Minggu, 24 April 2011

Agus Derajat : Perintis Kebangkitan Citarum


AGUS DERAJAT

Lahir : 21 Agustus 1967
Pendidikan : S1 Jurusan Matematika, Universitas Pendidikan Indonesia, 2008
Istri : Elit Siti Mariah (41)
Anak : Rihana, Bella, Sopia, Eva, Anggi

Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang menjadi hulu Sungai Citarum menarik minat banyak orang, termasuk Agus Derajat. Mereka menanami sayuran meski dikategorikan sebagai perambah. Kini dia justru berada paling depan untuk menjaga daerah tangkapan air bagi sungai yang menghidupi jutaan orang ini.

OLEH DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO

Barangkali Situ Cisanti bisa menjadi saksi kiprah Agus yang menjadi Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) TArumajaya. Situ Cisanti berasal dari kumpulan tujuh mata air yang dibendung menjadi danau dan dikelilingi pepohonan yang subur.
Kawasan ini menjadi bagian dari arboretum Wayang Windu. Wilayah ini termasuk dalam Petak 73 Perhutani yang menajdi kewenangan LMDH Tarumajaya.
"Kondisi tahun 2002 jauh berbeda, lereng gunung dipenuhi kebun sayur, pohon hilang karrena ditebangi dan mata air tidak memancar," kata Agus.
Sebagai Ketua LMDH Tarumajaya, Agus bersama Perhutani mengajak penggarap sayuran untuk turun dari wilayah hutan. Sebagai gantinya, dia menganjurkan agar komoditas dialihkan menjadi tanaman kopi..
Upayanya terbilang sukses. Petak 73 yang menaungi Situ Cisanti kembali rimbun, tujuh mata air kembali mengalirkan air yangjernih. Pepohonan eukaliptus berdiri jangkung, menyambut siapapun yang berkunjung ke Situ Cisanti.Sayang hal sama belum bisa dilakukan di petak yang lain. Agus menuturkan, Petak 73 mendapatkan perlakuan istimewa karena menjadi hulu Sungai Citarum sehingga program lintas sektor pun dikucurkan di kawasan ini. "Harusnya upaya serupa diulangi di petak lain," katanya.
Pekerjaan rumah yang belum diselesaikan adalah mencari komoditas yang bisa membuat petani berpaling dari sayuran. Agus menuturkan, lahan kopi seluas dua hektar hanya menghasilkan keuntungan Rp 2 juta setiap panen, sementara sayuran menghasilkan dua-tiga kali lipat dalam waktu empat bulan saja.
Komoditas lain, seperti rumput gajah dan murbei, juga tak bisa diharapkan karena permintaan pasarnya tidak jelas.

Tambahan penghasilan

Agus datang ke Kecamatan Kertasari tahun 1987 karena penempatannya sebagai guru. Ia lulus setahun sebelumnya dari sekolah pendidikan guru dengan spesialisasi Matematika. Ia mengajar di SDN Tarumajaya sebagai wali kelas VI.
Perkenalannya dengan budidaya sayur dimulai setahun setalah tingal di sini. Dengan penghasilan Rp 400.000 per bulan, dia ingin mencari tambahan. Agus tertarik menanam sayur secara berpindah-pindah di lahan Perhutani dengan garapan seluas 15 hektar.
Ketika itu wilayah tersebut masih dikategorikan sebagai hutan produksi dengan komoditas pinus dan kayu putih. "Kondisi hutan tahun 1988 masih bagus, Gunung Wayang dikenal karena keangkerannya," ujarnya.
Maraknya pemberian kredit usaha tani sekitar tahun 1998 membuat semua orang kian mudah memiliki modal menjadi petani . Hal itu menimbulkan dampak serius terhadap perkebunan sayur di Kertasari.
Orang yangd atang dengan uang banyak lalu menyewa tanah garapan. Alih fungsi wilayah hutan menjadi lahan sayuran berlangsung dengan laju yang agresif hingga tahun 2002.
Kenyataan itu mengejutkan Agus sehingga ia memilih berbalik dan melawan arus. Dia sadar ada dua kepentingan yang sedang beradu, yaitu memenuhi kebutuhan ekonomi serta kelestarian lingkungan yang dibutuhkan lebih banyak orang.
Dia mengajak tokoh-tokoh petani penggarap untuk berserikat dan mendirikan forum Petak 73 sebagai wadah bagi 334 kepala keluarga.
Melalui musyawarah, aspirasi warga dikumpulkan dan dicatat satu persatu, kemudian disampaikan kepada Pemerintah Profinsi Jawa Barat.
Aspirasinya saat itu mereka bersedia turun dari wilayah hutan asalkan ada pengganti komoditas untuk menghidupi keluarga. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah sapi perah yang diadakan melalui mekanisme kredit atau hibah.

Pembunuh petani

Keinginan pemerintah untuk menurunkan perambah ternyata tak dibarengi kekuatan anggaran. Dari 334 kepala keluarga yang tergabung dalam Forum Petak 73, ternyata hanya mendapatkan bantuan dantuan domba 580 ekor dengan skema setiap keluarga mendapat 11 ekor. Jadilah hanya 52 keluarga yang mendapatkan jatah bantuan.
Kondisi tersebut membuat posisi Agus terpojok. Tak ada solusi bagi 282 keluarga lain sambil menunggu domba yang dipelihara 52 keluarga hingga beranak dan bergulir. Demi menghindari keributan, dia membagi domba-domba tersebut kepada seluruh anggota meskipun tak disarankan karena tidak efektif.
"Yang penting mereka turun terlebih dahulu," katanya. Tindakan Agus yang mengajak petani untuk turun dari perambahan membuat dia mendapat julukan kurang mengenakkan, "pembunuh petani". Ini membuat dia sakit hati bahkan ada orangtua yang sengaja memindahkan anak mereka daris ekolah yang diajar Agus gara-gara tindakannya itu.
Namun, sebutan itu tak membuat dia ciut. Akhir tahun 2003 dia terpilih menjadi Ketua LMDH Tarumajaya yang menjadi cikal bakal LMDH Perhutani. LMDH Tarumajaya beranggotakan 786 orang dengan luas wilayah 700 hektar meliputi tujuh petak Perhutani.
Dia mengakui, sampai sekarang masih ada anggota yang tetap menanam sayur di wilayah Perhutani. Namun hal itu tak akan membuat dia menyerah.
"Kami tak bisa menggunakan pendekatan represif, harus sabar membina dan menyadarkan mereka," katanya.
Sebagai guru, Agus juga menyelipkan materi lingkungan. Setiap hari sabtu, dia mengajak para murid berjalan-jalan ke Cisanti dan melihat langsung manfaat cinta lingkungan. Dengan sendirinya, sebutan "pembunuh petani" pun perlahan meredup.

Masalah lahan

Selain LMDH, Agus juga dipercaya menjadi Ketua Forum Kertasari Bersatu yang menaungi kalangan lebih luas. Salah satu agenda mereka adalah mengadvokasi warga agar memiliki lahan garapan.
"Akar masalah di Kertasari adalah keterbatasan lahan yang bisa diolah sehingga membuat warga tak punya pilihan selain merambah hutan," katanya.
Kecamatan Kertasari memiliki luas 15.000 hektar, hanya 1.000 hektar diantaranya yang berstatus milik masyarakat. Sisanya terbagi dalam wilayah Perhutani atau PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII. Dengan lahan seluas 1.000 hektar, jelas masalah timbul karena jumlah penduduknya 66.000 jiwa.
Kini mereka memanfaatkan tanah milik PTPN VIII yang dianggap telah habis masa hak guna usahanya seluas 1.053 hektar. Dia mengkhawatirkan masalah lebih besar bakal timbul bila pemerintah menutup akses warga ke tanah perkebunan itu. Ia khawatir masyarakat bakal kembali naik ke hutan.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 25 APRIL 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar