Kamis, 21 April 2011

Upar Suparwan, Pendidikan Dasar di Ciptagelar


DATA DIRI

Nama : Upar Suparwan
Lahir : Ciptagelar, Sukabumi, jawa barat, 29 Mei 1974
Pendidikan :
- SD Negeri Cicemet, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi
- SMP Negeri 3 Cikotok, Banten
Pekerjaan : Guru SDN Ciptagelar, 2000-kini
Istri :
- Aemsih (30) bercerai
- Wina (21)
Anak :
1. Intan Ayu Lestari (10)
2. Feri Sasmita (6)

Kasepuhan Ciptagelar, komunitas adat yang mendiami sebagian hutan gunung Halimun, adalah perwujudan kentalnya kesatuan antara alam dan manusia. Pada Minggu (9/8) lalu mereka merayakan upacara adat Seren Taun ke -641.

Oleh AGUSTINUS HANDOKO

Nilai-nilai tradisional masih ketat dipertahankan warga Kasepuhan Ciptagelar Kesatuan Adat Banten Kidul, yang masuk wilayah Sukabumi, Jawa Barat, itu. Menyendiri, jauh dari keramaian kota, merupakan pilihan yang diwariskan para leluhur mereka.
Di tengah upaya mempertahankan eksistensi sebagai komunitas adat yang menjunjung nilai tradisional, masyarakat adat dihadapkan pada realitas mengenai pentingnya pendidikan. bagi Upar Suparwan, masyarakat adat sendirilah yang harus peduli terhadap pendidikan anak-anak mereka.
"Kalau bukan masyarakat adat sendiri, siapa lagi yang akan peduli?" katanya.
Upar adalah satu-satunya wrga adat yang menjadi guru di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Ciptagelar yang berdiri sejak tahun 2000. Sekolah itu didirikan semasa kepemimpinan Kasepuhan Ciptagelar dipegang Abah Anom (almarhum). Ayah Upar, Umit Sumitra, yang kala itu menjadi guru di SDN Cipulus, adalah guru pertama di SDN Ciptagelar.
Namun, Umit hanya sebulan menjadi guru di SDN Ciptagelar, karena dia harus kembali mengajar di SDN Cipulus, sebelum pensiun beberapa tahun kemudian. Ada atau tanpa guru, pendidikan di Ciptagelar harus terus berjalan. Ketika itulah Upar mengawali masa pengabdian yang sebelumnya tak pernah dia bayangkan.
Upar hanya memegang ijazah sekolah menengah pertama ketika ditawari menjadi guru oleh seorang anggota staf Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sukabumi untuk menggantikan posisi Umit.
"Saya ragu-ragu dengan tawaran itu. Lulusan SMP seperti saya, apa sih yang bisa dilakukan, apalagi kalau harus mengajar," katanya.
Atas dorongan ayahnya, Upar akhirnya bersedia menjadi guru di SDN Ciptagelar yang saat itu baru memulai pendidikan untuk kelas I. Waktu satu bulan pertama dimanfaatkan Upar untuk belajar. Ia mengamati bagaimana sang ayah mengajar. Sambil mengadopsi gaya mengajar Umit, Upar juga membaca buku pedoman menjadi guru.
"Selama belajar untuk menjadi guru, saya dibimbing Bapak di dalam kelas. Jadi kalau saya kurang pas mengajarnya, langsung dibetukan," ceritanya.

Angkatan pertama

Waktu satu bulan terlalu pendek bagi Upar untuk berlatih menjadi guru. Namun, tekadnya terlalu kuat untuk dikalahkan. Berbekal pengalaman satubulan bersama ayahnya itu, Upar menjadi guru bagi anak-anak di Ciptagelar. Anak-anak didik Uparlah yang menjadi angkatan pertama di SDN Ciptagelar dan naik ke kelas II.
Pemerintah Kabupaten Sukabumi kemudian mengirimkan seorang guru untuk mengajar murid kelas II SDN Ciptagelar. Sambil mengajar murid kelas I, tahun 2002 Upar mengikuti kelompok Belajar Paket C di Jakarta atas bantuan seorang wisatawan yang berkunjung ke Ciptagelar. Setiap akhir pekan, ia harus ke Jakarta untuk mengikuti Kejar Paket C.
Namun, Kejar Paket C di Jakarta tidak bisa diselesaikan karena persoalan jarak, waktu, dan biaya. Dari Ciptagelar ke Jakarta dibutuhkan waktu sedikitnya enam jam. baru pada 2008, Upar menyelesaikan Kejar Paket C di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi .
Bagi Upar, pendidikan anak-anak adat amat penting. Walaupun terisolasi dari dunia luar, anak-anak adat harus tetap mendapatkan pendidikan untuk menjadi bekal bagi mereka pada kemudian hari.
"makin hari, anak-anak makin maju, tetapi tetap memegang adat. Tidak ada yang berubah. Itulah tantangan saya ketika mengajar. Sesekali, saya ajak anak-anak ke sungai atau ke kebun untuk praktik, sekaligus menanamkan nilai-nilai yang diwariskan para leluhur," kata Upar.
Kini, dengan 160 murid, SDN Ciptagelar memiliki lima guru, tetapi tetap dengan tiga ruangan kelas. Upar masih menjadi satu-satunya guru dari kalangan warga adat. Guru-guru yang lain berasal dari luar wilayah adat. Biasanya mereka menginap di Ciptagelar dan pulang ke tempat asal sepekan sekali.
Hal ini kemudian menimbulkan persoalan karena sering kali guru-guru dari luar itu tak datang mengajar. Ada yang melanjutkan kuliah, ada yang sibuk dengan urusan keluarga, tetapi ada pula yang tak datang tanpa alasan jelas.
Bahkan, sering pula ada guru yang datang ke SDN Ciptagelar pada hari Senin, tetapi Rabu sudah pulang lagi sehingga kelas yang menjadi tanggung jawabnya kosong hingga Sabtu. Tak jarang pula, para guru dari luar kalangan adat itu tidak datang secara bersamaan.
"Sering sekali saya harus mengajar enam kelas sekaligus selama seminggu. Kadang kala saya harus mengajar walaupun sedang sakit, habis tidak ada guru lainnya," kata Upar. Menjadi guru untuk enam kelas sekaligus bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi kalau kondisi tubuh Upar sedang ssakit.

Sukarelawan

Walaupun tanggung jawabnya amat besar. Upar masih tetap menjadi guru sukarelawan hingga kini. Gajinya Rp 400.000 per bulan, yang diterimakan setiap tiga bulan sekali.
"Saat menerima gaji sih tidak menjadi soal, tetapi dua bulan berikutnya yang menjadi masalah karena uang kami sudah habis," katanya.
Persoalan ekonom itu hingga kini tak bisa diselesaikan oleh Upar. Ladangnya tidak bisa diandalkan karena sebagian besar waktunya habis di sekolah.
Paling-paling hanya ada waktu satu jam di ladang. Itu pun kalau saya tidak kecapekan," ujar Upar.
Namun, ditengah keterbatasan yang dihadapinya, Upar maasih bisa tersenyum. Anak-anak Kasepuhan Ciptagelar menunjukkan kemajuan yang berarti.
Dalam Ujian Akhir Nasional 2009, seorang muridnya masuk 10 besar dalam peringkat nilai bidang studi Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam di Kecamatan Cisolok. Muridnya itu mampu bersaing dengan murid lain di sekolah-sekolah yang fasilitasnya jauh lebih bagus dibandingkan sekolah di Ciptagelar.
Upar masih memendam keinginan agar bisa melanjutkan kuliah di Universitas Terbuka. Harapannya, ilmu yang dia peroleh nanti bisa meningkatkan kualitas pendidikan anak-anak adat di Ciptagelar.

dikutip dari KOMPAS, RABU, 12 AGUSTUS 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar