Kamis, 26 Januari 2012

Haji Ishak: Berhasil Karena Berorientasi Pasar

HAJI ISHAK
Lahir: Bandung, 1 Mei 1965
Istri: Ir Nina Surtiana (46)
Anak:
- Candrika Naisha (16)
- Kirei Azani Yamazaki (11)
Pendidikan:
- SMAN 2 Bandung
- Sekolah magang di Jepang
Pengalama antara lain:
- Anggota Pemuda Tani Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jawa Barat  
- Magang pertanian di Jepang
- Pengurus KTNA Jawa Barat dan KTNA Nasional
- Anggota Komisi Penyuluhan Pertanian

Rumah-rumah plastik, yang berjajar di antara petak-petak kebun sayur, memang bukan pemandangan baru di dataran tinggi sekitar  Bandung, Jawa Barat. Hal yang membedakan, rumah plastik dan kebun sayur itu berada dalam satu hamparan lima hektar, bukan luasan seperempat atau setengah hektar seperti umumnya ditemui di Indonesia.

OLEH NINUK MARDIANA PAMBUDY

Di dalam rumah-rumah plastik tersebut, tomat ditanam di atas medium tertentu yang di bawahnya mengalir air bercampur hara. Tomat momotaro berwarna merah muda itu dijual eksklusif ke toko swalayan kelas atas di bandung dan Jakarta. Harga buah tomat di kebun hampir Rp 30.000 per kilogram.
     Di sisi lain kebun itu, berdiri tegak jagung manis. Di bagian sayuran, pekerja tengah menyiangi tanaman selada dan brokoli. Gulma dan aun tanaman yang mati dibenamkan ke tanah untuk dijadikan pupuk.
     Di lahan itu, Haji Ishak bersama istrinya Nina Surtiana, dan empat saudara laki-laki Ishak bertani berbagai jenis sayuran dataran tinggi kualitas tinggi. Pelanggan mereka adalah rumah makan Jepang kelas atas serta toko swalayan papan atas di Bandung, Jakarta, dan Surabaya.
     Lahan di Kampung Cibeunying, Desa Cibodas, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung, tersebut merupakan warisan dari ibunda Ishak. Berbeda dari banyak keluarga petani yang langsung membagi habis tanah warisan, Ishak dan empat saudara laki-laki serta tiga saudara perempuannya sepakat tetap menjaga tanah tersebut dalam satu hamparan utuh.
     "Dengan cara ini, mengelola lahan menjadi lebih mudah, lebih efisien," tutur Ishak.
     Dengan mengonsolidasi lahan, Ishak pun dapat menjaga kuantitas, kualitas, keajekan pasokan, dan jenis sayuran yang diminati pasar. Oleh karena itu, Ishak dapat menentukan harga dan produk sayuran mereka harus dibeli putus.

Mengubah diri

    Ishak mulai bertani sejak tahun 1986 dan setahun kemudian terpilh ikut program magang ke Jepang. "Saya tinggal bersama petani sayuran. Belajarcocok tanam, kelembagaan petani, hingga ke bidang pemasaran. Petani Jepang merasa adakebutuhan bergabung sehingga koperasi pertanian sangat kuat. Mereka bisa memengaruhi harga dan petani antar wilayah saling berkompetisi," kata Ishak.
     Di Prefektur Gunma, di barat laut Pulau Honshu, itu Ishak belajar pertanian Jepang yang sangat maju karena ada keberpihakan pemerintah. Selain menjaga ketahanan pangan nasional, pemerintah juga memastikan kesejahteraan petani karena suara mereka sangat penting dalam pemilu.
     "Meskipun nilai ekonomi pertanian sangat kecil dibandingkan dengan total ekonomi Jepang, ada kesadaran bersama bahwa ketahanan pangan adalah ketahanan nasional. Jepang tidak gampang menerima produk pertanian dari luar, tetapi mereka tertarik dengan produk Indonesia," papar Ishak yang dipercaya saudara-saudaranya mengendalikan pemasaran dan menentukan produksi.
     Sedangkan Indonesia, menurut Ishak, meski sumber daya berlimpah, tak ada ancangan pasti. Pemerintah belum berpihak pada kesejahteraan petani dan belum sungguh-sungguh mengupayakan ketahanan pangan nasional. Buktinya, impor sayuran dan buah terus meningkat, begitu pula beras yang merupakan pangan utama.
     Menurut dia, masalah di pertanian  harus diselesaikan komprehensif. Ini mulai dari perbaikan penyuluhan budidaya, bantuan kredit, sistem logistik yang sangat lemah seperti gudang penyimpanan hasil pertanian, pengiriman ke pelabuhan, sampai distribusi ke konsumen.
     Namun, Ishak tak mau mengeluh. "Cara keluarnya, petani harus melihat ke luar. Jangan terpaku di lapangan (on farm), kita tidak akan berkembang. Tidak bisa lagi memakai gaya feodalistik orangtua kita. Petani harus membuka diri. Kita tak bisa berhenti hanya di produksi, harus melihat kebutuhan pasar dan terus inovasi," paparnya.

Melihat keluar

     Ishak sudah mempraktikkan keyakinannya. Untuk sampai pada posisi tawar yang kuat seperti sekarang-harga produk dibayar mahal dan sayuran dibayar putus bukan konsinyasi-Ishak belajar banyak dari pengalaman.
     Dia pernah melalui periode memproduksi sebanyak  mungkin tanpa melihat pasar sehingga harga jatuh.
Dia pernah mengekspor buncis ke Singapura melalui eksportir dan paham lemahnya sistem logistik.
     Perlu dua hari untuk mengumpulkan dan menyortir sayuran guna memenuhi kontainer ukuran 22 kaki. Pengepakan pun memakai karton bekas sehingga tidak higienis dan melibatkan banyak orang sehingga tidak efisien. Di jalan menuju pelabuhan pun banyak pungutan liar.
     "Banyak kerja 'kecil' tak efisien sehingga keuntungan petani kurang," kata Ishak yang bekerja bahu-membahu bersama Nina. Mereka juga memiliki lahan pertanian pribadi seluas dua hektar yang dipadukan produksinya dengan lahan utama.
     Tahun 1997, Balai Besar Pelatihan Pertanian Kayu Ambon, Lembang, mengenalkan pembeli dari Jepang. Dari sinilah Ishak belajar memasuki pasar sayuran yang lebih canggih, menuntut kualitas tinggi dan ketepatan pengiriman.
     "Saya jadi tahu kalau konsumen Jakarta saat belanja tidak melihat besarnya uang yang keluar karena gengsi. Saya sentuh sifat itu dengan menawarkan produk berkualitas. Selain itu, saya juga berusaha mencari celah pasar baru. Misalnya, tanam tomat momotaro. kedelai edamame, dan jagung manis jepang," katanya.
     Ishak tak lupa membenahi sisi produksi. Dia bermitra dengan 48 petani untuk memasok sayuran. "Awalnya tak mudah mengajak mereka yang terbiasa hanya menanam satu jenis sayuran dan tidak melihat pasar. Saya mulai dengan petani yang dekat dengan lahan kami. Mereka tertarik ketika harga jelas, barang pasti diambil, dan pembayaran ajek sebulan dua kali," katanya.
     Tak heran Ishak kini jadi salah satu rujukan petani sayuran se-Indonesia. Di kebun sayur itu selalu ada yang belajar, mulai dari sesama petani dari Jawa dan luar Jawa hingga siswa SMK pertanian. Dia menamai tempatnya Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Swadaya Tani Mandiri.
     Ishak dan Nina terus memantau pasar. Mereka melihat perkembangan industri kuliner akan membutuhkan sayuran jenis baru. "Kami memproduksi sesuai dengan kebutuhan dan memenuhi standar pasar. Akhirnya keadaan berbalik, pasar yang bergantung pada kami," ujarnya.
    Ishak sudah membuktikan, petani punya motivasi untuk maju. Menjadi tugas pemerintah untuk menularkan kesadaran itu kepada jutaan petani lain supaya kesejahteraan petani di desa meningkat dan  ketahanan pangan terwujud.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 26 JANUARI 2012

3 komentar:

  1. sy mau order, harga berapa pak, cara order hubungi ke siapa?

    BalasHapus
  2. sy mau order, harga berapa pak, cara order hubungi ke siapa?

    BalasHapus
  3. sy mau order, harga berapa pak, cara order hubungi ke siapa?

    BalasHapus