RUDIAH
Lahir: Dusun Banyumulek Timur, Desa Banyumulek, Lombok Barat,
Nusa Tenggara Barat
Usia: 60 tahun
Suami: Wahidudin (almarhum)
Anak: Tujuh orang
Stroke telah mengakibatkan tubuh bagian kanan Rudiah lumpuh dan mulutnya miring ke kanan. Stroke membuat dia harus menjalani rawat inap selama lima hari di Puskesmas Kediri, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Namun, rupanya Tuhan "berkata lain". Rudiah bisa pulih dan perlahan-lahan dapat kembali menekuni pekerjaannya sebagai perajin gerabah, khususnya membuat "ceret maling".
OLEH CHAERUL ANWAR
Rudiah bisa dikatakan sebagai maestro pembuat ceret maling (semacam kendi) dari sekitar 3.000 perajin di sentra kerajinan gerabah Desa Banyumulek, Lombok Barat. Tidak sedikit perajin di desa berjarak sekitar 11 kilometer arah selatan Kota Mataram itu yang berguru teknik membuat ceret maling dari Rudiah.
Memang belakangan ini ada beberapa perajin yang bisa membuat ceret maling kendati mereka kemudian "mundur pelan-pelan" lantaran kurang tekun menjalani pengerjaannya. Membuat ceret maling memerlukan konsentrasi dan keterampilan khusus dari perajin.
Selain itu, pembuatan kendi itu pun memerlukan waktu relatif lama. Di sisi lain, kemampuan perajin membuat ceret maling dinilai orang sebagai "puncak" keterampilan seorang perajin gerabah.
"Membuat ceret maling itu ruwet, terutama waktu kita membuat pipi bejananya. Di sini perlu konsentrasi perajin," kata Rudiah.
Keterampilan khusus dan konsentrasi yang dimaksud Rudiah adlaah saat perajin membuat bagian kendi berupa semacam pipa bejana yang mengerucut kian ke atas. Ini merupakan bagian yang "khas" dari ceret maling.
"Agar tidak retak saat pembuatan dan pembakarannya serta ikatannya pun kuat, tanah liat harus direkatkan setelah agak kering," tutur Rudiah menambahkan.
Dibandingkan teko atau kendi lain yang biasanya dilengkapi lubang terbuka pada bagian atas, ceret maling justru sebaliknya. Pada bagian atas kendi itu justru buntu, sementara di bagian bawah terdapat lubang memanjang dari wadah penampung air itu hingga bagian atasnya.
Lubang itu sebagai jalan atau saluran memasukkan air. Jika kendi itu dibalik atau dalam keadaan berdiri, air dalam ceret tidak tumpah. Jalan mengisi airnya yang "tersembunyi" dan bisa "menipu" itulah agaknya yang membuat bentuk kendi tersebut dinamakan ceret maling.
Prosesnya rumit
Proses pembuatan ceret maling yang rumit menuntut perajin harus tahan duduk belama-lama. hal ini pula yang membuat kebanyakan perajin malas membuat ceret maling.
Sebagai bayangan, untuk menyelesaikan dua ceret maling diperlukan waktu pengerjaan sampai sekitar lima hari," ujar Rudiah.
Tak heran jika kebanyakan perajin lebih memilih membuat selao (gentong), kekete (sagon), kemek (periuk), dan produk gerabah lain yang relatif bisa mereka selesaikan dalam waktu singkat. Untuk produk gerabah seperti itu, perajin bisa menyelesaikan ima buah dalam sehari.
Kondisi tersebut masih ditambah desakan tuntutan untuk mutu dan ketepatan waktu untuk menyelesaikan produk kerajinan gerabah. Hal yang tak mungkin dilakukan perajin ceret maling karena kendi itu tak bisa dikerjakan dengan terburu-buru.
Namun, Rudiah tak menggubris tuntutan mutu dan ketepatan waktu tersebut. Ia tetap dengan irama kerjanya. Alasan dia, ceret maling tak hanya benda fungsional, tetapi juga barang seni yang memiliki keindahan tersendiri.
"Lamun lenge hasil pegawean, te wade isi batur (jika hasil kerja kita jelek, malah dicela oleh orang lain)," ujar Rudiah dalam bahasa Sasak, Lombok.
Rudiah mengakui, sering kali dalam proses kerja itu ceret maling ada yang retak (apkir) seusai melewati tungku pembakaran. Apalagi jika dari awal pengerjaannya sembarangan, selain bisa dipastikan ceret maling itu bakal apkir, energi perajin juga terkuras sia-sia.
Guna menghindari masalah itu, Rudiah mempertahankan ritme kerjanya. Pilihan itu tak salah, terbukti sampai kini dia tak kehilangan konsumen. Banyak pemesan yang sebelumnya tidak disanggupinya karena memesan ceret maling dengan menentukan jumlah dan batas waktu tertentu justru kembali minta jasa Rudiah.
Serba bisa
Dari proses kreatifnya itu, Rudiah bisa mengantongi hasil penjualan Rp 20.000 per ceret maling, lebih murah jika dibandingkan ceret maling yang sudah masuk kios cendera mata. Di toko cendera mata, ceret maling harganya Rp 50.000-Rp 100.000 per buah.
Meski tenaga yang terkuras kurang sebanding dengan hasil materi yang didapat, Rudiah tetap setia sebagai perajin gerabah, khususnya ceret maling. Dunianya seakan sudah menyatu dengan gerabah atau memande, yang ditekuninya sejak ia berusia sekolah dasar.
Keterampilan perempuan buta huruf itu awalnya dia peroleh dari sang bunda. Kaum perempuan di desa itu umumnya bisa membuat gerabah, seperti kemek, sagon, dan peralatan rumah tangga lain.
Keterampilannya terus terasah, sampai sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang pernah melakukan program pendampingan di Desa Banyumulek menyebut Rudiah sebagai perajin serba bisa dan produknya berkualitas.
Persentuhan Rudiah dengan ceret maling sebenarnya baru dimulai sekitar 1990. Ketika itu ada LSM yang meminta dia membuat ceret maling. Hanya berpedoman pada gambar sketsa yang diberikan, ia coba membuatnya hingga berkali-kali sampai mampu mewujudkan ceret maling sesuai standar mutu yang diinginkan konsumen.
Apabila Anda melihat ceret maling yang dipajang di kios cendera mata di Mataram dan berasal dari Desa Banyumulek, hampir pasti itu adalah karya Rudiah.
Ia lalu bercerita tentang cobaan berat yang dialaminya. suatu hari, saat bekerja, ia terjatuh karena mendadak merasa lemas. Rudiah pun dilarikan ke puskesmas dan dokter menyatakan Rudiah mengalami stroke. Selain sebagian tubuhnya lumpuh, bicaranya pun tak jelas. Selama lima hari ia dirawat inap.
Ketika sudah diizinkan pulang dan dalam pemulihan, Rudiah tak tahan hanya dengan tidur seharian. Perangkat kerjanya yang menganggur dan tumpukan tanah liat seakan memberi energi bagi pemulihan kesehatannya.
Dengan sisa tenaga yang dimiliki, Rudiah berusaha mengisi masa pemulihan itu dengan kembali beraktivitas. Ia tak menghiraukan peringatan anak-anaknya agar sang bunda tak memaksakan diri membuat ceret maling.
Rupanya tekad itulah yang justru membuat Rudiah sembuh dari penyakitnya. Tentang pengalamannya bangkit dari stroke, dia berujar, "Pekayunan Allah Taala, dait lamun penyakit te lawan si tindok doang, sere sakit bungkak-awak te (Ini semua kehendak Allah SWT. Kalau penyakit dilawan dengan tidur saja, sekujur tubuh kita justru semakin terasa sakit)."
Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 23 JULI 2012
mas sayang sekali ceret maling tidak di apload baik dari sisi pengisin air hingga ke penyulingan air, itu bagus untuk dicxeritakan lewat media cetak coba update tan bartu mas kita tunggu ya
BalasHapus