SRI SUMARTI
Lahir : Yogyakarta, 6 Juli 1961
Pendidikan : Jurusan Kimia, FMIPA UGM, pernah menempuh jenjang S-2 di Utrech University, Belanda
Karier : Kepala Seksi Gunung Merapi, Balai Penyelidikan dan pengembangan Teknologi Kegunungapian-Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi-Badan Geologi
Air danau Kawah Ijen itu putih kehijauan, memberikan peringatan tentang derajat keasamannya yang mencapai nol. Asap tipis menguar dari atasnya, baunya menusuk hidung. Nyaris tak ada kehidupan yang sanggup bertahan di sana.
OLEH AHMAD ARIF & INDIRA PERMANASARI
Jangankan manusia biasa, Gatotkaca-sosok sakti mandraguna dalam dunia pewayangan-yang berotot kawat dan berkulit baja niscaya akan lumer jika tercemplung di danau asam terbesar di dunia itu. Kadar asam danau tersebut sanggup merontokkan besi.
Namun, pada tahun 1996, Sri Sumarti selama hampir satu bulan mengarungi Kawah Ijen dengan perahu karet yang dibungkus terpal plastik. Tiap hari, bersama peneliti dari Jepang, Belgia, dan Rusia, dia mengarungi kawah itu untuk membuat peta batimetri. Dia merupakan satu-satunya perempuan di tim gabungan tersebut.
"Awalnya, orang-orang Jepang dan Rusia itu keberatan karena PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi) mengirim saya untuk pekerjaan yang mereka anggap tidak cocok buat perempuan," kisah Sri. Lalu, ketua timnya, Profesor Takano dari Jepang, bertanya kepada Sri, "Apakah kamu berani berlayar di kawah itu?" Sri menjawab mantap, "Kalau kalian berani, kenapa saya tidak."
Sesaat sebeum berlayar, Sri sebenarnya mengaku jerih. Walaupun seluruh tubuh, kecuali muka, dibungkus pakaian kedap air, tetap saja bayangan "air aki" itu begitu menakutkan. "Kami tidak boleh membuat kesalahan, apalagi sampai kecemplung, karena pasti tidak ada yang bisa menolong. Helikopter saja tidak akan berani terbang di atas Kawah Ijen," katanya.
Namun, Sri menyelesaikan tugasnya dengan baik sekalipun wajahnya seperti terbakar karena sebulan terpapar uap air kawah. Bahkan, pengalaman itu kemudian membuat Sri meneliti Kawah Ijen lebih lanjut. Tak hanya meneliti kawah, dia juga menelusuri desa-desa di lereng Ijen yang tercemar dengan air asam. Sri menajdi salah satu dari sedikit ahli di Indonesia yang memahami soal Ijen.
Kepala PVMBG Surono pun langsung menunjuk nama Sri Sumarti sebagai salah satu peneliti andalan dari lembagnya, terutama jika terkait dengan Ijen. "Dia salah satu anak buah andalan. Gigih dan berdedikasi," kata Surono saat diminta memberikan rekomendasi tentang peneliti Ijen.
Berisiko
Satu bulan mengarungi danau Kawah Ijen yang memiliki tingkat keasaman (PH) nol hanyalah satu contoh ketegaran Sri, sedikit dari perempuan yang ebrani memilih bekerja sebagai peneliti gunung api. "Saya sadar sepenuhnya risiko bekerja di gunung api." kata Sri, yang awalnya hanya tertarik meneliti soal-soal kimia gunung api saat kuliah di Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Gadjah Mada. "Lama-lama saya menikmati jalan-jalan di gunung."
Sri kemudian meintis karier sebagai peneliti di Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK), lembaga di bawah PVMBG, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sejak tahun 1990.
Sebagai peneliti gunung api, Sri kenyang dengan pengalaman hidup sempadan maut. Tahun 1994, Gunung Merapi berstatus Siaga. Para peneliti BPPTK, termasuk Sri, dikirim ke gunung itu untuk meneliti peningkatan aktivitas guna menentukan langkah mitigasi yang harus diambil.
Sri dan seorang rekannya bertugas mengambil sampel air di Kawah Gendol, di pusat aktivitas Merapi. Sementara beberapa yang lain, termasuk atasannya, mengganti alat-alat pemantauan yang rusak di sekitar Puncak Garuda-titik tertinggi Merpi sebelum letusan 2010.
Ketika masih sibuk mengambil sampel, tiba-tiba dari Puncak Garuda, Sri melihat rekan-rekannya memberikan tanda seperti melambaikan tangan. "Radio panggil tidak bisa bekerja di sekitar Kawah Gendol. Hanya mereka yang berada di Puncak Garuda yang dapat memantau keadaan," katanya.
Sri mengira lambaian tangan itu sebagai tanda kawan-kawannya di Puncak Garuda sudah selesai dengan tugasnya. "Silahkan pulang duluan, saya belum selesaai," Sri berteriak dari dasar kawah.
Melihat Sri bergeming, tiba-tiba rekannya langsung berlarian menuruni jurang terjal menjemput Sri. "Padahal dinding itu sangat curam. Tapi mereka nekat berlari turun, pasti ada sesuatu yang sangat penting," kisah Sri. Benarlah, begitu sampai di bawah, mereka mengabarkan bahwa Merapi diperkirakan akan segera meletus. "Mereka berlarian untuk menyelamatkan kami," kisah Sri.
Bergegas Sri dan rekan-rekannya meninggalkan Kawah Gendol. Hanya berselang sekitar sejam kemudian, Merapi meletus dan mengirimkan awan panas. "Letusan tahun itu menimbulkan banyak korban jiwa. Kami beruntung bisa selamat," kata Sri.
Orang gunung
Sebagai peneliti, Sri tak hanya gigih menjelajah gunung, tapi juga berusaha menyelami kehidupan orang-orang gunung, yaitu mereka yang hidup dan tinggal di sekitar gunung api. Awal November 2011, Sri terlihat begitu akrab berbincang dengan para pencari belerang di Kawah Ijen.
Saat itu aktivitas Ijen mulai meningkat dan Sri sempat mengkhawatirkan jika suatu ketika status gunung ini ditutup karena kenaikan status. Pada 14 Desember 2011 status Ijen dinaikkan dari Normal menjadi Waspada. empat hari kemudian, 18 Desember 2011, status Ijen naik lagi menjadi Siaga. Radius 1,5 kilometer dari kawah disterilkan dari wisatawan dan penambang belerang. "Kenaikan status Ijen berdampak langsung pada ekonomi warga. Ratusan orang hidupnya bergantung pada aktivitas gunung ini," katanya.
Di lain bulan, pertengahan Desember 2011, Sri terlihat begitu telaten menerangkan kepada guru-guru sekolah dasar di lereng Merapi soal kegunungapian. Sri, yang kini menjadi Kepala Seksi Gunung Merapi, tengah melatih kesiapsiagaan bencana kepada guru-guru. Dia membawa guru-guru sekolah itu ke kawasan Kinahrejo yang terkubur awan panas saat letusan Merapi tahun 2010.
"Harapannya, guru-guru tersebut kemudian menularkan soal kesiapsiagaan ini kepada anak-anak didik dan lingkungan tempatnya mengajar," kata Sri. Kepada guru-guru itu, Sri berkata, "Kami siap 24 jam jika bapak ibu meminta informai soal Merapi dan gunung api. Gratis."
Untuk gunung api dan masyarakat di sekitarnya, Sri total mengabdikan hidupnya.
Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 19 JANUARI 2012
Berisiko
Satu bulan mengarungi danau Kawah Ijen yang memiliki tingkat keasaman (PH) nol hanyalah satu contoh ketegaran Sri, sedikit dari perempuan yang ebrani memilih bekerja sebagai peneliti gunung api. "Saya sadar sepenuhnya risiko bekerja di gunung api." kata Sri, yang awalnya hanya tertarik meneliti soal-soal kimia gunung api saat kuliah di Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Gadjah Mada. "Lama-lama saya menikmati jalan-jalan di gunung."
Sri kemudian meintis karier sebagai peneliti di Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK), lembaga di bawah PVMBG, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sejak tahun 1990.
Sebagai peneliti gunung api, Sri kenyang dengan pengalaman hidup sempadan maut. Tahun 1994, Gunung Merapi berstatus Siaga. Para peneliti BPPTK, termasuk Sri, dikirim ke gunung itu untuk meneliti peningkatan aktivitas guna menentukan langkah mitigasi yang harus diambil.
Sri dan seorang rekannya bertugas mengambil sampel air di Kawah Gendol, di pusat aktivitas Merapi. Sementara beberapa yang lain, termasuk atasannya, mengganti alat-alat pemantauan yang rusak di sekitar Puncak Garuda-titik tertinggi Merpi sebelum letusan 2010.
Ketika masih sibuk mengambil sampel, tiba-tiba dari Puncak Garuda, Sri melihat rekan-rekannya memberikan tanda seperti melambaikan tangan. "Radio panggil tidak bisa bekerja di sekitar Kawah Gendol. Hanya mereka yang berada di Puncak Garuda yang dapat memantau keadaan," katanya.
Sri mengira lambaian tangan itu sebagai tanda kawan-kawannya di Puncak Garuda sudah selesai dengan tugasnya. "Silahkan pulang duluan, saya belum selesaai," Sri berteriak dari dasar kawah.
Melihat Sri bergeming, tiba-tiba rekannya langsung berlarian menuruni jurang terjal menjemput Sri. "Padahal dinding itu sangat curam. Tapi mereka nekat berlari turun, pasti ada sesuatu yang sangat penting," kisah Sri. Benarlah, begitu sampai di bawah, mereka mengabarkan bahwa Merapi diperkirakan akan segera meletus. "Mereka berlarian untuk menyelamatkan kami," kisah Sri.
Bergegas Sri dan rekan-rekannya meninggalkan Kawah Gendol. Hanya berselang sekitar sejam kemudian, Merapi meletus dan mengirimkan awan panas. "Letusan tahun itu menimbulkan banyak korban jiwa. Kami beruntung bisa selamat," kata Sri.
Orang gunung
Sebagai peneliti, Sri tak hanya gigih menjelajah gunung, tapi juga berusaha menyelami kehidupan orang-orang gunung, yaitu mereka yang hidup dan tinggal di sekitar gunung api. Awal November 2011, Sri terlihat begitu akrab berbincang dengan para pencari belerang di Kawah Ijen.
Saat itu aktivitas Ijen mulai meningkat dan Sri sempat mengkhawatirkan jika suatu ketika status gunung ini ditutup karena kenaikan status. Pada 14 Desember 2011 status Ijen dinaikkan dari Normal menjadi Waspada. empat hari kemudian, 18 Desember 2011, status Ijen naik lagi menjadi Siaga. Radius 1,5 kilometer dari kawah disterilkan dari wisatawan dan penambang belerang. "Kenaikan status Ijen berdampak langsung pada ekonomi warga. Ratusan orang hidupnya bergantung pada aktivitas gunung ini," katanya.
Di lain bulan, pertengahan Desember 2011, Sri terlihat begitu telaten menerangkan kepada guru-guru sekolah dasar di lereng Merapi soal kegunungapian. Sri, yang kini menjadi Kepala Seksi Gunung Merapi, tengah melatih kesiapsiagaan bencana kepada guru-guru. Dia membawa guru-guru sekolah itu ke kawasan Kinahrejo yang terkubur awan panas saat letusan Merapi tahun 2010.
"Harapannya, guru-guru tersebut kemudian menularkan soal kesiapsiagaan ini kepada anak-anak didik dan lingkungan tempatnya mengajar," kata Sri. Kepada guru-guru itu, Sri berkata, "Kami siap 24 jam jika bapak ibu meminta informai soal Merapi dan gunung api. Gratis."
Untuk gunung api dan masyarakat di sekitarnya, Sri total mengabdikan hidupnya.
Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 19 JANUARI 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar