DADAN
Lahir: Sumedang, Jawa Barat, 3 November 1972
Pendidikan:
- SD Kadujajar I, Tanjungkerta, Sumedang, 1985
- SMP I Tanjungkerta, 1988
- SKMA Kadipaten, Majalengka, 1991
Istri: Ani Handayani (35)
Anak:
- Fitriani Sarah (9)
- Syifa Nurul Fatiyah (10 bulan)
Pengalaman:
- Staf Perencanaan sebuah perusahaan HPH, 1991-2001
- Pegawai Negeri Sipil di TN Bogani Nani Wartabone, Minahasa, Sulawesi
Utara, 2005-2008
- Kepala Resor Bantaragung Taman Nasional Gunung Ciremai, 2008-kini
Dadan selalu membunyikan klakson sepeda motor ketika menemui warga di sepanjang jalan yang dilewatinya. Hampir setiap orang di sepanjang jalan di Desa Bantaragung, Majalengka, Jawa Barat, mengenali sosok supel itu. "Pak Mantri, sindang heula atuh! (Pak Mantri, mampir dulu!) demikian beberapa warga menyilahkan Dadan singgah.
OLEH RINI KUSTIASIH
Dadan rupanya dekat di hati warga. Suasana seperti itu jauh berbeda dibandingkan saat pertama kali ia datang ke Bantaragung Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), harus menghadapi sikap warga yang keras.
Ketika itu, warga menaruh curiga kepada Dadan, orang baru di daerah itu. "Rasanya tak enak, saya seperti diawasi mulai masuk sampai ke luar kampung," ungkapnya di kamp Resor Bantaragung TNGC.
Bau cat masih tercium dari ruangan kamp Resor Bantaragung yang berada di kaki Gunung Ciremai. Maklum, bangunan yang ditempati Dadan itu baru selesai dibangun. Belum ada meja-kursi atau perabot lain yang melengkapi kantor mantri hutan ini, hanya tikar yang tergelar. Satu-satunya "kemewahan" adalah televisi 14 inci.
Pak Mantri, panggilan Dadan, bertugas di Bantaragung sejak tahun 2008. Selama empat tahun bertugas, ia menumpang tidur dan berkantor di rumah warga. Ia berpindah tempat dari satu kampung ke kampung lain di wilayah Bantaragung. "Ini cara saya agar bisa dekat dengan warga," kata Dadan yang asli Sumedang.
Ia sedang menghadapi tugas berat membujuk warga Bantaragung agar mau turun gunung. Tugas itu seperti mustahil. Sebab, selama bertahun-tahun warga setempat mendapatkan penghasilan dari pengelolaan kawasan hutan.
Sejak awal 1970-an kawasan itu dikelola Perum Perhutani. Warga diberi keleluasaan bercocok tanam dengan sistem tumpang sari dalam program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).
"Warga menanam bawang merah, brokoli, singkong, jagung, cabai, wortel, an sayuran lainnya di sela-sela tegakan pohon," kata Dadan.
Warga memang bergantung pada pengelolan kawasan hutan. Dari 1.232 keluarga di Bantaragung, 372 di antaranya terkait kegiatan tumpang sari. Ratusan keluarga lainnya di desa itu juga menikmati keuntungan dari pengelolaan kawasan hutan. Mereka antara lain menjadi pedagang sayur, pencari kayu bakar, penyadap getah pinus, bahkan pembalak liar.
Sejak tahun 2004, penghasilan warga dari hutan itu harus dilepaskan. Pemerintah Daerah Majalengka dan Kuningan mengusulkan kawasan hutan Gunung Ciremai dijadikan taman nasional. Pertimbangannya, kondisi hutan Ciremai kian memprihatinkan dengan penebangan ilegal dan kebakaran hutan.
Padahal, Ciremai adalah daerah resapan air yang krusial bagi wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan di Jawa Barat, sampai Brebes di Jawa Tengah. Kerusakan Ciremai berarti malapetaka dan bencana air di Pantai Utara Jawa.
Perubahan status Cirebon dari hutan produksi menjadi taman nasional pun menuai kekecewaan warga.
Berselang empat tahun sejak perubahan status, warga masih "mencuri-curi" kesempatan bercocok tanam di areal hutan. Tahun 2008 kerja keras Dadan dimulai.
"Saya harus menghadapi penentangan warga yang kecewa kehilangan ladang penghasilan, segala macam ancaman saya terima," katanya.
Dengan hati
Pendekatan hati dan mengunjungi warga satu per satu menjadi strategi Dadan. Ketiadaan kantor memaksa dia memutar otak bagaimana caranya agar hutan di resor Bantaragung seluas 1.472 hektar (ha) itu bisa diamankan. Ia juga harus mengajak warga turun gunung.
"Saya ikuti hampir semua kegiatan warga, mulai dari hajatan, pengajian, rapat di kampung, sampai menumpang tidur di rumah tokoh-tokoh kampung. Sambil duduk-duduk santai, saya ceritakan tentang siklus air dengan gambaran yang sederhana, berikut dampaknya kalau hutan gundul," ceritanya.
"Sesekali saya tanyakan juga bagaimana kondisi air di sini. Warga ganti bercerita dan mengeluhkan Sungai Ciwaringin di kampung mereka yang mulai mengering. Dari sini kesadaran warga tentang pentingnya menjaga hutan pelan-pelan terbentuk," tambahnya.
Tak jarang Dadan menjadi tukang shooting dadakan. Ia tak segan menawarkan jasa shooting kepada warga yang menggelar hajatan. Berbekal kamera ia merekam hajatan di rumah warga. Hasil rekaman itu ia susun dengan diselipkan info, gambar, dan seruan tentang pentingnya menjaga hutan dan dampak buruknya jika hutan rusak. Kaset video cakram itu dibagikan gratis.
"Baru-baru ini saya mengambil gambar acara lulusan madrasah ibtidaiyah yang sedang membaca Al Quran, di sini juga ada himbauan kepada adik-adik supaya rajin merawat pepohonan," katanya.
Selama dua tahun pendekatan, para tokoh kampung yang keras hati pun luluh. Strategi "menumpang" tidur Dadan berbuah kesediaan para tokoh Bantaragung mengajak warga turun gunung. athun 2010 satu per satu warga meninggalkan ladang sayur dan dalam waktu tiga bulan warga sepenuhnya turun gunung.
Kegigihan Dadan mengawal warga turun gunung mengorbankan waktunya bagi keluarga. Ia biasa pulang tiga kali dalam sebulan ke Sumedang yang jaraknya sekitar 55 kilometer dari Bantaragung. Bapak dua anak ini lebih sering menginap di rumah warga ketimbang di rumah sendiri.
"Beberapa kali anak dan istri saya ajak ke sini supaya mereka mengerti pekerjaan saya," ujaarnya.
Merasa berdosa
Agaknya, pengalaman Dadan bekerja di sebuah perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) turut melatarbelakangi kegigihannya bekerja di bidang kehutanan. Selulusnya dari Sekolah Kehutanan Menengah Atas (SKMA) Kadipaten Majalengka, tahun 1991, ia bekerja di perusahaan HPH. Sampai tahun 2001 ia berpindah-pindah tempat tugas, antara lain di Kalimantan, Maluku, Sulawesi, Papua, dan Jambi.
Dadan menjadi mafhum benar atas praktik penebangan liar yang ia hadapi di lapangan. Lama-kelamaan ia pun terusik. "Ada rasa berdosa di hati karena saya seolah ikut membiarkan dan membantu penebangan hutan secara liar," katanya.
Ia memutuskan berhenti dan melamar sebagai pegawai negeri. Tahun 2005 Dadan bekerja pada Kementerian Kehutanan dan ditempatkan di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Minahasa, Sulawesi Utara. Tahun 2008 ia dipindahkan ke TN Gunung Ciremai.
Di lingkungan baru tempat kerjanya, ia mengaku banyak belajar dari warga. Ia antara lain belajar mengenali dan membiakkan pepohonan asli Ciremai yang langka, seperti picung, huru, kapundung, dan peutag.
Dadan bahu-membahu dengan warga Bantaragung mengembangkan kawasan wisata Curug Cipeutey dan Bumi Perkemahan Awilega di bekas hutan produksi. Kawasan wisata ini merupakan inisiatif warga sebagai ganti penghasilan mereka yang hilang dari ladang sayur.
Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 5 JULI 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar