Minggu, 29 Januari 2012

Dadang Muhajirin: Menjaga Mangrove di Belawan

DADANG MUHAJIRIN 
Lahir: Pematang Siantar, Sumatera Utara, 20 September 1956
Pendidikan:
- SDN Sampali, Medan, 1971
- SMP PAB Percut Sei Tuan, Deli Serdang, Sumut, 1974
- SPG lulus 1979
- Diploma I Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Riama, 
  Medan, Jurusan Biologi, 1984
Istri: Lira Vegira
Anak: Delapan orang dan cucu empat orang
Organisasi:
- Ketua AMPI Kelurahan Belawan Sicanang, 1980
- Sekretaris Komite Nasional  Pemuda Indonesia Kecamatan Medan Belawan, 
  1982
- Ketua Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR) Belawan Sicanang,
  1994
- Sekretaris Forum komunikasi Kepala Lingkungan Se-Kecamatan Medan 
  Belawan, 2008
- Kepala Lingkungan 19 Kelurahan Belawan Sicanang, 1991-kini
Pekerjaan:
- Guru SD, 1978-1986
- Kepala SD, 1984-1986
- Wakil Kepala SMP, 1983-1986
- PNS Golongan IIID, 1984-kini

Suhu di sekitar Pelabuhan Belawan, Medan, Sumatera Utara, pada musim kemarau saat tengah hari bisa mencapai 38 derajat celsius. Salah satu penyebab adalah minimnya pohon di pesisir pantai.

OLEH MUMAMMAD HILMI FAIQ

Pada 1970-an, ketika warga kawasan Belawan hendak mencari kesejukan, mereka pergi ke Kelurahan Belawan Sicanang, Kecamatan Medan Belawan, Kota Medan. Jaraknya hanya sekitar 2 kilometer dari pintu masuk Pelabuhan Perikanan Samudra Belawan.
     Kelurahan seluas lebih kurang 1.510 hektar ini dikelilingi Sungai Pantai Belawan, Sungai Polu Halia, Sungai Belawan, dan anak Sungai Pantai Belawan. Sungai dan anak sungai tersebut bermuara ke Selat Malaka yang berjarak sekitar 1 kilometer dari permukiman warga Belawan Sicanang.
     Hamparan sawah menghijau dan hutan mangrove di atas lahan seluas 600 hektar di sekeliling desa mampu menghalau udara panas. Suhu pada siang hari saat itu mencapai 25 derajat celsius. Berbagai tanaman produktif, seperti mangga, jambu biji, pisang, dan manggis, mudah ditemukan di kawasan ini.
     Namun, lambat laun kondisi berubah, terutama sejak 1980-an. Peningkatan jumlah warga yang tinggal di Belawan Sicanang mengakibatkan alih fungsi lahan dari persawahan menjadi permukiman. Luas hutan mangrove pun terus tergerus seiring meluasnya usaha tambak udang, ikan, dan kepiting milik warga.
     Luas tambak tersebut muai dari 0,5 hektar hingga 6 hektar per orang. Jumlah mereka tak kurang dari 60 petambak. Warga membangun tambak dengan membabat habis semua mangrove. Konsep ini mereka terapkan sesuai dengan anjuran produsen makanan dan obat-obatan kimia untuk udang, ikan, dan kepiting.
     Dadang Muhajirin merasakan betul betapa perubahan itu membawa banyak kerugian bagi warga. Udara menjadi panas dan air sungai keruh. Tanah warga pun tergerus air laut saat pasang. Gejala yang paling nyata, tergerusnya fondasi rumah warga di Lingkungan 19 dan Lingkungan 5 Kelurahan Belawan Sicanang.Ini juga tampak dari bentuk fisik anak Sungai Pantai Belawan.
     Sekitar 30 tahun lalu, lebar sungai hanya sekitar 15 meter dengan kedalaman air mencapai 5 meter, Kini, lebar sungai mencapai tiga kali lipatnya dengan kedalaman hanya 3 meter.
     "Air sungai yang datang dari laut saat pasang menggerus bibir sungai dan mengendap di dasar sungai. Ini karena mangrove habis ditebang warga," kata Dadang.

Tidak menebang

     Ayah Dadang, mendiang Saridul Halim, juga membuka tambak semasa hidupnya dan kini dilanjutkan oleh anak-anaknya. Namun, dia selalu berpesan agar anak-anaknya tidak menebang pohon mangrove dan sebisa mungkin menanamnya di tepi sungai dan di tengah tambak. Inilah yang dilakukan Dadang sejak kecil meski sebagian besar warga malah menggunduli hutan mangrove.
     Ayah delapan anak ini terus berjuang melestarikan hutan mangrove. Minimal dia mempertahankan mangrove yang tumbuh di tambaknya.
     Hingga tahun 2007, dia berkenalan dengan para aktivis Yayasan Gajah Sumatera (Yagasu). Yayasan bidang lingkungan itu mengampanyekan pentingnya hutan mangrove sebagai sabuk pengaman lingkungan pesisir. Dari singgungannya dengan para aktivis lingkungan itu, Dadang memperoleh pemahaman baru, mangrove juga bagus untuk peningkatan produksi tambak.
     Pada saat yang sama, bisnis tambak lesu. Banyak warga yang menjual tambaknya kepada orang lain. Dadang memanfaatkan  momentum ini untuk mengkampanyekan penyelamatan lingkungan dengan menanam mangrove. Puluhan petambak pun mengikuti langkah Dadang.
     Mereka merasakan manfaatnya. Udang, kepiting, dan ikan di tambak tak perlu diberi pakan. Berbagai makanan, seperti kupang dan ikan-ikan kecil, muncul secara alami di akar-akar mangrove. Ikan mujair pun tumbuh dan berkembang biak lebih bagus lantaran telur-telur mereka terlindungi akar mangrove.
     "Kami bisa menghemat biaya  makanan dan pemeliharaan tambak sampai Rp 1 juta per bulan per hektar," kata Dadang.
     Dibantu aktivis Yagasu, pria yang pernah menjadi kepala  sekolah dasar ini berkampanye kepada ibu-ibu rumah tangga tentang pentingnya menjaga hutan mangrove. Sebagai Kepala Lingkungan 19, Dadang selalu "mengoceh" dan mengajak warga menanam mangrove. Sedikitnya 2.500 keluarga yang tersebar di enam lingkungan (rukun warga) kini aktif menanam dan menjaga mangrove.

Sumbangan bibit

     Sejak 2007 hingga kini, setidaknya 400.000 pohon mangrove ditanam warga di Kelurahan Belawan Sicanang. Sebagian besar bibit itu sumbangan Yagasu, sebagian lain hasil budidaya warga. Belakangan, berbagai organisasi politik dan pemerintah ikut membantu menyumbang bibit mangrove di kelurahan ini.
     Pegawai negeri sipil (PNS) di Rumah Sakit Kusta Belawan Sicanang inipun optimis, hutan mangrove yang pernah menjadi andalan warga pada 1970-an itu bisa pulih. Dia bertekad konsisten menjaga hutan mangrove.
     Memang masih ada sebagian orang yang menilai hutan mangrove tidak perlu dijaga. Dadang mencatat, dalam sehari, sekitar 20 meter kubik kayu dari hutan mangrove dijarah warga. Kayu-kayu ini untuk bahan bakar, arang, dan gubuk.
     Dia tengah berupaya meminta bantuan Pangkalan Utama Angkatan Laut (Lantamal) I Belawan untuk membantu menjaga hutan mangrove. Kebetulan markas Lantamal I Belawan sekitar 3 kilometer dari Desa Belawan Sicanang. Alasannya, para perambah hutan mangrove tidak akan berhenti merusak hutan jika hanya Dadang yang melarang.
     Tahun 2009, Dadang dan warga yang sadar lingkungan menyusun Peraturan Kelurahan Belawan Sicanang tentang Daerah Perlindungan Mangrove. Dalam konsensus tersebut, perambah hutan mangrove dikenai sanksi menanam bibit mangrove sebanyak 10 kali lipat dari yang ditebang. Akan tetapi, peraturan ini tak pernah diberlakukan karena Camat Medan Belawan tidak bersedia menandatangani.
     Dadang berencana mengusulkan lagi peraturan itu kepada camat baru. Peraturan kelurahan itu dinilainya bisa efektif menangkal perusakan hutan mangrove.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 29 DESEMBER 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar