Jumat, 20 Juli 2012

Toto Fibri Kurniawan: Cita-cita Kaus Tulungagung

TOTO FIBRI KURNIAWAN

Lahir: Tulungagung, Jawa Timur, tahun 1974
Pendidikan: SMA Katolik Santo Thomas Aquino, Tulungagung 

Tulungagung, wilayah kabupaten di selatan Jawa Timur, seolah terlupakan. Maka, obsesi untuk dikenal dan bangga sebagai orang Tulungagung menjadi pikiran sebagian warganya, termasuk Toto Fibri Kurniawan. Meski telah 14 tahun bekerja dan tinggal di Surabaya, hatinya gelisah.

OLEH DODY WISNU PRIBADI

Dulu, Tulungagung adalah salah satu daerah industri rokok, seperti Kediri, Blitar, dan Malang. Kini, banyak pabrik tutup. Industri konfeksi pernah jaya pada dekade 1990-an, tetapi terempas, kalah bersaing dengan tekstil China. 
    Di wilayah selatan pun, di daerah Besole, pernah tumbuh kerajinan marmer. "Para pelaku industri hiasan marmer terjebak perang harga. Kerajinan yang dulu keren, misalnya kuda marmer setinggi 1 meter, lalu diproduksi sembarangan asal murah. Jadinya marmer Besole tak berkilau lagi," cerita Totok, panggilannya.
     Kabupaten Tulungagung kini hanya ditopang ekonomi buruh migran yang sulit diperoleh datanya karena banyak di antara mereka diberangkatkan perusahaan pengerah tenaga kerja dari Malang dan Surabaya. Selebihnya kota ini bertahan dengan ekonomi APBD, menjadikan pegawai negeri sipil seolah strata sosial tinggi di masyarakat.
     Totok yang gelisah, pulang dari Surabaya tahun 2008 karena terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Berbekal pesangon sekitar Rp 50 juta, ia kembali ke Tulungagung. Ia menghabiskan banyak waktu dengan menjelajah dunia maya. Dari sini dia mendapat ide untuk berbisnis kaus, cendera mata, dan oleh-oleh khas tulungagung.
     Dia sempat tinggal beberapa waktu di Yogyakarta untuk mempelajari bisnis terkait dengan cendera mata dan oleh-oleh khas Yogyakarta. Ia memutuskan membuat kaus, vandel, gantungan kunci, pin, dan pernak-pernik seperti mug. Barang-barang produksinya itu "menjual" budaya dan nilai-nilai masyarakat Tulungagung.
     Totok bermitra dengan temannya, Miswanto yang suka mengumpulkan buku-buku lama, lalu memilihkan tema lukisan dan "kata-kata".
maka, munculah sejenis kata-kata mutiara dan nasihat khas Tulungagung di kaus produknya.
     Desain salah satu kaus itu, misalnya, memelesetkan tulisan Yahoo dengan tipografi yang saa menjadi "Yooh!.. Ngopi", yang merupakan ucapan warga setempat untuk mengajak rekannya ke warung kopi.
    Contoh lain, mug putih dengan tulisan yang tipografinya mirip produk rokok yang kebanyakan iklannya berkata-kata unik. Mug itu, antara lain, bertuliskan "Djian mening", istilah setempat jika melihat sesuatu yang bagus atau perempuan cantik.
     Ada lagi desain tudingan Paman Sam saat memobilisasi generasi muda AS pada 1940-an dengan pernyataan "We want you!". Ide semacam ini sebelumnya marak di Yogya, antara lain lewat pelesetan merek rokok Marlboro menjadi Malioboro. Resep serupa terbukti masih berlaku untuk Totok dan Tulungagung.

Lewat internet

     Totok membuka gerai penjualan suvenir khas Tulungagung di Jalan MT Haryono, Tulungagung, selain memasarkan karyanya lewat Facebook. Produknya berlabel "Gadhe Toeloengagoeng". Gadhe singkatan dari gegayuhan kang gede atau cita-cita yang besar.
     Omzet penjualannya setiap bulan rata-rata masih di bawah Rp 10 juta. Namun, bagaimanapun ini hal baru untuk Tulungagung. Pemerintah Kabupaten Tulungagung langsung memesan kaus darinya. Kaus dan desain produknya itu dijadikan sebagai cendera mata bagi para tamu pemerintah setempat, termasuk saat Tulungagung menjamu rombongan pebalap, ofisial, dan pengurus balap sepeda Tour de East Java (2010).
     Promosi yang dia lakukan, antara lain, membuat semacam halaman khusus bagi pengunjung di Facebook Gadhe. Di sini ia tak sekadar mempromosikan produknya, tetapi juga mengetengahkan aneka kenangan dan kisah tentang Tulungagung. Ia memajang potret kegiatan SMA Tulungagung tahun 1959 dan membumbuinya dengan catatan singkat.
     Facebook dan industri rumahan kaus Gadhe pun tumbuh menjadi komunitas. Situs Gadhe merefleksikan Tulungagung sebagai medan percakapan mereka yang menyukai Tulungagung saling menyapa, saling menengok, dan membentuk ikatan emosional.
    Komunitas Facebook-nya menemukan cara memahami Tulungagung dengan cara berbeda meski mereka tetap berpegang dengan nilai-nilai lokalnya yang disebut "guyub" (rukun). Ini, antara lain, terkait dengan isi pesan pada kaus Gadhe serta gambar-gambarnya yang memotret dan menjadikan penanda Kota Tulungagung agar terangkat dan terpopulerkan melalui kaus Gadhe.
     Totok, antara lain, memajang gambar Terteg Plengkung Mangoensari (terteg=kreteg=jembatan), jembatan di dekat pasar yang biasanya tak dipedulikan orang. Namun, ketika gambar itu "dimediakan", mendadak menimbulkan kenangan dan semangat lokal.
     Inilah yang rupanya penting dilakukan dari sudut pandang perubahan sosial untuk mendorong semangat kolektif lokal. Mereka kemudian membawanya ke arah produktivitas serta pikiran positif tentang bagaimana masyarakat memahami diri dan komunitasnya.

Kebanggaan warga

     Totok mengaku pada awalnya dia tidak berencana membangun sebuah gerakan apapun kecuali sekadar menyelamatkan pesangon PHK-nya untuk dijadikan sebagai bisnis yang menjanjikan. Kebetulan dia masih melajang sehingga bisa berkonsentrasi dengan karyanya.
     Dia tidak menyadari bahwa apa yang dilakukannya itu adalah upaya membangkitkan emosi lokal yang sudah lama hilang, yakni kebanggaan sebagai warga sebuah komunitas. Sebagai contoh, Totok mengangkat gambar Arca Dwarapala lewat produk kausnya. Arca itu dalam keseharian warga bisa dikatakan seolah sudah lama dilupakan, padahal itu penting sebagai identitas budaya.
     Arca Dwarapala dipastikan sebagai ciri sebuah pusat peradaban. Arca Dwarapala di Tulungagung terasa istimewa karena arca batu setinggi sekitar 1 meter di atas tugu ini berdiri berpasangan di tepian jalan di empat pintu masuk Kota Tulungagung. Jumlahnya delapan buah di seluruh kota.
     Sampai sekarang tak ada informasi arkeologis yang bisa menjelaskan kapan dan mengapa arca ini berada di tempat-tempat tersebut. Gambar arca yang dipajang pada salah satu kaus Gadhe, bersama ikon kota lainnya, seperti jembatan, makanan khas tape, atau toko 555, menimbulkan ikatan sosial baru. Itu semua menjadikannya terangkat dan seolah "dirayakan" kembali.
     Totok pun pintar memilih kalimat kebajikan Jawa pada karya produksi kaus yang dijajakannya. Tulisan ini dia sablonkan pada bagian belakang kaus.
     Salah satunya bertuliskan nasihat "ratu kang watek berbudi bawa leksana ambeg paramarta kusumo rembesing madu wijiling atapa iku mesthi dipundi-pundi dening para kawula", yang artinya kira-kira pemimpin yang rendah hati dan berbudi, seperti bunga yang merembeskan madu, hasil pertapaan yang mendalam, niscaya dia dipuji rakyatnya.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 20 JULI 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar