Kamis, 05 Januari 2012

Roesina : Menjaga Tarian Dayak Deyah dari Kepunahan

ROESINA

Lahir : 3 Mei 1950
Suami : Solehan (68)
Anak :
- Heriya Martalina (40), menjadi guru SMA dan mantan penari
- Sri Norpiani (38), penari 
- Novariani (36), penari
- Agustinus (34), pegawai swasta dan penari
- Eman Istanto (28), pegawai swasta dan penari 

Pada usia sembilan tahun, Roesina mulai mempelajari tari. Sekitar 33 tahun kemudian, dia mendirikan sanggar tari di kampung halamannya dan bertahan sampai sekarang. Tujuan utamanya, melestarikan kesenian asli Dayak di Kalimantan, khususnya Dayak Deyah dari kepunahan.

OLEH DEFRI WERDIONO
 
Dalam suatu kesempatan pada November 2011, wajah Roesina menyiratkan rasa bahagia seusai menyaksikan rekannya, Hasan (50) berhasil memanjat batang manau, sejenis pohon berduri.
     Pagi itu Roesina banyak mengumbar senyum. Dia bersama timnya tampil sebaga pengisi kegiatan tahunan Festival Budaya Pasar Apung 2011 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
      Hasan, laki-laki bertubuh kekar itu, mampu memanjat batang manau yang penuh duri dengan telanjang kaki dan dada. Tidak tampak luka gores atau luka tusuk sedikit pun di tubuhnya.Senyum Hasan juga mengembang ketika sejumlah penonton yang dipenuhi rasa heran mendekat dan menyapanya.
  Bagi Roesina, tari Balian Bawo Panjat Manau hanyalah salah satu kekayaan budaya Dayak yang sudah ada sejak dia bisa mengingatnya. Awalnya, masyarakat penganut Kaharingan menggunaakn tarian ini sebagai media penyembuhan pada orang yang sakit.
     Di samping itu, tarian Balian Bawo Panjat Manau juga kerap ditampilkan untuk membayar nazar masyarakat setempat. kegiatan tersebut biasanya diselenggarakan sehabis merayakan panen.
     Dalam perkembangannya sekarang tari Balian Bawo Panjat Manau tidak lagi terpaku pada waktu dan keperluan ritual tertentu. Aksi yang bisa membuat bulu kuduk bergidik itu belakangan ini dapat ditampilkan di muka umum, kapan saja dan untuk kesempatan apa saja, mulai dari hajatan sunatan sampai pesta pernikahan.
     Menurut Roesina, tari Balian Bawo Panjat Manau hanya salah satu dari tari tradisi warga Dayak Deyah. Selain tarian itu, setidaknya ada juga lima jenis tarian Dayak Deyah lainnya, yakni tari Balian Dadas, Gintur, Mengundang, Nande, dan tari Balian Bukit.
     Tarian pada masyarakat Dayak Deyah memiliki sedikit perbedaan dengan tari-tarian pada sub suku Dayak lainnya, yakni pada penggunaan alat. tari-tarian Dayak  Deyah umumnya lebih menekankan pada  (bambu).
     Pemakaian gintur dalam tradisi Dayak Deyah bukannya tapa sebab. Konon, bambu merupakan alat yang menjadi andalan nenek moyang Dayak Deyah untuk bergerilya melawan penjajah.
     "Jadi penggunaan gintur tidak bisa digantikan," ujar Roesina menegaskan.

Kaya bersuluh emas

     Hampir selama 20 tahun. terakhir ini, tari-tarian Dayak Deyah diajarkan Roesina kepada generasi  muda setempat. Dia mengajarkan tari-tarian tradisi itu melalui sanggar Tatau Silu Bulau di Desa Pengelak, Kecamatan Upau, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan.
     Sanggar Tatau Silu Bulau berdiri pada tahun 1992. Kata "tatau silu bulau" mengandung arti "kaya bersuluh emas". tatau berarti kaya, silu artinya suluh, dan bulau sama dengan emas.
     Lewat nama tersebut, Roesina berharap sanggar Tatau Silu Bulau bisa seperti emas yang tidak akan luntur selamanya. "Semoga demikian pula dengan kesenian Dayak, tidak akan luntur selamanya" ujarnya.
     Maksud dia seperti emas  yang tidak akan luntur, begitulah kesenian Dayak di mata Roesina. Meski seni budaya dari luar budaya Dayak  masuk ke wilayah tersebut, masyarakat tetap menjaga dan memelihara tradisi itu. "Kesenian  peninggalan leluhur kami bisa tetap bertahan, tidak lalu menjadi tergeser."
     Roesina lalu bercerita tentang awal didirikannya sanggar Tatau Silu Bulau. "Modal utamanya adalah semangat melestarikan tari-tarian Dayak Deyah," ujarnya.
     Untuk melengkapi peralatan menari, ia upayakan secara swadaya. Sebuah babun, semacam gendang, ia beli seharga Rp 750.000. Ia kembali merogoh kocek untuk melengkapinya dengan tiga babun kecil seharga Rp 750.000.
     Sedangkan untuk kelengkapan instrumen lainnya, seperti kenong, Roesina mencari pinjaman. "Tahun 1992-1994 kami meminjamnya sebelum ada bantuan dari pemerintah kabupaten. Begitu pula untuk kostum penari, tahun 2006 kami berinisiatif mengirim proposal ke perusahaan tambang untuk mendapatkan bantuan," ujarnya.

Tentang inovasi

     Sejak berdirinya hingga kini, empat kali Roesina mengirim proposal kepada pemerintah daerah dan perusahaan tambang batubara di daerah setempat. Sebagian uang itu dibelikan peralatan dan sebagian lainnya disimpan untuk keperluan sanggar di kemudian hari.
     Cara ini ditempuh karena dia tak menarik iuran dari anak didiknya. Ia juga tak menyisihkan uang hasil pentas karena honor itu dibagi habis untuk anggota. Tak ada hasil pentas yang masuk kas operasional sanggar. Dalam setahun anggota sanggar bisa tampil hingga lima kali.
     Bagi Roesina,  menampilkan tarian tradisi kepada publik relatif tak ada kesulitan, termasuk saat ia melakukan ritual khusus sebelum memulai pertunjukan.
     "Tahun 2009 rombongan kami pernah mengalami kecelakaan di jalan," cerita mantan guru sekolah dasar itu tentang musibah yang pernah mereka alami berkaitan dengan pertunjukan.
     Sejauh ini, lanjut Roesina, hanya tari Nande yang sulit ditampilkan sebab tarian ini harus dilakukan pada tengah malam. Apalagi dalam pertunjukan tari Nande, nyaris tidak ada penerangan. Penari bergerak dengan mengandalkan tali yang di pegangnya.
     Meski permintaan naik panggung cukup banyak, sampai sekarang Roesina tetap mengandalkan gerakan-gerakan asli tari tradisi dalam pengajaran di sanggarnya.
     "Kami sebenarnya terbuka untuk melakukan inovasi asal tidak meninggalkan gerakan-gerakan asli tarian warisan nenek moyang. Tetapi kendalanya justru dari pelatih yang punya kemampuan dan mau melakukan inovasi tersebut," katanya.
     Roesina keberatan bila untuk keperluan inovasi gerakan tari itu, dia harus mengambil pelatih dari luar sanggar. Masalahnya, dia tidak punya cukup dana untuk membayar honor bagi pelatih tari tersebut.
     Lewat pengabdiannya pada kesenian tradisi Dayak Deyah pula, Roesina dikenal masyarakat. Kesungguhannya melestarikan tarian tradisi itu juga membuat dia mendapatkan penghargaan dari pemerintah kabupaten sebagai pelestari budaya.
    Penghargaan pertama diterima Roesina tahun 1990 seusai dia berpentas di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Penghargaan berikutnya diterima pada tahun 2006.
     "Satu hal yang membuat saya senang, kelima anak saya semuanya bisa menarikan tarian tradisi Dayak Deyah," ujar Roesina bangga.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 3 JANUARI 2012

1 komentar: