penulis muda ini menggugah Wanua untuk membentuk penerbitan baru yang mewadahi tema lebih umum.
Pada 1 Januari 2011 didirikanlah Arus Timur yang bernaung dalam satu manajemen dengan Pustaka Refleksi. Arus Timur adalah upaya lain menggiatkan dunia penerbitan di Indonesia Timur.
Dia sempat "cemburu" melihat betapa penerbitan bisa tumbuh subur di Yogyakarta meski berawal dengan modal terbatas. Sebaliknya di Makassar, penerbitan buku masih barang langka, apalagi yang mengangkat sejarah lokal.
Itu juga yang mendorong dia belajar ke Yogyakarta tahun 2000. Kala itu dia baru mengundurkan diri dari Redaktur Palaksana Harian Berita Kota Makassar, yang menangani berita kriminal. Sepuluh tahun di dunia jurnalistik memberi dia pengalaman dan wawasan tentang dunia penerbitan di Yogyakarta, dia belajar bahwa modal utama penerbitan adalah visi yang kuat.
Modal awal dia dapat setelah ditunjuk menerbitkan buku Takalar, Kini dan Esok: Paradigma Baru Bupati Zaenal. Buku ini dua kali dicetak pada 2001 dengan jumlah 4.000 eksemplar.
Uang pembayaran buku sebesar Rp 20 juta dia gunakan untuk menerbitkan tiga buku baru. Hingga kini modal penerbitan masih berasal dari dana patungan.
dengan harga buku Rp 25.000-Rp 30.000 per eksemplar. Penerbit berkewajiban memberikan royalti 10 persen dari harga jual itu kepada penulis, setelah dipotong rabat.

Tradisi intelektual

Wanua percaya, buku adalah penggerak peradaban. Pustaka Refleksi didirikan dengan harapan bisa menggenapi hal itu. Di tengah kuatnya stigma Makassar sebagai kota "keonaran", ia yakin penerbitan buku bisa menjadi media untuk menyampaikan aspirasi secara bermartabat dan elegan.
"Kalau memiliki argumen yang jelas, tumpahkanlah lewat buku. Jika ada yang tak setuju, silahkan bantah dengan karya buku. Itulah ruang dialog yang elegan," katanya.
Begitulah Wanua membangun tradisi intelektual. Ia memilih kata "Refleksi" untuk nama penerbitnya dengan tujuan agar sesuatu yang disampaikan bergema atau terpantulkan. Buku yang diterbitkan adalah gema dari sebuah zaman dan masyarakatnya. Ia berupaya menunjukkan bahwa kawasan timur Indonesia tak selamanya berbalut pesimisme dan keterbelakangan.
Wanua menggemakan Indonesia timur dengan "berwarna", santun, dan bermartabat. Produk yang dia hasilkan menambah khazanah kepustakaan tentang Indonesia timur.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 15 APRIL 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar