Selasa, 03 Januari 2012

Marandus Sirait : Lahan Keluarga untuk Lingkungan

MARANDUS SIRAIT

Lahir : Lumbanrang, Lumban Julu, Toba Samosir, 1 Juni 1967
Ayah : Lea Sirait (75)
Ibu : Tyasa Sitorus (70)
Istri : Ernalem Johana Sitepu
Anak : Sharon Maeryo Sirait (4)
Pendidikan :
- SD: SDN Lumbanrang Lulus (1980)
- SMP: SMPN Lumban Julu Lulus (1983)
- SMA: SMAN Narumonda/Porsea (tak tamat)
Kursus Musik: Medan Musik dan Irama musik (1986-1987)
Penghargaan :
- Kalpataru (2005)
- Wahana Lestari (2010)
- Danau toba Award (2010)
- Penghargaan Penanaman pohon Dinas Kehutanan Sumut (2011)

Marandus Sirait (44) menyimpan obsesi membangun hutan lindung yang dapat menghidupi masyarakat sekitar. Dia rela meninggalkan kenyamanan hidup di kota, kembali kekampung halaman, dan mengubah tanah tak terawat menjadi hutan produktif.

OLEH MOHAMMAD HILMI FAIQ

Taman Eden 100. Begitu Marandus memberi nama hutan yang terletak 6 kilometer dari bibir Danau Toba itu. Ia mengutip istilah kitab suci tentang gambaran surga. "Saya ingin hutan ini menjadi surga karena bermanfaat bagi banyak orang," ujar Marandus, akhir Desember.
     Di hutan seluas 40 hektar di Kecamatan Lumban Julu, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, ini tumbuh 100 jenis pohon produktif. Pohon durian, jambu biji, mangga, dan pohon avokad tumbuh subur. Di pangkal pohon-pohon itu tertulis masing-masing nama dan instansi pemilik pohon. Marandus mempersilahkan pengunjung menanam pohon dengan membayar Rp 100.000 sampai Rp 300.000 per pohon untuk biaya perawatan pohon.
     Marandus berharap hutan itu mampu menghidupi banyak orang, baik dari buah yang dihasilkan maupun ramainya pengunjung. Ia tengah berupaya menambah fasilitas menginap, berkemah, dan wahana permainan.

Tersindir kitab suci

   Sejak remaja, Marandus seperti tersindir kitab suci yang mewajibkan umat manusia melestarikan bumi. Ia menangkap pesan, Tuhan menciptakan alam dan isinya agar manusia bisa hidup sejahtera dan menjaganya dengan melestarikan bumi.
    Dalam berbagai kesempatan, ia selalu menyuarakan pentingnya melestarikan alam, terutama saat mengisi acara gereja. Selain sebagai guru musik, Marandus menjadi penyanyi gereja dalam kurun 1988-1998. Dia pun kerap mengikuti seminar, diskusi, dan lokakarya tentang menjaga lingkungan hidup yang marak pada tahun 1990-an di Medan.
     Namun, Marandus merasakan bahwa segala kampanye, dialog, atau diskusi hanya aktivitas kosong. Tak ada perwujudan nyata dari diskusi panjang di hotel berbintang itu.
      Pada saat yang sama, Marandus membaca berita bahwa rakyat di Toba Samosir-dulu masih Tapanuli sebelum dimekarkan-kampung kelahirannya, termasuk rakyat miskin. Dia tersentak karena ironisme tersebut. Mereka hidup di tepi Danau Toba yang memiliki sumber daya alam luar biasa. Air melimpah, ikan berjuta-juta, dan tanah subur. "Danau toba ini kan raja dari segala danau. Tanahnya begitu subur sampai tongkat kayu pun jadi tanaman," kata Marandus mengutip istilah Koes Plus dalam lagu "Kolam Susu".
     Tahun 1999 dia memutuskan pulang kampung, meninggalkan kenyamanan hidup di Kota Medan yang berlimpah uang dan kawan. Dia pun menulis besar-besar kalimat penyemangat di kamar kosnya. "Meninggalkan rupiah di kota untuk menuai dollar di desa."  
     Begitu pulang kampung, ibunda Marandus, Tyasa Sitorus (70), menangis. Dalam masyarakat Batak ada anggapan, jika pemuda merantau dan kembali ke kampung, berarti dia gagal menaklukkan kota dan stres. Itu pula anggapan Tyasa, saudara-saudara Marandus, dan tetangga.  
     Apalagi, sehari-hari Marandus hanya menghabiskan waktunya di lahan keluarga seluas 40 hektar di perbukitan yang lama tak terawat karena tidak produktif. Di situ hanya pohon pinus tua yang ditanam ayahnya di sebagian lahan. Tak tahan dengan sikap keluarga, Marandus memilih tinggal di bekas kandang kerbau di tengah lahan itu.
     Marandus kemudian menyurvei kondisi lahan. Oleh karena tidak memahami alam, ia mengajak beberapa pecinta alam menyusuri lahan keluarga yang berdampingan dengan hutan lindung pemerintah itu. Rupanya aktivitas ini membuat Michael Sirait, salah satu adik Marandus, tertarik membantu. Dari survei itu, mereka menjadikan goa kelelawar dan air terjun sebagai potensi yang bisa menarik pengunjung.
     Lelaki yang tak lulus SMA ini mulai belajar tentang bercocok tanam dari berbagai bacaan dan berguru ke Berastagi, akro, sentra sayuran di Sumatera Utara. Dia pun menjual berbagai peralatan musiknya, seperti gitar, keyboard, dan seperangkat drum, untuk membeli bibit dan membayar pekerja membersihkan lahan.
     Tahun 2002 Marandus hampir menyerah. Semua uang ludes, tetapi hutan yang dia bangun belum menghasilkan. Jangankan untuk menutupi biaya operasional, untuk pembibitan saja tak cukup. Dia kembali ke Medan mengajar musik. Tetapi, tiga bulan kemudian dia kembali ke kampung karena tidak menemukan ketenangan batin di kota. "Hidup mati saya di kampung," tekadnya.
     Dia kembali berjibaku menyejahterakan hutan dengan sumber daya sangat terbatas. Akhir  2004, Marandus masuk rumah sakit. Dia kekurangan gizi. Setelah sembuh, ganti terserang tipus, kemudian mag. Dokter mengatakan, sumber penyakitnya adalah stres yang bersumber dari hutan.Untuk itu dia harus menjauh dari hutan.
     Setelah tiga bulan keluar masuk rumah sakit, Marandus kembali ke Medan. Di sana dia bertemu dengan kenalan lama yang juga dokter di Rumah Sakit Deli. "Dia meminta saya main ke rumahnya dan bermain musik di sana," kenangnya.
     hari-hari dia isi dengan bermain  musik dan mengikuti berbagai penghiburan di gereja ataupun rumah warga. Pada pertengahan 2005, saat merasa kondisi mentalnya membaik, Marandus mendapat kabar gembira. Hasil kerja kerasnya diganjar penghargaan Kalpataru. Ini membuat semangat Marandus kembali memuncak.
     Dia sempat berpikir semua rencanya lancar setelah Kalpataru di tangan. upanya tidak. Tetap saja dia kesulitan dana untuk mengembangkan hutannya.
     Sempat dia melelang piala Kalpataru itu ke DPRD Toba Samosir. "Bagi saya, lebih baik Bapak tukar piala ini dengan sekarung polybag daripada saya pajang di rumah tetapi tidak bermanfaat bagi lingkungan," kata Marandus kepada para anggota DPRD Toba Samosir kala itu. Dia bermaksud menggugah kesadaran para wakil rakyat dan pemerintah agar lebih peduli pada pelestarian lingkungan.
     Para wakil rakyat itu meminta Marandus membuat proposal permohonan bantuan dana. Tetapi, sampai mereka lengser, tak pernah ada jawaban atas proposal itu. Sampai sekarang, Marandus tak pernah bersedia membuat proposal untuk siapapun. Ia mengandalkan kerja keras dan kedermawanan pengunjung Taman Eden untuk menutupi biaya operasional.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 4 JANUARI 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar