Selasa, 01 Maret 2011

Bangkitkan Motif Songket yang Terpendam


BIODATA

Nama : Sanuar
Lahir : Pandai Sikek, Sumatera Barat, 1926
Suami :
- Anwar Jalil (almarhum)
- Ahmad Ramli Dt Rangkayo Sati (almarhum)
Anak :
- Adean Anwar
- Syahdiar Anwar
- Rozamon Anwar
Cucu : 14 orang
Pendidikan : Pesantren Hidayatul Islamiyah, Pandai Sikek, 1930

Empat puluh tahun silam, Sanuar sibuk memutar otak. Di hadapannya terhampar berlembar-lembar kain songket kuno. Guratan benang kain songket itu sangat samar lantaran termakan usia. Pantang menyerah, dia lalu menghubungkan benang demi benang kain-kain songket itu dan menjadikannya utuh sesuai motif songket aslinya.

Oleh AGNES RITA SULISTYAWATI

Itulah yang dikerjakan Sanuar dari hari ke hari pada tahun 1970-an. Sebersit keyakinan tumbuh dalam diri perempuan yang kini berumur 83 tahun itu. Dia merasa harus melestarikan motif tua songket yang diperkirakan berumur ratusan tahun itu.
"Tak ada buku tentang motif tua songket yang bisa Nenek (demikian Sanuar membahasakan dirinya) jadikan panduan untuk membuat ulang motif tua. Satu-satunya jalan adalah menghubungkan motif yang satu dan lainnya dari kain yang sama," katanya.
Rekonstruksi motif dia lakukan terus-menerus. Ia tak ingat jumlah motif yang telah dibuat ulang, yang jelas ratusan motif kain songket tua sebagian kain kondisinya sudah terkoyak telah "diselamatkan" dari kepunahan.
Saat sebagian pemilik tak lagi memerlukan songket tua, Sanuar justru dengan senang hati mengoleksi kain itu. Kerap kali ia membeli songket tua dari tetangga atau pemilik yang tak lagi menginginkan lagi kain tenunan tangan itu.
"Bagi Nenek, kain itu sangat berharga karena menjadi contoh motif tua. Begitu berharganya, Nenek tidak mau melepas kain tua itu walaupun ada yang menawar puluhan juta rupiah," ujarnya.
Sanuar bercerita, kain tua yang pernah dipakai Rozamon, putri bungsunya pun pernah ditawar orang. "Kain songket tua itu, selain motifnya bagus, paduan warnanya juga indah," ujarnya.
Tawaran harga juga ditujukan kepada kain tua lainnya, tetapi Sanuar bersikeras tak mau melepas kain hasil rekonstruksinya itu meski akhirnya salah satu kain tuanya dilepas setelah HM Jusuf Kalla datang ke Pandai Sikek dan langsung menyatakan niat membeli kain tersebut.
Selain Jusuf Kalla, Megawati Soekarnoputri semasa gadis juga kerap mengoleksi songket motif tua. Sanuar mengingat, suatu hari Megawati berlari-lari menaiki tangga tokonya. Rupanya, salah satu kain buatan Sanuar telah memikat putri Soekarno itu. Berselang sehari, Megawati kembali membeli kain tersebut.

Belajar dari alam

Sanuar lahir di lembah diantara dua gunung: Merapi dan Singgalang. Dia tak ingat tanggal lahirnya, tetapi ia masih mengenang kesamaan suasana tanah kelahirannya dulu seperti saat ini. Daerah berhawa sejuk itu berada di antara ruas jalan dari Kota Padang Panjang-Bukittinggi, tepatnya di Nagari Pandai Sikek, Kecamatan X koto, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
Alam yang indah itu diyakini Sanuar menginspirasi nenek moyang ketika melahirkan motif-motif songket.Sejumlah motif songket lahir dari alam. Sebut saja pucuak rabuang alias pucuk bambu dan itiak pulang patang. Motif tua juga mempunyai makna. Pucuak rabuang, misalnya, menandakan orang yang berguna sejak muda hingga tuanya.
Beberapa motif dia beri nama lantaran tidak ada buku referensi atau orang tua yang bisa mengenali nama motif tersebut. Salah satunya adalah motif salapah-salapah atau ruas.
Penjajahan Belanda dan Jepang sejak tahun 1940-an membuat Sanuar kehilangan kesempatan belajar menenun. Biasanya, keterampilan menenun merupakan warisan turun-temurun bagi putri-putri Pandai Sikek. Para putri dibekali kemampuan menenun agar setelah setelah mempunyai anak, sang ibu bisa membuatkan pakaian bagi anak mereka.
Apa daya, penjajahan mengubah kebiasaan warga Pandai Sikek. Warga sempat lari mengungsi, menghindari kekejaman penjajah yang acapkali membakar rumah penduduk. Saat Perang Dunia II pecah, Sanuar sempat mengungsi ke hutan di Gunung Singgalang hampir selama dua bulan.
Para ibu berupaya menyimpan songket yang mereka miliki agar tidak musnah terlalap api. Songket disimpan di sela batang-batang bambu yang tahan api sehingga harta berharga keluarga itu bisa diselamatkan bila api membakar rumah.
Sanuar memperkirakan, kekejaman penjajah juga menghanguskan kain songket yang tak sedikit. karena itu, kain yang selamat menjadi harta yang sangat berharga, terutama karena motifnya tua dan langka.
Keterputusan generasi akibat masa perjuangan kemerdekaan itu membuat Sanuar mendapatkan keahlian menenun bukan dari ibu, tetapi dari kawan-kawan yang masih sempat belajar menenun. Setelah menikah dengan Ahmad Ramli Datuk Rangkayo Sati, dia mulai merekonstruksi motif tua. Ahmad Ramli sendiri terkenal sebagai pelukis dan seniman ukir, salah satu seni yang juga menjadi ciri khas Pandai Sikek.
"Selain membangkitkan ukiran, almarhum suami Nenek itu jugalah yang mendukung Nenek belajar menenun dan melestarikan motif tua. Kami membangkitkan kembali apa yang terpendam," kenang Sanuar.
Ahmad Ramli juga mempercantik rumah gadang milik keluarga Sanuar. Dinding rumah dari kayu itu dipenuhinya dengan ukiran. Di rumah gadang itu pula, Sanuar membuka rumah tenun songket dengan nama "Pusako".
Songket yang sebelum kemerdekaan digunakan untuk kebutuhan keluarga mulai menjadi penghidupan bagi masyarakat setempat. Ketiak awal membuka usaha itu, Sanuar dibantu sekitar 100 penenun. Dia mendidik penenun agar bisa menenun motif tua yang rumit. Tak jarang, satu kain berukuran 100 cm x 185 cm baru selesai setelah tiga bulan. Lamanya proses menenun ini pula yang membuat harga songket melambung hingga belasan juta rupiah.
Jumlah penenun itu kini merosot hingga setengahnya lantaran banyak kaum muda Pandai Sikek memilih pergi merantau. Ada pula kaum muda yang membawa alat tenun mereka ke kota agar bisa tetap menenun di waktu senggang.
"Lumayan, hasil menenun itu bisa untuk uang saku anak-anak atau untuk membayar sekolah," tuturnya.
Sanuar juga menandai pergeseran kualitas bahan tenun. Benang emas yang digunakan pada kain tua adalah benang asal Makau. Benang ini mengandung banyak emas, kendati berumur ratusan, kilau emas tetap terlihat. Pada zaman penjajahan, impor benang terputus. Ini juga yang menjadi faktor penyebab terhentinya kegiatan menenun. setelah penjajahan berakhir, benang emas yang masuk ke Indonesia berasasl dari India.
Walaupun zaman bergeser, Sanuar tetap konsisten dengan motif tua. Tidak ada motif baru yang dikerjakannya. Pada saat penglihatannya menurun, Sanuar tetap mendesain seluruh motif, menentukan warna yang akan dipakai, serta ukuran kain. Bahan-bahan menenun juga dia sendiri yang memberikannya kepada para penenun.
Songket yang semula hanya berwarna merah, hitam, merah marun, dan kuning, belakangan bisa dibuat dengan warna yang lebih beraneka. Terobosan inilah yang membuat songket Pandai Sikek dikenal di seantero Indonesia, bahkan sampai ke luar negeri.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 28 APRIL 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar