FRANS DULI POLI
Lahir : Demondel, Flores, Nusa Tenggara Timur, 15 Januari 1952
Pendidikan : Sekolah Guru Bawah
Pekerjaan : Guru Sekolah Dasar
Istri : Maria Fernandes
Anak : Johni, Lin, Etus, Yoris, Serli dan Meli
Usianya memang tidak lagi muda, tetapi semangat pengabdiannya tetap tinggi. Dia ikut terlibat dalam pembangunan enam sekolah dasar swasta di desa terpencil yang terletak di pulau terluar di wilayah Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Frans Duli Poli tidak hanya mengajar, tetapi dia terlibat hampir di semua sektor kemasyarakatan warga setempat.
OLEH KORNELIS KEWA AMA
Pada Januari 2012 ini, Frans memasuki masa pensiun. Meski begitu, dia tetap penuh semangat. Dia terlibat dalam pembangunan tiga sekolah taman kanak-kanak. Frans sekaligus menjadi pembimbing di sekolah itu, meski untuk tugasnya tersebut, dia tidak digaji.
Selama ini Frans Duli Poli dikenal sebagai guru Sekolah Dasar (SD) Inpres Mewet, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ketika ditemui akhir tahun 2011, Frans sibuk mempersiapkan sejumlah lagu untuk para siswa taman kanak-kanak (TK) tersebut.
Buku kumpulan lagu itu disalinnya dari buku-buku yang ada di Toko Buku Gramedia di Kota Kupang , ibu kota NTT. Frans tidak punya cukup uang untuk membeli buku-buku tersebut, tetapi dia tidak kehilangan akal untuk mendapatkan informasi tentang lagu-lagu untuk anak-anak.
Demi kelancaran kegiatan belajar-mengajar anak didiknya di Flores Timur, Frans harus pergi ke Kupang dengan perahu motor. Dia tidak keberatan melakukan semua itu meski hanya untuk mencari buku nyanyian yang sesuai bagi siswa TK.
Profesi sebagai guru telah dijalaninya sejak Juni 1969. Ketika itu, Frans bercerita, masyarakat di Desa Demondel, Adonara, Flores Timur, meminta dia mengajar anak-anak setempat sekaligus membangun SD di kampung ini.
"Ketika itu tidak ada guru di Demondei. Saya baru lulus dari Sekolah Guru Bawah dan belum punya hak mengajar. Mereka yang boleh mengajar adalah lulusan Sekolah guru Atas," kata Frans yang telah mengabdi sebagai guru selama 43 tahun.
"Tetapi, kondisi warga di Demondei waktu itu sangat membutuhkan tenaga guru. Di Pulau Adonara bagian barat itu tak ada guru sama sekali. Anak-anak usia sekolah tidak bisa belajar karena tak ada sekolah. Desa-desa di pedalaman itu belum mengenal sekolah dasar," kata Frans mengenang.
Beralih status
Tahun 1969 itu, Frans membuka sebuah SD swasta yang dinamakan SD Don Bosco di Desa Demondei. Sekolah ini terletak di kawasan pegunungan. Untuk menuju desa ini, orang harus berjalan kaki 15 kilometer dari ibu kota Kecamatan Adonara Timur, Waiwerang.
Setelah sekitar dua tahun SD Don Bosco beroperasi, tahun 1971 dia diminta masyarakat Desa Rianpadu, 5 kilometer dari Demondei, untuk mendirikan SD di wilayah itu. Kemudian tahun 1973-1976 Frans mendirikan SD swasta di Ritawolo, Watodei, Beludua, dan SD swasta Leter. Kini, sekolah-sekolah tersebut telah beralih status menjadi SD negeri.
"Lulusan sekolah dasar kelas tiga dari Demondei yang saya nilai bisa membaca, menulis, dan menghitung lalu saya minta untuk membantu mengajar. Tiga tahun kemudian tujuh lulusan Sekolah Guru Atas dari Larantuka datang membantu saya mengajar di sekolah-sekolah itu," ujarnya.
Meski kegiatan belajar-mengajar di sekolah-sekolah tersebut serba terbatas, seiring berjalannya waktu, pencapaian para siswanya pun menunjukkan kenajuan.
"Semua itu berkat dukungan orangtua, semangat belajar siswa, dan keinginan mereka untuk bisa membaca, menulis, berhitung dan berbahasa Indonesia, yang tinggi," kata Frans merendah.
Frans pun kemudian menapat honor sekadarnya dari warga setempat. Terkadang ia tak mendapat uang, tetapi diberi celana dan baju hasil tenunan warga. Ada pula orangtua murid yang "membayarnya" dengan pisang, ubi, jagung dan padi.
"Bisa dibilang rumah guru itu serba ada. Air bersih, kayu bakar, sayur, dan makanan untuk tiga kali sehari sudah disiapkan warga ha-ha-ha," katanya.
Masa depan
Frans menyadari, ketiadaan ijazah guru akan membuat masa depannya tak menjanjikan. Tahun 1975 ia mengikuti semacam kursus guru atau sekolah persamaan yang diadakan beberapa rekan guru lulusan Sekolah Guru Atas dan sekolah Pendidikan Guru di Desa Demondei. Ia berhasil mendapat ijazah Sekolah Guru Atas pada 1976, dan diangkat menjadi guru negeri.
"Jadi guru di pedalaman itu artinya kita bekerja ganda. Selain mengajar, masih ada tugas melatih koor untuk gereja, membimbing pasangan muda yang mau menikah, mengajari orang tua yang buta huruf agar tahu tulis-baca," katanya.
Guru di daerah pedalaman juga mesti membantu aparat desa menata administrasi desa dan mengamankan warga yang sering bertengkar. "Semua masalah warga bisa dikatakan melibatkan guru karena hanya guru yang mereka segani, selain pastor."
Sejumlah lagu dan tarian daerah yang terancam punah pun dia hidupkan kembali lewat pentas kesenian desa. Pentas ini melibatkan para siswa SDdan anak muda desa. Pentas ini pun menjadi satu-satunya hiburan bagi warga yang jauh dari pusat keramaian dan televisi.
Berbagai perhelatan masyarakat setempat pun melibatkan Frans,mulai dari pernikahan, hari raya keagamaan, sampai pemilihan umum (pemilu). Dalam kegiatan pemilu, dia seakan menjadi perpanjangan tangan pemerintah yang memberi informasi kepada warga tentang partai politik dan bagaimana cara warga mencoblos.
"Guru di pedalaman itu ibarat terang di tengah kegelapan. Ini sungguh terjadi sejak tahun 1970-an sampai hari ini. Kami di sini bisa dikatakan masih miskin dan terbelakang," tuturnya.
Setelah 43 tahun mengabdi, Frans pensiun dengan gaji terakhir Rp 2,5 juta per bulan. Dia mengisi hari-hari awal masa pensiunnya dengan bertugas di tiga sekolah TK di Desa Mewet, Desa Demondei, dan Desa Watodei.
"Sebelum anak-anak masuk SD, kami ingin mempersiapkan mereka agar nantinya mudah menyesuaikan diri. Seluruh SD di pulau dan desa terpencil ini tidak punya taman kanak-kanak," ujar Frans menegaskan.
Apalagi minat masyarakat untuk memasukkan anaknya ke TK relatif tinggi. Meski baru dibuka, jumlah murid TK di setiap desa mencapai 60-100 anak. Untuk tugasnya membimbing siswa TK, Frans tidak digaji. Sedangkan delapan guru TK lainnya mendapat honor yang uangnya berasal dari para orangtua murid.
"Setiap guru itu mendapat honor Rp 250.000 per bulan," kata Frans yang di sela-sela kesibukannya masih sempat mengajari para guru TK cara membaca dan mengajarkan musik kepada anak-anak.
"Lulusan SMA atau SMK sekarang umumnya tidak tahu bagaimana membaca not angka," tambahnya.
Setelah Frans membimbing anak-anak yang belajar di tiga TK tersebut, tugas mengajar para siswa SD dilanjutkan para lulusan SMA atau SMK dari desa setempat.
Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 5 JANUARI 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar