ADI TRI WAHYU
Lahir : Magelang, Jawa Tengah, 16 Mei 1981
Istri : Martina Sri Wahyu Aryani (29)
Anak :
- Bintang Wahyu Narendra (4)
- Bima Wahyu Clearesta (2)
Pendidikan : Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta
Selama tiga bulan terakhir usaha jasa cuci kendaraan bermotor dan penjualan pulsa telepon seluler milik Adi Tri Wahyu di Dusun Kemiren, Desa Jumoyo, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, tutup. Tempat itu berubah menjadi lokasi kegiatan nonprofit karena dialihfungsikan sebagai bagian dari posko siaga banjir dingin "Tetap Semangat" yang dia pimpin.
OLEH REGINA RUKMORINI
Tempat mencuci kendaraan itu pun menjadi dapur umum. Ruang lainnya diisi perangkat komputer yang berfungsi sebagai sarana penyebaran informasi dan pencarian bantuan korban lahar dingin lewat dunia maya.
Intensitas hujan yang tinggi dan bahaya banjir yang mengancam setiap saat membuat Adi, yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) Dinas Pekerjaan Umum, Energi, dan Sumber Daya Mineral Kabupaten Magelang, merelakan hilangnya pendapatan dari usahanya.
"Bagaimanapun keberadaan posko masih dibutuhkan. Soal rezeki, biarlah Tuhan yang mengatur," ujar Adi yang kemudian terbiasa dengan keramaian aktivitas posko meski ini adalah pengalaman pertamanya terlibat dalam bencana alam sebagai relawan.
Keterlibatan adi berawal dari erupsi Gunung Merapi tahun 2010. Pasca erupsi pertama pad Oktober 2010, dia bersama teman-teman di komunitas pencinta Vespa dari Yogyakarta memberikan sumbangan dan menggalang serta menyalurkan bantuan dari berbagai pihak untuk korban terdampak erupsi di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Erupsi Gunung Merapi yang kian membahayakan membuat 700 warga Dusun Kemiren, termasuk Adi yang tinggal sekitar 17 kilometer (km) dari puncak Merapi, direkomendasikan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogakarta untuk segera mengungsi. Ketika itu, zona berbahaya ditetapkan BPPTK sekitar 20 km dari puncak Merapi.
Di tengah situasi mencekam saat erupsi besar pada 4 November 2010, Adi dan sejumlah warga mengumpulkan warga Dusun Kemiren untuk mengungsi ke Balai Desa Tersangede.
Setelah warga mulai berangkat ke Balai Desa Tersangede, Adi terus menyisir rumah-rumah serta memeriksa dan mengajak warga yang masih tertinggal untuk mengungsi. Penyisiran dia lakukan hingga 5 November 2010 sekitar pukul 03.30 WIB.
Situasi sedih dan mencemaskan karena dusunnya terkena dampak erupsi tak menyurutkan semangat Adi untuk terlibat sebagai relawan dan membantu korban lainnya. Setelah beberapa kali terjadi erupsi besar, Dusun Kemiren dikosongkan.
Namun, Adi dan sekitar 20 warga dusun lainnya malah mendirikan posko di rumah Adi. Sesuai dengan kondisi yang mereka alami, posko itu diberi nama Posko Relawan Juga Pengungsi Bencana Merapi "Tetap Semangat".
"Selain menampung dan menyalurkan bantuan, kami juga bertugas menjaga rumah-rumah di dusun yang ditinggalkan penghuninya," ujar Adi. Posko "Tetap Semangat" saat itu menjadi posko yang berlokasi paling dekat dengan Gunung Merapi.
Bantuan
Pada hari pertama mendirikan posko, Adi yang ssebelumnya sibuk menyalurkan bantuan untuk berbagai lokasi pengungsian, tidak lagi berpikir panjang ketika ada sebuah kelompok meminta informasi masyarakat daerah mana yang mendesak untuk diberi sumbangan.
"Saya langsung mengatakan agar sumbangan itu disalurkan ke Dusun Kemiren saja. Lha wong ternyata saya dan teman-teman yang biasa menyalurkan bantuan ternyata juga ketiban nasib jadi pengungsi," ujarnya. Bantuan pertama yang dia terima dari kelompok masyarakat di Temanggung itu kemudian disalurkan ke Balai Desa Tersangede.
Karena saat itu Balai Desa Tersangede belum terdaftar "resmi" sebagai lokasi pengungsian dan belum tersentuh bantuan pemerintah Kabupaten (Pemkab) Magelang, Adi dan rekan-rekan di posko bekerja keras mencari sumbangan dari berbagai pihak. Kendati demikian, setiap kali mendapat bantuan, Adi dan rekan-rekannya selalu membagikan bantuan tersebut untuk para korban bencana, tidak hanya disalurkan kepada warga Dusun Kemiren. Dengan belajar berempati dan berbagi untuk orang lain, Adi yakin mereka justru tidak akan pernah kekurangan bantuan.
"Keyakinan saya ternyata betul. Setiap kali kami memberikan bantuan untuk warga lain, beberapa hari kemudian kami mendapat bantuan dua kali lipat lebih banyak dari bantuan yang telah disumbangkan," tutur Adi.
Dengan melimpahnya bantuan dan kesiapan mereka untuk selalu membantu, setiap hari posko "Tetap Semangat" didatangi tak kurang dari 10 orang. Para tamu itu berasal dari berbagai lokasi pengungsian yang berbeda-beda, dan semuanya meminta bantuan. Selain itu, posko juga berusaha memenuhi permohonan permintaan bantuan yang datang melalui pesan singkat (SMS) ke nomor telepon seluler Adi.
"Saya juga heran, entah dari mana mereka mengetahui nomor telepon saya," ujar Adi, yang berusaha memenuhi semua permintaan bantuan meski kadang tidak terwujud karena stok yang terbatas.
Lahar dingin
Karena situasi berangsur aman, pada akhir Desember 2010 warga Dusun Kemiren diizinkan kembali ke rumah masing-masing. Ketika itu, Adi sudah berpikir untuk membubarkan Posko Tetap Semangat. Namun, dengan munculnya bahaya sekunder berupa banjir lahar dingin,posko tetap didirikan atas kesepakatan warga.
"Kami hanya berganti nama menjadi posko siaga banjir lahar dingin "Tetap Semangat," katanya.
Menyikapi bencana yang datang kemudian, Adi menggugah kepedulian warga untuk menyumbang bagi para korban lahar dingin, yang sebagian diantaranya pernah melayani dan menampung mereka semasa terjadi bencana erupsi.
Dengan empati terdalam karena pernah merasakan jadi pengungsi, warga Dusun Kemiren kemudian bergotong royong mengumpulkan sumbangan, membantu evakuasi warga dan barang-barang, serta memasak makanan bagi para korban banjir lahar dingin di berbagai lokasi pengungsian.
Aktivitas di posko ini bisa dikatakan terus berjalan selama 24 jam. Setiap hari, Adi relatif baru tidur sekitar pukul 01.00 atau 02.00 WIB kemudian bangun dan berangkat kerja pada pukul 06.00 WIB. Namun, sesuai dengan nama posko tersebut, Adi selalu menyemangati diri sendiri dan teman-temannya untuk tetap bersemangat.
"Barangkali kami memang capek dan stres karena menghabiskan banyak energi di posko. Akan tetapi, kami harus tetap menularkan semangat ini kepada mereka, para korban lahar dingin. Mereka jelas lebih stres dan sedih dibandingkan dengan kami," ujar Adi, yang tetap mengerjakan tugasnya sebagai PNS.
Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 7 APRIL 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar