Senin, 25 April 2011

Joni, Guru di Tapal Batas Borneo


BIODATA

Nama : Joni
Lahir : Sanggau, 3 Maret 1966
Istri : Jaleha (23)
Anak :
1. Agus (9)
2. Maya (6)
3. Yariana (1)
Pendidikan :
- SDN 9 Sanggau
- SMPN 2 Sanggau
- SPG Sanggau, 1986
Pekerjaan : Guru SDN 16 Gun Jemak, Desa Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong
Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat

Pernah menjadi buruh bangunan, penambang emas, tukang ojek, hingga pemborong, Joni tidak bisa mengingkari panggilan hati untuk menjadi guru. Suara hati itu pula yang membuat dia bertahan menjadi satu-satunya guru di dusun terujung di Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Sarawak, Malaysia.

Oleh C WAHYU HARYO PS dan AHMAD ARIF

Mimpi Joni sejak kecil adalah menjadi guru, setelah meenyelesaikan sekolah menengah pertama, dia pun masuk sekolah pendidikan guru (SPG) di kota kelahirannya, Sanggau, dan tamat tahun 1986. Namun, setelah ijazah di kantungi, surat-surat lamarannya menjadi guru tak kunjung berbalas.
Terdesak kebutuhan hidup, ia merantau ke Pontianak. Di ibukota Provinsi Kalbar itu dia menjadi kuli bangunan. "Pekerjaan mulai dari tukang aduk semen sampai menjadi pemborong pernah saya jalani," katanya.
Setelah tiga tahun di Pontianak, Joni pulang kampung dan menerima tawaran mengajar sebagai guru bantu di SD Sungai Daun meski dengan bayaran Rp 75.000 per bulan.
"SD Sungai Daun hanya "sekolah mini". Muridnya sedikit, kadang juga tidak ada anak-anak yang datang," katanya.
Mimpinya menjadi guru sudah terwujud, tetapi dia tidak bisa abai terhadap kenyataan hidup. Gaji sebesar itu jelas tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Dia terpaksa bekerja sambilan sebagai tukang ojek.
sesekali dia pergi ke hutan menjadi buruh di penambangan emas di daerah Tekalong, Melenggang, Balai Karangan. "Kerja di tambang emas sangat berat. Kita harus menggali tanah, banyak yang mati tertimbun tanah," kata Joni.
Di penambangan tersebut, ia tinggal di pondok kayu beratap terpal plastik. "Panas kepanasan, hujan kehujanan. Kerjanya berat, makan seadanya, tetapi hasilnya tak seberapa," ujarnya.

Ke perbatasan

Tahun 2003 menjadi tonggak perjalanan Joni sebagai guru ketika ia mendapat tawaran menjadi guru honorer di SDN 16 Gun Jemak, Desa Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau.
Di dusun yang berjarak sekitar 60 kilometer dari Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong tersebut, Joni menjadi guru bersama Katarina, Kepala SDN 16 Gun Jemak. Mereka mengajar anak-anak Dayak di pedalaman itu.
Belum ada jalan darat untuk menjangkau Gun Jemak, salah satu desa terujung di Kalbar yang berbatasan dengan negara bagian Sarawak. Satu-satunya transportasi adalah menyusuri Sungai Sekayam ke arah hulu dengan perahu motor.
Perjalanan menyusuri Sungai Sekayam itu bukan pula perkara mudah. Ketika air sungai pasang, waktu tempuh dari Entikong ke Dusun Gun Jemak sekitar 7 jam. Namun, jika air surut, waktu tempuhnya mencapai 12 jam, bahkan bisa lebih. Saat melewati beberapa titik sungai yang dangkal, penumpang harus turun ke sungai dan menarik perahu.
Belum lagi risiko besar menghadang saat mengarungi puluhan riam di Sungai Sekayam. Jika tidak lihai mencari celah melewati riam, bisa-bisa perahu pecah menghantam bebatuan.
"Saya sudah biasa sengsara, tidak masalah jika harus bertugas di pedalaman," kata Joni yang pada awal mengajar sebagai guru honorer dibayar Rp 400.000 per bulan.
Gaji sejumlah itu tentu tidak sebanding dengan biaya hidup di daerah terpencil. Apalagi saat itu istri dan seorang anaknya langsung diboyong untuk tinggal bersamanya.
Untuk mengambil gaji, ia harus turun ke Entikong menumpang perahu warga dengan ongkos pulang pergi Rp 100.000. Dengan sisa gaji Rp 300.000 itulah ia bertahan tinggal menumpang di rumah salah seorang warga.
Dua tahun menjadi guru honorer, Joni lulus tes calon pegawai negeri sipil (CPNS). Tes tersebut adalah yang kedua yang dia ikuti setelah tahun sebelumnya gagal. Tahun 2005 Joni resmi diangkat menjadi guru negeri.
Awal menjadi PNS, ia menempati golongan IIB dengan gaji kotor Rp 1,8 juta. Untuk menunjang transportasinya, setelah diangkat menjadi PNS ia meminjam uang di bank guna membeli sampan seharga Rp 800.000 dan mesin 10 PK bekas pakai seharga Rp 6 juta.
November 2008 banjir besar melanda sungai di Gun Jemak. Banyak sampan warga yang di tambat di sungai hanyut dan perahu pecah. "Mesin dan sampan saya juga hancur, padahal pinjaman di bank belum lunas," katanya.
Joni terpaksa mengutang lagi, kali ini pada Credit Union (CU) sejumlah Rp 15 juta. "Perahu sangat penting di sini. Tanpa itu saya tidak bisa kemana-mana. Saya terpaksa mengutang lagi," katanya.
Tunjangan untuk guru terpencil dari pemerintah daerah Rp 13 juta per tahun yang baru dia terima sejak tahun 2007 langsung ludes untuk menambal utang. Ditambah beban pinjaman terdahulu, ia masih harus mengangsur pinjaman Rp 1, 4 juta setiap bulan. Praktis ia bertahan dengan gaji Rp 400.000 sebulan.
Di sela kegiatan belajar dan mengajar, Joni juga menghabiskan waktu di ladang. "Saya bersyukur karena orangtua murid di sini mau mengerti kondisi saya. Mereka meminjamkan sedikit lahan untuk saya berladang. Tiap tahun panen sekitar enam karung padi, 40 kilogram per karung," katanya.

Satu-satunya

Tugas Joni makin berat ketika pada Februari 2008 Katarina pindah tugas mengajar ke kota Kecamatan Entikong. Joni menggantikan tugas Katarina sebagai kepala sekolah dan menjadi satu-satunya guru di Gun Jemak. Sendirian ia mengajar 98 siswa dari kelas I hingga kelas VI.
Untuk memudahkan pembelajaran, Joni mengelompokkan siswa kelas I dan II dalam satu ruangan. Begitu pula dengan siswa kelas III dan IV serta siswa kelas V dan VI. Dinding papan penyekat ruangan dilepas sehingga ia bisa berjalan leluasa ke ruang kelas lain.
Namun, kata Joni, tetap sulit mengharapkan kualitas pendidikan yang baik jika kondisinya masih seperti itu. "Siswa kelas I dan kelas II perlu mendapat perhatian khusus karena mereka masih kecil. Adapun siswa kelas VI juga tengah bersiap menghadapi ujian nasional," katanya.
Joni harus mati-matian membagi perhatian, tenaga, dan waktu untuk siswa-siswanya.
Kesibukan mengajar membuat Joni harus menangguhkan keinginannya untuk sekolah lagi. Setahun terakhir ia sebenarnya sudah mendaftar ikut kuliah jarak jauh di Entikong dnegan waktu belajar dua hari seminggu. Dia berangkat ke Entikong hari Jumat petang dan kembali ke Gun Jemak pada Senin siang.
"Saya sudah bayar Rp 1,5 juta per semester," katanya.
Namun, sebulan terakhir Joni tidak lagi masuk kuliah. "Di samping berat ongkos perjalanannya yang mencapai hampir Rp 1 juta, saya tidak tega meliburkan sekolah tiap Senin," katanya. Padahal, kuliah itu satu-satunya harapan Joni untuk bisa menaikkan golongan pangkatnya yang berarti menaikkan gajinya.
"Saya tidak berharap dipindah ke tempat lain. Namun, kalau boleh meminta, saya harap segera ada guru lain untuk membantu mengajar di sini," kata Joni.

Dikutip dari KOMPAS,JUMAT, 30 JANUARI 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar