Rabu, 20 April 2011

Pengabdian Suwardjoko dan "Suh" Budaya Jawa


BIODATA

Nama : Suwardjoko Warpani
Gelar keraton : KP Purboadinegoro
Lahir : Cilacap, 2 Juni 1937
Istri : Indrawati
Anak :
- Varenka Karissaputri Warpani
- Sandrine Ayu Rarasati Husodo
- Wintang Wengi Warpani
Pendidikan :
- Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada, 1957-1960
- Jurusan Teknik Planologi ITB, 1963-1972
- S-2 Town and Country Planning dari The University of Sidney, Australia
Organisasi kebudayaan antara lain :
- Himpunan Siswa Budaya Yogyakarta, 1957-1960
- Krida Beksa Utama Bandung, 1962-1988
- Pembina PSTK-ITB, 1984-2001
- Kusuma Budaya Jakarta
Pekerjaan antara lain :
- Staf Ahli Bidang Perencanaan BRR NAD-Nias, 2005-2006
- Sekretaris Direktur Jenderal Perhubungan Darat, 1994-1998
- Staf Ahli Kementerian Negara KLH/Kepala BKKBN, 2003-2006
- Pembantu Dekan Fakultas Teknik ITB, 1985-1989

Dengan sikap takzim ia menarik bilah keris itu dari warangkanya. Sebuah keris berdapur "jalak sumelang gandring", berpamor "ron bakung adeg" sederhana, tapi indah. Saat keris itu tegak dalam genggaman, matanya berbinar dan semburat emosi di raut wajahnya. Oleh ARDUS M SAWEGA "Ketika Sinuhun Paku Buwono XII menghadiahkan keris ini kepada saya pada tahun 1999, beliau berpesan, sekalipun bukan tergolong pusaka, namun termasuk keris yang bagus karena menggunakan bahan batu pamor yang diambil langsung dari Kiai Pamor di keraton," kata Suwardjoko Warpani.
Baginya, keris "paringan dalem" itu melengkapi eksistensinya sebagai orang Jawa. Dalam konsep budaya Jawa lama, keris atau "curiga" adalah simbol kesempurnaan sseorang pria, selain wanita, "wisma" (rumah), "turangga (kuda), dan "kukila" (burung).
Pada upacara wiyosan jumenengan (peringatan penobatan) PB XIII di Solo, Sabtu (18/7), ia menyengkelit keris "paringan dalem' nya.
"Saya sering diajak diskusi suwargi Sinuhun tentang berbagai hal," tuturnya mengungkapkan hubungan dekatnya dengan almarhum PB XII sejak ia masuk lingkungan keraton pada 1994.
Sebagai orang luar yang kini berstatus sentana dalem atau kerabat keraton bergelar Kanjeng Pangeran Purboadinegoro, semua itu merupakan kebanggaan tersendiri.
Rasa bangga, kepenuhan diri, cinta, dan dedikasi Suwardjoko berkaitan dengan Keraton Surakarta dan budaya Jawa mungkin sulit dipahami sebagian orang. Seperti keinginannya cawe-cawe (mengabdi) pada keraton.
"Saya berusaha hadir setiap wiyosan jumenengan, tetapi tak bisa rutin. Atau, mengikuti kirab Malem Suran. Itu semua demi ikut nguri-uri budaya Jawa," ungkapnya.
Penghayatan Suwardjoko terhadap nilai-nilai kulturalnya bisa dianggap sebagai paradoks, tetapi juga dapat dipahami sebagai "dimensi lain" pada setiap orang. Paradoks, mengingat dia relatif lama mengabdi di dunia akademik dan birokrasi. Ia pernah kuliah di Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam UGM, Yogyakarta, dan meraih insinyur dari Jurusan Teknik Planologi ITB.
Paradoks lain, apresiasinya pada tosan aji atau keris. Sekalipun memiliki koleksi sekitar 60 keris, menjabat sebagai Ketua Warang Taji Bandung, dan aktif mengusulkan keris sebagai warisan budaya dunia ke UNESCO, Suwardjoko tak mau mendalami sisi esoteriknya.
"Saya hanya menghargai segi estetikanya. Keris adalah karya budaya adiluhung. Kalau soal isi demit-nya, nanti dulu," katanya meski ia tak menolak keris pusaka memiliki kekuatan tertentu.

Tari dan karawitan

Kecintaannya pada kebudayaan Jawa terpupuk saat putra kedua Warpani Sastromihardjo, mantri polisi di Cilacap, ini belajar di Perguruan Taman Siswa, dengan porsi pengajaran mengutamakan seni budaya Jawa, seperti menari, menembang, dan menabuh gamelan. Minatnya lebih terasah waktu melanjutkan sekolah di SMP Bopkri Yogyakarta hingga perguruan tinggi.
Saat kuliah di UGM, ia aktif di Himpunan Siswa Budaya bersama SD Gendhon Humardani (almarhum), yang kemudian menjadi pelopor pembaruan kesenian Jawa di Jawa Tengah. Di ITB (1963), dia bergabung dalam Perkumpulan Seni Tari dan Karawitan (PSTK) Jawa bagi mahasiswa ITB, selain aktif di kelompok Krida Beksa Utama.
"Inti kebudayaan itu terletak pada kesenian. Kalau bentuk keseniannya seperti itu, begitu pula budayanya," ujar Suwardjoko yang suka membawakan tari gatotkaca, kelana topeng, dan menakjingga ini.
Bersama teman-teman di PSTK, pada 1975 dia membuat kreasi pertunjukkan yang menggabungkan tari Bali, Jawa, dan Sunda. Ia juga menggarap sendratari Cindelaras dan Damarwulan. Untuk merayakan kelulusannya dari ITB, tahun 1972, ia menyusun sendratari Lahire Bathara Gana.

Sesepuh

Di antara kesibukan kakek tiga cucu ini, baik saat di birokrasi maupun dunia akademis, dia tak pernah absendalam pelbagai kegiatan yang berkaitan dengan pembinaan seni budaya Jawa. Selain menjadi pembina PSTK-ITB, ia juga menjadi Ketua Yayasan Seni Budaya Jawa, Ketua Warang Taji, dan Yayasan Serulingmas.
Ia bergabung di kelompok wayang orang Kusuma Budaya Jakarta. Berbagai kegiatan pembinaan karawitan dan tari Jawa di Bandung tak lepas dari keterlibatannya.
"Saya sering diminta menjadi pembawa acara kalau ada hajatan masyarakat Jawa di Bandung. Namun, saya tak profesional, hanya membantu mereka yang membutuhkan," tuturnya.
Tak heran, lantaran peran dan pengabdiannya dalam berbagai hal yang menyangkut seni budaya Jawa -di wilayah luar "pusat Jawa"- itu, Suwardjoko mendapat sebutan "sesepuh Budaya Jawa" di Bandung.
Itu pula yang menjadi alasan Keraton Surakarta saat memberinya penghargaan gelar Kanjeng Raden Tumenggung pada 1994. "Keraton seharusnya bisa menjadi suh (pemersatu) sekaligus benteng kebudayaan Jawa.
Di sisi lain, ia menyayangkan kondisi Keraton Surakarta kini yang "terbelah" karena memiliki raja kembar. Ini memprihatinkan, katanya, mengingat bagi sebagian mereka yang merasa berkebudayaan Jawa, keraton dianggap sebagai "kiblat"
Belaknagan dia menyiapkan buku berjudul Tata Cara lan Uba Rampe Temanten Jawi sebagai wujud dedikasinya kepada budaya Jawa.
"Buku ini ditulis karena saya belum melihat ada buku penuntun tentang tata upacara adat perkawinan Jawa yang memuat secara lengkap, mmeliputi semua proses, tata laku, segala ubarampe (perabot), dan penjelasan makna filosofis dari masing-masingnya," katanya.
Dia sudah menerbitkan 10 buku yang berhubungan dengan planologi, seperti Pariwisata dalam Tata Ruang Wilayah, Sistem Angkutan Negara Kepulauan Nusantara, Permasalahan Transportasi dalam Dasawarsa Mendatang, dan Analisis Daerah dan Kota. Itulah karya hasil pemikiran yang sesuai dengan disiplin ilmunya.
Pada usia senja, olah tari dan olah rasa yang dia geluti sepanjang hidup emmberinya banyak manfaat. hingga kini Suwardjoko masih senang jogedan, menari sebagai hobi.
"Kalau ada undangan untuk menari ramai-ramai, misalnya ke Jakarta, masih saya sanggupi," tuturnya mengungkapkan semangat yang tak pupus untuk terus berkesenian.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 3 AGUSTUS 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar