Selasa, 17 Januari 2012

Masnu'ah : Kebangkitan Perempuan di Kampung Nelayan

MASNU'AH
Lahir : Rembang, Jawa Tengah, 4 Juli 1974
Pendidikan : SD Tasikagung I, Rembang, Jawa Tengah   
Suami : Su'udi (42)
Anak : Vicky Alansyah (17)
Aktivitas, antara lain :
- 2005-kini: Kelompok Puspita Bahari
- 2005-kini: Koalisi Perempuan Indonesia
- 2008: Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik Paralegal
- 2008: LBH Semarang untuk kasus-kasus perempuan nelayan
- 2010-kini: Forum Masyarakat Peduli Lingkungan
- 2011-kini: Kader rehabilitasi berbasis masyarakat  

Penghidupan sebagai nelayan semakin tak pasti seiring dengan musim tangkapan yang sulit diprediksi. Di tengah penghasilan keluarga nelayan yang tak menentu, Masnu'ah tekun mengangkat kemandirian perempuan nelayan di Kecamatan Bonang, Demak, Jawa Tengah.

OLEH BM LUKITA GRAHADYARINI

Di bawah kelompok Puspita Bahari yang dibentuk Masnu'ah akhir Desember  2005, ia gencar memberdayakan perempuan dan mendorong peningkatan ekonomi keluarga nelayan. Pemberdayaan itu dimulainya dengan mengajak para istri nelayan berperan aktif dalam kegiatan usaha.
   Dengan modal awal Rp 1 juta, Masnu'ah mengawali kegiatan Puspita Bahari sebagai koperasi beras. Mereka membeli beras untuk disalurkan kepada keluarga nelayan dengan mengambil keuntungan Rp 200 per kilogram. Daam setahun koperasi itu meraih untung Rp 2  juta.
     Kegiatan koperasi mulai goyang pertengahan 2006 karena hasil tangkapan nelayan tak menentu. Mereka kesulitan melaut dan ini membuat pembayaran tersendat. Sebagian keluarga nelayan berutang beras, koperasi pun mengalami kredit macet.
     Kegagalan usaha koperasi mendorong Masnu'ah mengupayakan pelatihan usaha bagi perempuan nelayan dengan bantuan lembaga pendampingan usaha buruh tani nelayan. Pelatihan itu di antaranya berupa pembuatan getuk lindri, es krim, mi basah, dan tepung ikan.
     Pelatihan yang berjalan selama 2007-2009 itu kembali tersandung masalah. Produk makanan buatan para istri nelayan tak laku di perkampungan nelayan karena harganya dinilai mahal. Harga gorengan Rp 300 dan donat Rp 500, misalnya, tak terjangkau keluarga nelayan yang miskin.
     "Nelayan memilih makanan yang harganya murah, tapi isinya banyak. Makanan higienis bukan pilihan kami," ujar Masnu'ah, yang juga istri nelayan.
     Masnu'ah tak putus asa. Dengan memanfaatkan sisa pendapatan hasil program pelatihan sebelumnya, ia mengajak perempuan dan anak nelayan menekuni usaha salon dan otomotif dengan binaan dari Koalisi Perempuan Indonesia dan Lembaga Bantuan Hukum. Sayang usaha ini tak didukung keluarga nelayan.
    "Enak miyange (enakan melaut), ben neng omah wae (biar di rumah saja)," kata Masnu'ah, menirukan sejumlah alasan yang dilontarkan keluarga nelayan.

Produk olahan

     Tahun 2009 Masnu'ah kembali mengajak perempuan di kampungnya membuat produk olahan berbahan dasar ikan. Di desa itu, sebagian istri nelayan sudah biasa membuat kerupuk untuk konsumsi sendiri. Lewat Puspita Bahari, ia mengajak istri nelayan membuat produk olahan seperti kerupuk, keripik, dan abon.
     Keterbatasan ruang gerak istri nelayan menyebabkan pembuatan kerupuk dilakukan di rumah masing-masing. Ini membuat standar mutu kerupuk tak seragam. Produk mereka sulit diterima pasar.
     Masnu'ah mengatasinya dengan mengadakan standar resep yang yang seragam. Bahan baku produk olahan mengandalkan ikan segar hasil tangkapan para suami. Modal yang terbatas disiasati dengan pemilihan bahan baku dari jenis-jenis ikan yang harganya relatif murah, seperti belida, tunul, kembung, dan tongkol. Pengolahan sepenuhnya dilakukan secara tradisional.
     "Jenis ikan untuk bahan baku bisa berubah-ubah, sepanjang harga ikannya tak lebih dari Rp 5.000 per kilogram," ujarnya.
     Meski berbahan baku ikan yang berharga murah, Masnu'ah dan kelompoknya konsisten tak menggunakan ikan beku. Mereka khawatir produk ikan beku mengandung formalin atau pengawet.
     Cuaca ekstrem perairan dan hasil tangkapan yang tak menentu menyebabkan usaha pengolahan ikan pun kerap kesulitan bahan baku. Untuk menyiasatinya, pada musim panen ikan mereka memproduksi kerupuk sebanyak-banyaknya sebagai stok untuk dijual saat paceklik bahan baku.
     Kerupuk dipilih sebagai produk olahan utama karena daya tahannya bisa tiga bulan, lebih lama dibandingkan dengan keripik dan abon yang daya tahannya sekitar dua minggu. Pada musim panen, produksi kerupuk mereka mencapai 25 kilogram per hari, dengan harga jual sekitar Rp 5.000 per kilogram. Dari jumlah tersebut, kelompok ini mendapat keuntungan Rp 2.000 per kilogram.
     Kerupuk itu dipasarkan di beberapa kantor pemerintahan, toko-toko, sampai warung-warung. Produksi Puspita Bahari juga dipasarkan ke Semarang, Jawa Tengah. Hasil pengolahan ikan itu membuat perempuan nelayan mendapat penghasilan tambahan.
     Tak berhenti pada usaha pengolahan ikan, Puspita Bahari terjun mengelola sampah, memisahkan sampah organik dan non organik, untuk mengurangi kekumuhan desa nelayan.
     Kegigihan Masnu'ah menggiring Puspita Bahari mendapat penghargaan Kusala Swadaya pada Oktober 2011 sebagai kelompok perempuan nelayan yang berhasil mengatasi kekumuhan di perkampungan nelayan.
     Puspita Bahari juga menjadi mediator bantuan tiga kapal untuk melaut dari Dompet Dhuafa yang disalurkan lewat LBH Layar Nusantara dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara). Kapal itu untuk kelompok tambak Sidomaju, Paguyuban Nelayan, dan Yayasan Asasubilad.

Penolakan

     Upaya mengangkat perekonomian keluarga nelayan bukan perkara mudah. Kemiskinan yang mendera keluarga nelayan cenderung menempatkan perempuan dalam posisi marjinal. Mereka tak percaya diri dan kurang gigih menjalankan usaha.
     "Saya masih belajar. Tetapi, karena kondisi keterpurukan perempuan nelayan, saya mengajak mereka untuk aktif," ujar Masnu'ah yang aktif dalam sejumlah organisasi kemasyarakatan.
     Keterpurukan perempuan nelayan itu, menurut Masnu'ah, tak hanya dalam ekonomi, tetapi juga saat mereka harus membuat keputusan. Beberapa dari mereka juga kerap menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
     Masnu'ah bercerita, ia pernah mendapat pengalaman pahit saat membimbing perempuan nelayan yang menjadi korban pemukulan oleh suami. Upaya pendampingan terhadap perempuan korban KDRT ke pengadilan menuai penolakan masyarakat. Ia dinilai terlalu ikut campur urusan rumah tangga.
     Bagaimanapun, kelompok Puspita Bahari terus berjalan di tengah segala keterbatasan, termasuk akses pasar dan modal. Kondisi itu membuat mereka belum bisa berproduksi dalam skala besar.
     "Semua usaha membutuhkan waktu. Pembinaan juga harus dimulai dengan penyadaran hak dan kewajiban perempuan. Saya yakin, perempuan nelayan suatu hari nanti bisa mandiri," kata Masnu'ah.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 18 JANUARI 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar