RAHMANSYAH
Lahir : Jakarta, 8 Juli 1973
Pendidikan terakhir : SMA Wahid Hasyim, Jombang, Jawa Timur (lulus 1991)
Nama istri : Dyah Sevie Risprandini (31)
Nama anak : Anangya (7)
Siapa sangka, di sebuah toko tas kamera yang dikelola tradisional sekelas produksi rumah tangga, fotografer ternama dunia, seperti John Stanmeyer (salah satu pendiri VII Photo Agency) dan James Nachtwey (fotografer perang ternama), pernah singgah dan membeli produk di sana.
OLEH AMIR SODIKIN DAN EDDY HASBY
"Saya tak tahu bagaimana mereka sampai mendengar kalau ada pembuatan tas di Manggarai ini," kata Manca (37), yang punya nama lengkap Rachmansyah ini, sambil menyodorkan foto yang memperlihatkan Manca bersama Stanmeyer.
Foto itu sudah luntur karena lokasi itu pernah kebanjiran. Manca tetap menyimpan foto dalam bingkai yang mulai kusam itu. "Buat bukti dan kenang-kenangan," kata Manca.
Komunitas fotografer di Indonesia juga sudah akrab dengan tas-tas buatan Manca. Kios kecilnya di bilangan Manggarai, Jakarta Selatan, menjadi tujuan menarik para pencinta fotografi karena harganya lebih murah dibandingkan dengan produk-produk bermerek yang masih diimpor.
Artrek, demikian brand yang dibuat Manca saat ini. Selain mengerjakan pembuatan tas atas dasar pesanan (desain dari pengguna), Manca juga membuat tas dengan desain sendiri. Artrek juga mendistribusikan produknya ke beberapa kota di Indonesia.
Bisnis tas kamera ini merupakan potret jeli merebut peluang yang sedang berkembang saat ini. Era digital menjadi berkah tersendiri, ditandai banyaknya anak yang masih remaja yang sudah punya kamera digital berkualitas.
Di balik kejelian mengintai peluang itu, ternyata Manca hanyalah lulusan SMA. "Semua saya lakukan awalnya karena hobi. Kemudian belajar dari berbagai kegagalan dan pengalaman, akhirnya bisa seperti ini," katanya.
Perjuangan hidup
Manca lulus SMA tahun 1990. Ia merasa sendirian melakoni hidupnya karena harus berpisah dengan orang tua.
Ia memutuskan menekuni dunia outdoor dengan menyediakan peralatan olahraga alam terbuka. Awalnya bisnis perlengkapan outdoor milik Manca hanya bermodalkan dana Rp.500.000. uang itu merupakan sisa penjualan sepeda motornya yang terpaksa ia jual Rp.3 jta untuk kelangsungan hidupnya.
Kisah perjuangan dimulai ketika Manca memulai dengan membeli tas "sisa ekspor" keluaran pabrik yang waktu itu harganya Rp.10.000 - Rp.15.000.
"Saya jual secara door to door. Teman-teman yang suka naik gunung saya tawari. Ternyata tertarik dan banyak yang pesan. Sitem door to door ini saya jalani hingga dua tahun," katanya.
ia akhirnya bisa membuka toko untuk barang-barang kebutuhan olahraga alam terbuka. namun, makin lama makin bosan. Akhirnya ia mencoba berkreasi dengan membuat tas kamera yang didasarkan pada pesanan teman-teman dekat.
"Usaha seperti itu saya lakoni hingga tahun 2000. Saya sendiri hobi motret, iseng motret saja. Dari situ saya banyak kenalan teman-teman fotografer dan sering mendengar keluhan mahalnya harga tas kamera," kenang Manca.
Manca sendiri merasakan susahnya membawa kamera jika tak ditunjang dengan tas yang memadai. "Saya membuat sendiri tas kamera, hanya buat satu sampai dua tas. kata teman , buatannya bagus," katanya.
Ada juga yang membawa contoh tas jadi untuk dibuatkan yang baru. "Awalnya, ssaya buat 10-20 tas saja. Waktu itu memang masih transisi antara jualan tas outdoor dan tas kamera. jadi, belum yakin betul pangsa pasar tas kamera," papar suami Dyah Sevie Risprandini (31) ini.
Jatuh bangun
Saat krisis moneter tahun 1998, bisnis Manca bukannya meredup, tetapi justru menjadi titik tolak kebangkitan.
"Waktu krismon (krisis moneter), harga bahan baku impor jatuh. Saya putuskan memasok bahan baku impor. Dampaknya, pada saat orang-orang menaikkan harga, saya justru menurunkannya," katanya.
Namun, seperti kisah sukses lainnya, bisnis ini juga tak selalu mulus. Manca sempat terpuruk tahun 2003 saat bahan baku tinggi. "Saya berusaha bertahan terus. Misalnya dengan mencari pekerjaan selain membuat tas kamera," katanya.
Ia juga pernah merasakan sakitnya dikhianati teman yang menjadi karyawannya. Kepercayaan yang ia berikan disalahgunakan. Uang hasil order pembuatan tas ditilap oleh teman yang pernah ia tolong itu.
Padahal, teman tersebut tadinya pengangguran yang kemudian diangkat Manca sebagai orang kepercayaan. Tentu saja pihak perusahaan yang telah order barang tak mau tahu soal kisruh di tingkat karyawan Manca itu.
"Saya tetap bertanggung jawab menyelesaikan order klien. Saya tidak memperkarakan teman saya tadi, yang penting fokus saja ke depan. Rezeki sudah ada yang mengatur," kata lulusan SMA Wahid Hasyim, Jombang, Jawa Timur, ini.
Manca, dengan brand Artrek-nya mulai meyakini potensi pasar tas kamera dan bekerja secara penuh memproduksi itu tahun 2002. Selain tas kamera, dia juga mengerjakan order tas-tas lain sebagai sampingan.
"Saya tidak pernah memasang iklan. Ini hanya bisnis dari mulut ke mulut. terus terang, booming era digital membuat bisnis tas kamera ini bergairah," ujar Manca.
Mulai dari anak-anak SMP sudah banyak yang punya kamera digital dari kelas poket hingga DSLR. "Biasanya mereka rela beli kamera mahal, tetapi tak rela jika membeli tas kamera yang mahal," kata Manca.
Toko di pinggir Jalan Manggarai Utara, Jakarta Selatan, selain untuk memajang produk tas, juga dijadikan tempat pembuatan tas yang dikerjakan oleh belasan tenaga kerja.
"Mereka sebagian sudah ikut saya sejak Artrek berdiri. Saya menganggap mereka sebagai keluarga. Mulai masih bujangan, menikah, punya anak, punya rumah, dan punya kendaraan, saya ikut menyaksikan dan mendukungnya," katanya.
Tas kamera buatan Manca menjadi laku karena kompetitif dari segi harga jika dibandingkan dengan tas kamera impor. Selain itu, pengguna profesional juga merasa puas karena bisa mendapatkan tas kamera sesuai dengan desain yang diinginkan.
"Saya beriklan maksimal lewat facebook. Ini bisnis saling percaya saja, selain memang sebuah bisnis itu harus fokus dan perlu ditekuni," kata Manca berulang kali.
Karena itu, tidak mengherankan jika sebagia besar pelanggan Manca adalah mereka yang terlebih dahulu mencari informasi soal tas kamera di internet. Pemasaran dari mukut ke mulut menjalar juga di internet, membentuk viral marketing yang dampaknya tak disadari banyak orang, termasuk oleh Manca sendiri.
Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 3 MARET 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar