TASMAN
Lahir : Kendari, Sulawesi Tenggara, 6 April 1954
Pendidikan : Sekolah Pertanian Menengah Atas, Ujung Pandang (kini Makassar, Sulawesi Selatan)
Istri : Nursam (55)
Anak : Empat orang
Pekerjaan :
- Pegawai negeri sipil Dinas Perkebunan Provinsi Sultra di Kabupaten Konawe Utara, 1975
- PNS Dinas Perkebunan Provinsi Sultra di Kendari, 1982
- Kepala Unit Pelaksana Proyek Dinas Perkebunan Konawe Selatan, 1996-2010
Penghargaan :
- Kelompok Tani Teladan III Kota Kendari, 2009
- Kelompok Tani Teladan I Kota Kendari, 2010
Tepat 10 tahun silam, sebuah kebakaran besar melanda sebagian hutan lindung di Taman Hutan Raya Pegunungan Nipa-nipa, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Kebakaran itu menghanguskan areal hutan seluas lebih kurang 40 hektar.
OLEH MOHAMAD FINAL DAENG
Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut. Secara tematis, areal yang hilang pun tidak cukup signifikan jika dibandingkan dengan luas total hutan Pegunungan Nipa-nipa yang mencapai sekitar 8.000 hektar itu.
Namun, di mata Tasman, warga yang bermukim di punggung Pegunungan Nipa-nipa, tepatnya di Alapae, Kelurahan Watu-watu, Kecamatan Kendari Barat, fakta itu tak membawa sedikit pun kelegaan. Bahkan, hatinya gundah karena meyakini bahwa kebakaran tersebut hanya mengawali sesuatu yang jauh lebih merusak, lama setelah kepulan asap menghilang.
Tak jauh dari areal yang terbakar tersebut, tersimpan harta yang berharga bagi warga di tiga rukun tetangga (RT) di Watu-watu, termasuk Alapae, kampung tempat Tasman tinggal. Harta itu berwujud mata air yang terletak di daerah aliran Sungai Lahundape. Sejak tahun 1994, mata air itu menjadi sumber air bersih satu-satunya bagi 80 keluarga di kawasan tersebut.
Maklum, permukiman tempat Tasman tinggal berada di punggung bukit yang terjal sehingga kecil sekali kemungkinannya untuk mendapatkan pasokan air tanah. Perusahaan daerah air minum setempat bahkan sudah lama menyerah untuk memasang jaringan air bersih di Watu-watu.
Mata air yang terletak 4,8 kilometer dari kampung di tengah hutan itulah yang menjadi solusi bagi kebutuhan air bersih warga Alapae dan sekitarnya. Pada 1994, dengan bantuan pengadaan pipa dari sebuah lembaga swadaya masyarakat dan pengelolaan swadaya masyarakat, air bersih dari mata air itu dialirkan ke permukiman.
Karena itulah, hilangnya vegetasi di sekitar mata air menjadi ancaman serius bagi kelestarian sumber air yang penting bagi warga setempat. Ini belum ;agi bahaya erosi dan tanah longsor yang siap mengintai warga kapan saja.
"Apalagi, sebelum kebakaran itu, hutan juga sudah banyak dibabat orang untuk diambil kayunya. Mereka menggunakan kayu untuk bangunan rumah sampai bahan bakar. Jadilah yang tersisa di hutan tinggal semak-semak," kata tasman.
Reboisasi
Berangkat dari kegelisahan itu dan modal profesinya ssebagai pegawai negeri sipil (PNS) Dinas Perkebunan Kabupaten Konawe Selatan, tahun 2002 Tasman memelopori penanaman kembali pohon di wilayah yang rusak tiu. Lelaki yang sejak 1995 diangkat sebagai Ketua Pengelola Air Bersih dari mata air tersebut mengajak warga lain menanam berbagai tanaman produktif. Mereka menanam berbagai jenis pohon, seperti durian, rambutan, kemiri, mahoni, cengkeh, jambu, pisang, dan nangka.
Tasman sengaja memilih pohon yang diharpkan bisa menambah penghasilan warga. Dengan demikian, selain menghijaukan kembali hutan yang gundul demi melindungi mata air, warga Alapae yang mayoritas dari kalangan ekonomi menengah bawah juga bisa memperoleh tambahan penghasilan.
"Setidaknya, saat pohon-pohon itu berbuah, warga bisa mendapatkan manfaatnya," kata Tasman.
Namun, karena Nipa-nipa masih menyandang status hutan lindung, upaya Tasman tidak berjalan mulus. Dia dan teman-temannya sempat mendapat hadangan aparat.
"Sering kali kami terpaksa 'kucing-kucingan' dengan petugas saat mengolah hutan," tutur lelaki lulusan Sekolah Pertanian Menengah Atas Makassar ini.
Tarik ulur berlangsung sekitar lima tahun. Dengan bantuan advokasi dan mediasi dari sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan serta pendekatan yang gencar disuarakan Tasman, akhirnya pemerintah daerah bersepakat untuk memberikan hak pengelolaan sebagian hutan kepada petani setempat.
Sejahtera
Sejak saat itu Tasman mendirikan kelompok tani yang diberi nama Kelompok Tani Pelestari Hutan (KTPH) Subur Makmur. Kelompok ini memiliki 29 anggota aktif dengan luas lahan yang dikelola mencapai 35,5 hektar. Di luar areal itu merupakan hutan lindung yangtak disentuh para petani.
Berkat usaha Tasman dan rekan-rekannya, sebagian wilayah hutan yang dulu gersang dan gundul, belakangan ini hijau dan lebat kembali dengan berbagai jenis pohon. Bahkan KTPH Subur Makmur berhasil menjadi kelompok yang memenangi penghargaan sebagai kelompok tani teladan Kota Kendari pada 2009 dan 2010. Kelompok tani ini juga tengah menggalakkan penanaman pohon kelapa untuk mencegah erosi.
Anggota KTPH Subur Makmur tidak hanya terdiri dari para petani. Mereka berasal dari berbagai profesi mulai tukang batu, tukang ojek, pegawai negeri, sampai pensiunan. Tasman mengatakan, sekarang anggota KTPH Subur Makmur bisa memperoleh penghasilan rata-rata Rp 5 juta per tahun dari panen berbagai hasil hutan yang mereka usahakan.
Selain mengolah dan menghijaukan hutan, keberadaan KTPH Subur Makmur juga membawa keuntungan lain bagi kelestarian hutan Nipa-nipa. Lewat upaya penghijauan tersebut, Pegunungan Nipa-nipa kembali menjadi benteng alam ekosistem Teluk Kendari yang berada di kakinya.
Para petani turut menjaga dan mengawasi hutan dari tangan-tangan mereka yang tak bertanggung jawab dan hendak merusak Pegunungan Nipa-nipa.
"Alhamdulillah, sejak kami mengelola hutan ini tidak ada lagi orang-orang yang melakukan penebangan liar," kata Tasman.
Di KTPH Subur Makmur, Tasman juga membentuk semacam koperasi untuk membiayai kebutuhan anggota dalam mengelola lahan, seperti pembelian bibit, pupuk, obat hama, dan berbagai peralatan lain yang mereka butuhkan.
Dengan adanya koperasi tersebut, petani bisa menyediakan sekitar 80 persen kebutuhan bibit mereka secara swadaya. Sisanya mereka peroleh dari bantuan pemerintah.
"Koperasi juga mampu meminjamkan uang jika ada anggota yang membutuhkan, misalnya untuk biaya pendidikan anak-anak anggota," ujar Tasman, kakek seorang cucu ini.
Kini, Tasman yang telah pensiun sebagai PNS sejak 2010 masih menyimpan impian untuk menjadikan lahan yang dikelola kelompoknya menjadi kawasan agrowisata.
Dikutip dari KOMPAS, RABU, 6 APRIL 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar