BIODATA
Nama : Budi Dharmawan atau Kwik Kian Djin
Lahir : Juwana, Pati, 26 November 1936
Istri : Indrasari Tjokrodjojo (71)
Anak :
- Angki Lestari Dharmawan (45)
- Lisa Ambarwati Dharmawan (43)
- Arya Budi Dharmawan (41)
Pendidikan :
- Sarjana Teknik Mesin ITB, 1961
- Sarjana Muda administrasi Niaga Unpad, 1961
Pekerjaan : Direktur Utama PT Cengkeh Zanzibar
Organisasi :
- Ketua Umum Yayasan Obor Tani
- Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kadin Jawa Tengah
- Ketua Pengurus Yayasan Pembina Pendidikan 17 Agustus 1945, semarang
-Ketua Dewan Pertimbangan Yayasan Pendidikan Karangturi Semarang
- Ketua Umum Yayasan Dana Olahraga Jawa Tengah
Sebagian orang menganggap Budi Dharmawan sebagai sosok nyeleneh. Pada usia hampir 73 tahun ia justru sibuk masuk-keluar desa. Ia mengumpulkan donasi dari kolega dan membangun embung atau waduk kecil buatan di desa terpencil. Baginya, tindakan nyeleneh itu hanya pemantik awal menggugah kembali rasa senasib sepenanggungan yang memudar.
Oleh ANTHONY LEE
Budi Dharmawan tak sekadar berwacana. Bersama rekan-rekannya yang tergabung dalam Yayasan obor tani, dia sudah menunjukkannya dengan membangun embung buatan di Desa Genting, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Beberapa tokoh yang berkunjung, seperti mantan Gubernur Jakarta Sutiyoso, Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo, dan Wakil Gubernur Jawa Tengah Rustriningsih, menyuarakan kekagumannya.
Embung di puncak bukti itu memiliki volume 8.000 meter kubik. Adapun di lahan sekitar 20.000 hektar yang mengelilingi embung tersebut tertanam sekitar 4.000 batang pohon kelengkeng itoh. Ada sekitar 120 keluarga pemilik yang mengurus lahan itu. Saat musim kemarau seperti saat ini tanaman itu dengan mudah mendapat air hasil "menabung" selama musim hujan.
Padahal, sebelum dibangun embung pada Juli 2008, bukit tersebut tandus. Warga hanya memanfaatkan lahan untuk menanam singkong atau pisang. Hasilnya tak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Sebagian besar pemuda desa kemudian menjadi buruh penebang pohon atau merantau sebagai kuli bangunan dan buruh pabrik.
Kini sebagian dari mereka kembali ke desa untuk mengolah lahan. Setiap pekerjaan yang mereka lakukan mendapat upah, yang jumlahnya bervariasi, dari Rp 10.000 hingga Rp 15.000 per hari.
Selama tiga tahun warga mendapat pendampingan dari Yayasan Obor Tani. Mereka baru "dilepas" setelah memiliki jaringan pasar dan para petani bisa mendapat penghasilan bersih lebih dari Rp 1 juta per bulan.
Untuk mewujudkan hal itu, adik ekonom Kwik Kian Gie yang juga sering dipanggil Kwik Kian Djin ini mengumpulkan dana sekitar Rp 1 milyar dari sejumlah pengusaha kenalannya. Dana itu digunakan untuk membuat waduk dan program pengembangan sentra kelengkeng di Genting. Sampai kelengkeng bisa berbuah pada tahun ketiga diperlukan dana Rp 1,5 milyar.
"Kalau nombok, itu memang harus ada supaya kegiatan bisa berjalan," tutur Budi dalam perbncangan di Hortimart, perkebunan buah miliknya di Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang, pekan lalu.
Budi mengaku sengaja memilih buah sebagai komoditas yang didorong karena merasa produk ini paling memungkinkan para petani memiliki penghasilan mencukupi. Apabila memilih pertanian pangan, petani hanya bisa sekadar hidup karena berhadapan dengan pemerintahyang berupaya menekan harga pangan.
Sementara itu, bila memilih komoditas pertanian industri, menurut dia, petani akan tetap hidup seadanya, sedangkan perusahaan terus bertambah kaya.
Pertanian tegalan
Awalnya Budi menggagas pembentukan Yayasan Obor Tani pada tahun 2006. Menelurkan program pemberdayaan ini tak lepas dari keprihatinannya menyaksikan kondisi petani tegalan di pedesaan.
Selama ini pemerintah memberi porsi besar untuk pertanian sawah. Begitu banyak waduk raksasa dibuat. Namun, sebaliknya dengan pertanian tegalan. Para petani tegalan tidak terlatih untuk menghasilkan produk, baik secara kuantitas maupun kualitas.
"Hal lain yang membuat miris adalah banyak sekali buah-buahan impor di Indonesia. bahkan buah impor itu sudah merambah hingga kota-kota kecamatan. Apakah kita tidak bisa menghasilkan buah berkualitas? Bisa! Iklim mendukung, curah hujan mencukupi, tanah kita juga subur," tuturnya.
Dia memimpikan, dengan pola pengembangan satu sentra buah di satu desa, buah-buah lokal yang berkualitas bisa kembali berjaya. Tentu hal ini juga memberi pekerjaan bagi penduduk desa dan meningkatkan daya beli mereka.
Oleh karena itu, Budi berupaya menggapai impiannya itu dengan mengajak perusahaan yang berhasil untuk membantu orang-orang desa.
"Bangsa Indonesia itu dibangun atas dasar rasa kekeluargaan dan senasib sepenanggungan. Bukan atas dasar suku, agama, atau golongan. Ada banyak pengusaha kaya, tetapi banyak juga masyarakat desa yang miskin. Tak ada salahnya mereka yang kaya membantu yang miskin. Kalau daya beli masyarakat desa naik, tentu perusahaan dapat manfaat juga," tutur Budi.
Pola pikir Budi tersebut kerap dipertanyakan kakaknya, Kwik Kian Gie. Meski memiliki tujuan akhir yang sama, mereka memilih jalan yang berbeda. Kwik Kian Gie mencoba memperbaiki kondisi bangsa dengan masuk ke pusat kekuasaan, tetapi, kata Budi, kakaknya seperti memegang sakelar dan ingin menghidupkan rangkaian lampu yang ternyata rusak. Sulit dilakukan.
Dia sendiri mengibaratkan tindakan itu seperti memperbaiki dan menghidupkan satu rangkaian lampu. Dengan harapan, setelah lampu ini menyala akan banyak yang turut melakukan hal serupa.
Budi mengaku tidak punya keinginan terselubung. Dia merasa sudah menjadi pengusaha sukses. Selama menjalankan program ini dia juga mengaku tidak pernah merasa kecewa. Apa sebabnya?
"Ini karena saya menganggap semua itu dilakukan untuk diri saya sendiri, bukan orang lain. Ini untuk memenuhi impian saya sehingga saya tidak akan menyesal," tutur laki-laki yang sempat mengabdi sebagai perwira Angkatan Laut itu.
Hal itu pula yang membuat dia tidak ambil pusing dengan berbagai kendala yang dihadapi. Termasuk saat program di desa Genting tersebut nyaris terhambat karena ada pejabat di Kabupaten Semarang yang berjanji memberi bantuan pipa paralon untuk jaringan penyiraman tanaman. Berbulan-bulan janji tinggal janji. Budi yang mengetahui bahwa stafnya menunggu perwujudan janji tersebut langsung meminta pipa paralon segera dibeli, tanpa menunggu janji yang belum jelas itu.
Dia berharap, apa yang dilakukannya, meski kecil, bisa disambut banyak pihak. Hingga akhirnya percikan impian itu bisa betul-betul terwujud dan masyarakat desa mandiri. Bukankah kemakmuran desa juga berarti kemakmuran bagi kota dan akhirnya kemakmuran bagi bangsa?
Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 30 JULI 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar