Kamis, 31 Maret 2011

Tawa Amirudin, Mentor bagi Petani Asing


BIODATA

Nama : Tawa Amirudin
Lahir : Pasawahan, Kuningan, Jawa Barat, 16 Mei 1959
Istri : Eni Darsini (47)
Anak : Yayat Hidayat (29), Asep Rohayat (24), Yoyon Jonhana (16)
Pendidikan : Lulus SMP Negeri Cikahalang, kabupaten Cirebon, 1975
Organisasi : Ketua KUD Bina Bakti, Kecamatan Pasawahan Anggota Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jawa Barat.
Penghargaan :
- Pemuda Tani Terbaik se Jawa Barat dari Departemen Pertanian, 1985
- Pembimbing pada pertukaran petani dari Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertanian
2007

Tak terbayang secuil pun dalam benak Tawa Amirudin bakal menjadi pembimbing atau mentor bagi petani-petani asal Afrika. Padahal, 25 tahun silam, dia hanyalah petani muda yang punya kesempatan magang di rumah seorang petani di Yokohama, Jepang.

Oleh TIMBUKTU HARTHANA

Sudah tiga tahun ini, sejak 2006, suami Eni Darsini ini punya pekerjaan rangkap. Selain bertani dan menjual pupuk di kiosnya, dia kini berprofesi sebagai seorang mentor bagi petani-petani pemula dan juga petani asing yang ingin mengetahui pola bercocok tanam ala petani Indonesia.
Kebetulan, petani asing yang banyak belajar di tempatnya, Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Swadaya (P4S) Cara Tani Kuningan, berasal dari Benua Afrika. Tahun ini, lima petani dan seorang staf dari lembaga pertanian Senegal bertandang ke pondoknya. Sementara itu, tahun lalu enam petani asal Gambia menimba ilmu kepadanya. Mereka semua belajar dan praktik langsung di sawah-sawah milik petani di Desa Pasawahan, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan.
"Tahun ini tak hanya petani Afrika. Ada juga satu petani Madagaskar, tiga petani Myanmar, dan dua petani asal Kamboja. Totalnya ada 12 orang. Mereka itu peserta dari program yang dibuat Departemen Luar Negeri RI bersama Departemen Pertanian," ujar Tawa yang dipercaya menjadi mentor bagi petani asing itu dalam Apprenticeship Program for Asian & African Farmers in Indonesia 2009.
Tawa mengakui, tidak gampang mengajari atau bertukar pikiran dengan petani dari negara dan budaya berbeda. Kendala pertama adalah bahasa. Untungnya, laki-laki yang lahir 50 tahun lalu di Kuningan ini ditemani dua temannya yangcakap berbahasa Inggris. Masalah kedua, tak jarang petani yang magang bukan petani padi. Bahkan, ada diantara mereka yang peternak sapi.
Akibatnya, beberapa kali petani asing itu bersikap asal-asalan, tidak bersemangat belajar, dan enggan berpartisipasi. Padahal, tujuan mereka adalah menimba ilmu yang bisa digunakan untuk mengembangkan sektor pertanian di negaranya.
Bekerja menjadi mentor diakuinya harus lebih sabar agar ilmu dan pengalaman bertani yang diberikan bisa diterima dengan baik oleh petani-petani didiknya. Terkadang, keinginan untuk sedikit berbicara keras agaar petani asing itu semangat belajar harus dikubur dalam-dalam. Sebab, dia tak ingin hal itu ditanggapi lain oleh peserta magang. Namun, dia tak segan marah jika peserta magang adalah petani asal Indonesia. sebab, tujuan utama belajar adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani itu sendiri.
Untungnya, pengalaman menjadi pendidik bukan baru pertama kali dilakoninya. Sebab, sejak sekitar 10 tahun yang lalu rumahnya selalu menjadi rujukan bagi siswa-siswi Sekolah Menengah Pertanian Atas (SPMA) dari Garut, Indramayu, Bogor, dan Sumedang. Acapkali rumahnya menjadi tempat berkonsultasi para petani untuk mencari jawaban atas masalah pertanian yang mereka hadapi.
Tak hanya itu. Karena pernah magang bertani selama 9 tahun di Jepang, melalui organisasi Ikatan Alumni Magang di Jepang (Ikamaja), Tawa pun mendapat kepercayaan dari Dinas Pertanian Kuningan untuk membekali semangat para petani yang akan berangkat magang ke Jepang.

Praktik dengan petani

Saat ditanya dari mana dia memperoleh materi yang diberikan kepada anak didiknya atau petani-petani asing itu, jawabannya singkat, yaitu dari pengalamannya bertani. Hampir semua yang ditularkan itu berasal dari hasil kerjanya dan pengamatan di lapangan. Namun, itu juga didukung pelatihan dan pembekalan teori dari sejumlah balai besar pertanian di Jawa Barat, penyuluh pertanian dari dinas di daerah, maupun Departemen Pertanian.
Saat mengajari petani asing dia tak sekadar memberikan cara bertani ala petani Indonesia. Sebelumnya, dia mencari informasi tentang kondisi lahan dan model bertani yang berkembang di negara asal petani asing itu. Informasi tersebut, katanya diperoleh dari Departemen Pertanian atau petani yang pernah magang di luar negeri.
"Jadi, saat mendidik petani yang lahannya seperti di pantura (pantai utara) dengan yang dari gunung jelas beda pola pengolahan lahan yang disampaikan. Tiap lahan punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing," tambahnya.
Dari sawah sewa miliknya seluas 3,5 hektar, Tawa mengajarkan pola bercocok tanam yang dianggap, bahkan terbukti mampu meningkatkan produktivitas lahan. Mulai dari proses menyemai, membajak, menanam, menyiangi, memupuk, sampai memanen padi yang telah menguning. Hampir 90 persen adalah praktik di sawah dan sisanya teori atau sekadar obrolan bertukar pengalaman.
dia pun bersikeras, petani yang magang di tempatnya juga harus bisa belajar langsung dari petani-petani di desanya.Contohnya, , para petani asing diminta membantu petani lokal, dengan maksud bisa menyerap teori yang telah atau akan disampaikan nantinya. Sebab, hal pertama yang ingin Tawa tularkan kepada para petani adalah pola tanam dan pemeliharaan yang mengacu pada produktivitas tinggi dengan biaya produksi yang minimal.
Sebelum mulai bercocok tanam, para petani diarahkan memilih benih berkualitas dan juga memerhatikan kondisi lahan yang akan digarap, berupa hamparan atau lereng. Untuk pola tanam dan pemeliharaan, Tawa menularkan sistem legowo atau system rice intensification (SRI), mengatur jarak tanam agar produktivitasnya maksimal.
Ada juga pengenalan pola tanam benih langsung (tabela), yang sangat cocok diterapkan pada musim kemarau, atau daerah yang pasokan airnya terbatas. Yang tidak kalah pentingnya, menyadarkan petani melakukan pemupukan berimbang yang kerap mereka abaikan. Sebab, dengan memupuk padi sesuai aturan dan kebutuhan tanah, efisiensi biaya produksi bisa mencapai 25 persen.
"Memang, saya mengajarnya tidak urut seperti jadwal karena menyesuaikan dengan sawah tempat praktik.Kan praktik tidak bisa seperti teori," ujar Tawa yang mendokumentasikan kegiatan pemagangan itu ke dalam cakram untuk dibagikan kepada petani asing tersebut.

Etos kerja

Hal kedua yang ingin dia tularkan adalah nonteknis, yaitu berkaitan dengan etos kerja petani. Menurut dia, petani di negara berkembang, termasukIndonesia, masih menganggap pekerjaan mereka adalah pekerjaan sampingan yang tak perlu perhitungan serius. Akibatnya, para petani tidak memiliki manajemen usaha yang baik dan ujung-ujungnya selalu merugi.
Etos kerja yang dia inginkan adalah seperti petani di Jepang. Diantaranya, petani harus disiplin dan tak bergantung pada satu sumber komoditas. Disiplin dalam waktu dan cara bertani yang mengikuti aturan, seperti pemupukan berimbang.
Berkaitan dengan etos kerja, ternyata semangat pemuda untuk terjun ke dunia pertanian sangat rendah, bahkan mereka tampak enggan. Itu terbukti dari pengamatannya di lapangan. Lebih banyak orang tua yang bertani dibandingkan dengan anak muda. Tahun 1990-an masih banyak dijumpai petani berusia di bawah 30 tahun, tetapi sekarang petani usia 35 tahun ke bawah sudah sangat jarang ditemui. Mereka yang bekerja di sawah sebagian besar berusia 40 tahun ke atas.
Tawa khawatir, 5-10 tahun ke depan tak ada lagi petani muda di Indonesia. Padahal, sektor pertanian merupakan lapangan usaha yang menyerap banyak tenaga kerja. Karena itu, dia berharap pemerintah lebih memfasilitasi petani-petani muda untuk belajar bercocok tanam yang baik dan produktif. Tawa juga menyatakan siap untuk menjadi mentor mereka.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 3 JUNI 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar