Kamis, 05 Juli 2012

Franz Limiart PJ: Harumkan Garut Lewat Akar Wangi

FRANZ LIMIART PJ
Lahir: Garut, 21 November 1964
Istri: Joanna (41)
Pendidikan:
- SD Yos Sudarso Garut (1981)
- SMP Yos Sudarso (1984)
- STM Negeri Garut Jurusan Listrik (1987)
- Sekolah Tinggi Pariwisata Trisula Bandung (1989)
- Institut Seni Fotografi dan Desain Bandung (2006)
Penghargaan:
- Perajin Terinovatif Kabupaten Garut (2006)
- Persatuan Jurnalis Indonesia Award, Garut (2009)
- Garut Award (2010)
- Adhi Karya Pariwisata Jawa Barat dari Masyarakat Pariwisata Jawa Barat 
  (2002)
- Pro Mutu Award Indonesia dari Menteri Koperasi dan UKM RI (2011)
- Nomine Piala Upakarti (2011)

Di tangan Franz Limiart PJ, penasaran berujung kecewa menjadi energi yang menghidupkan. Lewat kerajinan akar wangi, perlahan Franz coba memperlihatkan potensi khas Garut yang ditekuni masyarakatnya yang kreatif.

OLEH CORNELIUS HELMY

Saat menghadiri sebuah pameran kerajinan nasional di Jakarta tahun 1998, ia tertarik mengunjungi salah satu stan yang memamerkan kerajinan unik. Kerajinan seperti itu belum pernah ia lihat sebelumnya. Kerajinan tersebut dari susunan serabut akar dan wangi. Penjaga stan memberi tahu nama kerajinan itu dibuat dari tanaman akar wangi (Vetiveria zizanioides).
     Rasa penasaran membuatnya bertanya dari mana asal akar wangi itu. Ia begitu terkejut saat penjaga stan mengatakan asalnya dari penghasil terbaik akar wangi di "Garut Jawa Timur".
     "Informasi pertama mungkin benar. Namun, bila dikatakan Garut ada di Jawa Timur itu jelas keliru. Sebagai warga Garut saya jelas tidak bisa menerimanya dan bertanya dalam hati seudik itukah Garut sehingga tidak dikenal," kata perajin akar wangi Franz Limiart mengingat memorinya dulu, akhir pekan lalu. Siapa tidak kenal Garut, kota yang dijuluki "Swiss from Java" yang kini malah menjadi salah satu primadona pariwisata Jawa Barat.
     Berbekal dari informasi keliru, Franz mulai melakukan studi tanaman akar wangi dan segala produksi ikutannya. Dari penelusurannya, dia menemukan, ternyata ada lima jenis akar wangi yang tumbuh di kawasan Garut. Tanaman itu dalam bahasa Sunda dikenal dengan nama usar. Untuk jenis-jenis tanaman akar wangi itu, masyarakat setempat mengenalnya dengan nama usar jalu atau usar temen, usar bikang, usar tambaga, usar jamaka atau usar paris, dan usar janur. Setiap jenis tanaman itu memiliki kegunaan sendiri-sendiri. Usar temen, misalnya, adalah akar wangi yang banyak dibudidayakan masyarakat untuk diproduksi minyaknya.
     Data Dinas Perkebunan Kabupaten Garut menyebutkan, saat ini ada sekitar 2.400 hektar lahan akar wangi. Lahan akar wangi yang dipercaya mulai ditanam sejak tahun 1918 itu tersebar di lima kecamatan, yaitu Samarang, Pasirwangi, Cilawu, Leles, dan Bayongbong.

Rumput ajaib

     Berbagai literasi juga menyatakan tanaman ini kerap disebut-sebut sebagai rumput ajaib. Sebutan seperti itu merujuk banyaknya manfaat dari akar wangi. Akarnya biasa disuling diambil minyaknya untuk produksi minyak wangi. Indonesia kini menjadi penghasil kedua terbesar di dunia, setelah Haiti. Saat ini, harga minyak akar wangi berkisar Rp 1,1 juta-Rp 1,7 juta per kilogram.
     Akar serabut yang panjangnya antara 1 meter-5 meter juga memiliki kegunaan sebagai pendukung mitigasi bencana alam. Ia sanggup menjadi tembok penahan longsor dan pengikat air. Beberapa negara, seperti Thailand, Malaysia, India, dan Filipina, sudah sukses menerapkannya.
     "Dari sekian banyak kegunaannya, saya pilih kerajinan akar wangi. Sektor ini banyak dikembangkan di Garut," kata Franz.
     Teknis pengolahan dan bahan pendukung yang tepat mulai ia pelajari tahun 2000. Franz di antaranya memilih bahan akar yang tepat, alat yang tepat, serta teknis produksi dan desain yang benar. Franz mengatakan, dia hanya menggunakan usar produksi kebun sendiri yang dikelola secara organik.
     "Desainnya kami arahkan pada minat konsumen Asia. Beberapa di antaranya kerajinan suvenir, sarung bantal, sajadah, hingga lukisan. Orang Eropa kurang menyukainya karena tidak suka aromanya," katanya.
     Akan tetapi, layaknya kerajinan baru lainnya, akar wangi juga kesulitan mendapatkan tenaga kerja terampil. Inisiatif menggagas pelatihan bagi masyarakat Garut pun dilakukan, baik yang dilakukan sendiri maupun yang dibantu sponsor dan pemerintah. Pelatihan dilakukan di beberapa kecamatan, di antaranya di Cilawu, Bayongbong, Garut Kota, Samarang, dan Cikelet. Hingga saat ini, ada sekitar 119 orang terlatih yang menjadi perajin.
     "Banyak di antara mereka yang dulu pengangguran kini punya keterampilan tambahan. Mereka juga mendapat penghasilan yang sangat layak tiap bulan," kata Franz.

Angkat Garut

     Mengusung merek Zocha Graha Kriya (dibaca soca yang berarti 'mata' dalam bahasa Sunda), Franz mulai mempromosikannya lewat beragam pameran kerajinan lokal, nasional, dan internasional. Dia mengikuti berbagai pameran, seperti di Kuala Lumpur (Malaysia), Jepang, Afrika Selatan, dan Singapura sejak tahun 2001.
     Sejak itu, 5.000 item barang rutin dikirim ke Taiwan, Korea Selatan, Singapura, dan Malaysia. Harga jualnya Rp 20.000-Rp 60.000 per item. Peminat juga datang dari Uni Emirat Arab dan Arab Saudi sejak tahun 2005. Barang yang diminta adalah sajadah dengan harga Rp 150.000.
     Sukses mengekspor kerajinan akar wangi ke sejumlah negara tidak membuatnya bahagia. Ia justru prihatin saat Indonesia justru dibanjiri barang sisa atau bekas ekspor tahun 2005. Hal itu mendorongnya mengalihkan penjualan dari ekspor ke pasar lokal. Tujuannya agar masyarakat Indonesia bisa mendapat dan memiliki barang berkualitas.
     "Omzet barang mungkin menurun hampir 50 persen, tetapi harga per item justru lebih tinggi. Sebelumnya, harga rata-rata Rp 90.000 per item, di pasar lokal naik jadi Rp 150.000 per item setelah ditambah sentuhan batik garutan yang menawan. Pasar terbesar ke Jakarta dan Bandung. Itu membuktikan warga Indonesia juga sangat menyukai barang berkualitas," katanya.
     Akan tetapi, Franz mengatakan, kebahagiaan terbesar bukan saat mendapatkan laba besar. Buah ternikmatnya adalah saat kerajinan akar wangi mampu turut mengharumkan Garut. Banyak liputan media massa cetak dan elektronik mengulas akar wangi memicu wisatawan, tokoh nasional, pedagang, peneliti, sampai siswa sekolah sengaja datang ke Garut. Perannya sebagai fotografer alam dan penggiat wisata budaya ikut memuluskan langkah itu.
     "Salah satu alasan saya tidak membuka cabang karena ingin pembeli datang langsung ke Garut. Saya berharap, dengan datangnya pembeli ke Garut, banyak kerajinan, wisata, dan kuliner khas Garut ikut terangkat potensinya. Semoga akar wangi bisa memberi jalan menuju harapan yang lebih baik," kata Franz.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 6 JULI 2012

2 komentar: