BIODATA
Nama : I Gusti Ngurah Gede Pemecutan
Lahir : Denpasar, Bali, 4 Juli 1936
Istri : Anak Agung Sagung Sayu Alit Puspawati
Anak :
- Anak Agung Sagun Meiliawati
- Anak Agung Ngurah Bagus Mahaputra
Penghargaan : Dharma Kusuma Madya dari Provinsi Bali
Tahun 1967 seorang pelukis mendatangi studio lukis I Gusti Ngurah Gede Pemecutan di Kuta, Bali. Mereka memutuskan untuk melukis bersama di kawasan pantai. Ngurah tiba-tiba marah karena si pelukis kelihatannya berbohong. Lukisan karya pelukis itu tak sebaik sketsa-sketsa yang ditunjukkan sebelumnya kepada Ngurah. Oleh PUTU FAJAR ARCANA Kemarahan itu rupanya berimbas buruk pula terhadap karya Ngurah Gede Pemecutan. Lukisan tari barisnya tidak berhasil sebagaimana yang dia inginkan.
"Dalam keadaan marah, kemudian saya rusak lukisan dengan jari-jari, lalu saya tinggalkan," tutur Ngurah, akhir Agustus 2009 di Denpasar.
Beberapa lama berselang, ketika ia bengong dalam studionya, lukisan tari baris itu tampak berbeda. "Saya malah ingat apa yang dilakukan Affandi dengan tangannya. Mulailah saya melukis dengan jari telunjuk," ceritanya.
Kebetulan Affandi dulu sering berkunjung ke rumah pelukis Bambang Sugeng, yang letaknya di depan rumah Ngurah di kawasan Tanjungbungkak, Denpasar.
"Saya sering mengintip mereka ketika ngobrol tentang bagaimana mereka melukis," ujar Ngurah.
Boleh dikata sejak "kecelakaan" karena marah itu, lahirlah lukisan-lukisan yang menggunakan teknik sidik jari. Lukisan-lukisan karya lelaki kelahiran 4 Juli 1936 ini sebenarnya termasuk dalam aliran pointilisme, gaya yang menyatukan titik-titik ssebagai elemen dasar membangun visualisasi.
Bedanya, jikasebagian besar penganut pointilisme menggunakan kuas untuk membentuk titik, Ngurah Gede Pemecutan secara konsisten menggunakan telunjuk. Pada bulatan-bulatan di bidang kanvas secara tidak sengaja tertempel sidik jari si pelukis.
"maka itu lukisan saya tidak bisa dipalsu," kata Ngurah, tertawa pelan.
Lukisan-lukisan sidik jari karya Ngurah pertama kali justru diapresiasi seorang wartawan dari Amerika Serikat yang kemudian menuliskannya dalam majalah terbitan negeri itu, Horizon. Majalah itulah yang membuat tergugah pihak konsulat AS di Surabaya.
"Tahun 1969 saya sudah memamerkan lukisan-lukisan sidik jari di Konsulat Amerika di Surabaya," kenang Ngurah.
Istimewa
Mungkin lantaran tak banyak memiliki pengikut, lukisan sidik jari temuan Ngurah Gede Pemecutn tak pernah mendapat porsi pembicaraan yang memadai dalam membeber sejarah seni rupa modern di Bali.
Sejarah itu selalu dimulai dari pembicaraan upaya-upaya Rudolf Bonnet dan Walter Spies dalam membentuk kelompok Pita Maha di Ubud tahun 1930-an, yang melahirkan gaya Ubud dan Batuan. Lalu, Arie Smit yang memperkenalkan Young Artist tahun 1960-an, dan meloncat pada lukisan-lukisan karya para anggota Sanggar Dewata yag dipelopori Nyoman Gunarsa tahun 1980-an. Tak ada sebabak pun menyinggung peran Ngurah Gede Pemecutan.
Ngurah ibarat seorang otodidak yang tak memiliki juru bicara. Oleh karena itu tak banyak yang berminat menekuni gaya melukisnya.Padahal, seniman ini pernah menjadi penata lukisan koleksi Istana Presiden Tampaksiring semasa Bung Karno.
Ia tidak berhenti pada temuan sidik jari sebagai teknik melukis, tetapi secara tegar mengumpulkan seluruh karyanyanya sejak di bangku SMP hingga kini dalam satu museum.
"Cita-cita membangun museum itu sudah sejak kecil. Saya cuma ingin museum jadi wahana untuk mengenal jejak peradaban, dan yang penting menjadi ruang ekspresi dari generasi ke generasi," tutur Ngurah.
Maka, tahun 1995 berdirilah Museum Lukisan Sidik Jari di atas tanah seluas 1.792 meter persegi di Jalan Hayam Wuruk, Tanjungbungkak, Denpasar.
Dalam museum ini dikoleksi 200 karya Ngurah Gede Pemecutan, berupa lukisan dan benda-benda kerajinan, termasuk peralatan melukis dari ijuk, bulu ayam, sampai kuas dalam pengertian terkini.
Museum ini juga menyimpan karya Ngurah Pemecutan sejak masa SMP tahun 1954 serta karya semasa ia menjadi ilustrator Mingguan Bintang Timur tahun 1959 di Malang, jawa Timur.
Selain rumah tinggal keluarga Ngurah Gede Pemecutan, di komplek ini juga terdapat wantilan, bangunan serba guna bergaya Bali, serta sebuah panggung terbuka.
Di situlah lelaki keturunan raja dari Puri Pemecutan Denpasar ini membangun simpul aktivitas budaya. Ia mengundang para guru untuk mengajar melukis dan menari bagi mereka yang berminat serta memberikan kepada siapa saja untuk menggunakan wantilan secara gratis.
"Silahkan dipakai pentas, seminar, pameran, atau kegiatan lain. Saya tak pernah meminta ongkos," ujarnya.
Keinginan Ngurah Gede Pemecutan sederhana. Di Indonesia museum selalu menjadi tempat menyimpan barang antik yang berdebu dan hanya sesekali dikunjungi.
"Saya ingin, selain museum, di sini juga ada aktivitas kebudayaan," kata Ngurah. Seluruh bangunan dan aktivitas kebudayaan di Museum Lukisan Sidik Jari dibiayai dari hasil penjualan lukisan.
"Seluruhnya saya bangun dan biayai dari hasil lukisan. Saya berpikir, hasildari kreativitas kebudayaan harus dikembalikan pada asal-muasalnya," ujar Ngurah Gede Pemecutan yang turut andil dalam penataan dan pengisian Museum Mandara Giri di Komplek Taman Budaya Denpasar.
Ngurah bahkan menjadi tim inti yang pertama-tama meletakkan dasar penyelenggaraan Pesta Kesenian Bali tahun 1979 silam.
"Waktu itu Gubernur Bali, almarhum Pak Mantra (ProfDr Ida Bagus Mantra), minta saya menangani pameran kerajinan," katanya.
Kebetulan Ngurah Gede Pemecutan juga bekerja di Departemen Perindustrian yang mengurusi pengembangan kerajinan Bali. Dari tangannyalah kemudian meluncur desain-desain awal bentuk-bentuk kerajinan fungsional, seperti tempat tisu, tempat pensil, dan bingkai cermin. Berbagai bentuk desain kerajinan itu juga tersimpan rapi di museumnya.
Meski kini sudah berumur, Ngurah Gede Pemecutan seperti tak mau berhenti. Ia tetap melukis dan menuliskan kata-kata puisi jika malam-malam menjadi panjang, karena ia tidak bisa tidur.
Puisi-puisi itu dia pahatkan dalam lempeng-lempeng beton yang menyerupai prasasti, ditancapkan di areal kompleks museum. Pada penggalan puisi pertamanya, "Pengabdian", ia menuliskan, "...Hidup ini bagai mimpi/Sepintas lalu pergi//Tapi kuingin hidup ini berarti/Penuh isi dan abadi/Jangan harapkan balas budi...//
Di situlah Museum Lukisan Sidik Jari berdiri sebagai monumen hidup, yang mencatatkan perjalanan seorang tua yang tak lelah mencipta dan memberi segala yang dia miliki.
Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 7 SEPTEMBER 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar