Senin, 23 Juli 2012

Yustina Jut: Penggagas Kelompok Perempuan Mandiri Desa

YUSTINA JUT
Lahir: Lembor, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, 29 September 1969
Pendidikan: SMA
Suami: Fransiskus Ria
Anak:
- Silvester Nuh
- Irfan Wea
- Hendra Jebarut
- Constantinus
Pekerjaan: Ketua Kelompok Perempuan Mandiri Desa di Desa Beiwali, Kecamatan Bajawa, Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur

Kesulitan ekonomi keluarga membuat para ibu rumah tangga merasa resah. apalagi jika sang suami tidak peduli atas persoalan tersebut. Yustina Jut dari Desa Beiwali, Kecamatan Bajawa, Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur, menyadari masalah ini. Dia kemudian mengumpulkan para ibu rumah tangga untuk membentuk kelompok kerja. Kelompok ini disebut Perempuan Mandiri Desa.

OLEH KORNELIS KEWA AMA & SAMUEL OKTORA

Perempuan Mandiri Desa (PMD) lahir bulan April 2004 dan beranggotakan 15 orang. Dari jumlah tersebut, 10 orang di antaranya adalah "orangtua tunggal" karena suami mereka merantau ke Malaysia tanpa kabar berita.
     "Ketika itu kondisi ekonomi keluarga kami morat-marit. anak-anak menuntut uang jajan, pakaian baru, dan kebutuhan lain. Ini membuat biaya hidup kami terus meningkat. Padahal, para suami yang pergi bekerja sejak pagi dan pulang sore hari tetap tidak jelas penghasilannya," ungkap perempuan yang akrab dipanggil Jut ini.
     Apalagi para ibu rumah tangga di kampungnya terbiasa hidup dengan bergantung sepenuhnya secara ekonomi kepada suami masing-masing.
     Jut kemudian memimpin musyawarah para ibu rumah tangga. Kegiatan awal PMD di mulai tahun 2004 itu pula dengan menanam jahe di area seluas sekitar 5.000 meter persegi. Ketika itu ada informasi bahawa harga jahe Rp 10.000 per kilogra (kg) dan ada investor yang mau membeli jahe mereka langsung di Bajawa.
     Ternyata informasi itu tidak benar. Panen jahe mereka sekitar 35 kg hanya terjual dengan harga Rp 3.000 per kg. Namun, Jut tidak ingin para ibu menyerah.
     Dia berusaha terus meyakinkan para anggota PMD agar melakukan sesuatu yang menghasilkan uang. Mereka lalu beralih menanam kentang tetapi gagal total. Jut lalu mengajak para ibu menanam kacang kedelai karena pusat kedelai Flores berada di Ngada.
     Mereka membeli bibit kedelai dengan harga Rp 10.000 per kg, tetapi setelah dipanen dan dijual ternyata hanya dihargai Rp 7.000 per kg. Tak putus asa, PMD berganti menanam kacang merah. Akan tetapi, harga jual kacang merah pun hanya Rp 7.000 per kg.
     "Harga hasil pertanian itu ternyata tak berpihak kepada petani. Tetapi, saya harus tetap berpikir optimistis. Dalam kelompok ini, kami tak sekadar mengejar keuntungan ekonomis, tetapi menjadikannya wadah saling tukar pengalaman, curhat, dan meringankan pekerjaan antar ibu," ujarnya.

Anggota bertambah

    Cara memimpin Jut membuat jumlah anggota PMD terus bertambah sampai menjadi 50 orang pada 2005-2006. Ia kemudian membagi PMD menjadi dua kelompok, masing-masing dengan 25 anggota. Kelompok kedua disebut PMD2. Ia membina kedua kelompok ini selama beberapa bulan, lalu menyerahkan pembinaan PMD2 kepada orang lain. Sayang, PMD2 tak bisa bertahan. Melihat kesungguhan Jut dan anggota PMD, pihak pemerintah setempat selalu menghubungi mereka jika urusannya berkaitan dengan perempuan.
     Tahun 2007, PMD bergabung dalam kelompok kopi Arabica Organic di bawah pembinaan Unit Pengolahan Hasil (UPH) FA Masa, Bajawa (kini berubah menjadi Koperasi Serba Usaha Fa Masa). Di sini, mereka mulai menemukan jati diri berorganisasi dan bisa membantu meringankan beban ekonomi keluarga.
     Kopi yang semula dibeli tengkulak dengan harga Rp 1.000 per kg dijual ke UPH Fa Masa dengan harga Rp 5.000 per kg untuk jenis gelondongan. Sementara kopi biji (beras) yang sebelumnya hanya dihargai tengkulak Rp 38.000 per kg dijual Rp 51.000 per kg kepada UPH Fa Masa.
     Mereka hanya menjual kopi berkualitas kepada UPH, sedangkan kopi yang berwarna hitam, rusak, pecah, bubuk, dan kurang matang dijual kepada tengkulak sekitar Rp 2.000 per kg dan kopi biji (beras) Rp 15.000 per kg.
     Sebelum ada UPH Fa Masa, tengkulak berperan besar di sini. Mereka dengan sesuka hati menawar harga kopi petani. Bahkan, sebelum kopi dipanen, mereka sudah memborongnya.
     Buah kopi yang masih di pohon seluas 1-5 hektar juga sudah diborong tengkulak dengan harga Rp 2 juta-Rp 5 juta. Sekarang, tengkulak masih beroperasi di sini, tetapi mereka hanya mendapatkan kopi yang berkualitas jelek," katanya.
     Dari hasil penjualan kopi itulah anggota PMD dapat membantu menyekolahkan anak, menyediakan biaya kesehatan, dan memenuhi berbagai kebutuhan rumah tangga. Kebutuhan ekonomi rumah tangga pun lebih mudah diatasi ketimbang sebelumnya saat mereka hanya bergantung kepada suami.

Menanam kopi

     Kelompok PMD menanam kopi sesuai dengan pembinaan dari UPH Fa Masa atau langsung dari dinas perkebunan setempat. Kini, total luas lahan kopi milik PMD sekitar 20 hektar. Masing-masing anggota memiliki 250 are sampai 1 hektar lahan.
     Di kalangan masyarakat Flores, yang punya kebun kopi itu biasanya lelaki. Tetapi, di sini, kami perempuan pun punya tanaman kopi sendiri. Kami tidak hanya menanam, tetapi juga merawat, menyemprot hama, memanen, dan membuat pagar keliling kebun. Itu sebetulnya pekerjaan suami, tetapi kami juga bisa," kata Jut.
     Mereka bekerja secara gotong royong. Semua anggota PMD bekerja giliran. Setiap anggota mendapatkan jadwal kerja. Dalam satu hari, empat anggota kebagian kerja sekitar delapan jam, pukul 08.00-16.00 Wita.
     Berbagai pekerjaan dilakukan kelompok Jut. Mereka membersihkan rumput di kebun kopi, memangkas cabang kopi yang rusak, membersihkan ladang jagung dan umbi-umbian, menanam jagung, sampai mengaduk campuran semen untuk membangun rumah.
     "Jika kami bekerja berkelompok terasa ringan dan tak butuh biaya. Jika kami menyewa tenaga orang lain, satu tenaga harus dibayar Rp 7.500 per hari, belum termasuk makan, minum kopi, dan rokok. Totalnya bisa sampai Rp 25.000 per hari untuk satu orang. Kalau kami bekerja berkelompok, setiap anggota membawa bekal sendiri dari rumah," tuturnya.
     Pekerjaan berkelompok anggota PMD tak terbatas pada urusan mengelola kebun kopi. Setelah musim panen kopi pada bulan Mei-Oktober, mereka beralih menyiapkan lahan untuk menanam jagung, padi, singkong, umbi-umbian, dan kacang-kacangan. Penanaman di lahan ini pun mereka kerjakan bersama-sama sampai masa panen tiba.
     "Kami tidak pernah berhenti bekerja. Selalu ada pekerjaan yang harus diselesaikan kelompok dalam satu tahun. Bekerja juga menghilangkan stres karena dalam kelompok ini kami sering berbalas pantun, bergosip ringan, sampai membahas tentang pemilu dan pemilihan bupati," papar Jut sambil tertawa.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 16 JULI 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar