Kamis, 17 Maret 2011

Komar, berterima Kasih kepada Bau


BIODATA

Nama : Komar Purnama
Lahir : Sumedang, Jawa Barat, 14 Maret 1966
Istri : Diah Ismawati
Anak :
- Ita Purnamasari
- Regina Intan Purnama
Pendidikan :
- Sekolah Dasar Negeri Haurngombong I, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang,
Jawa Barat.

Komar Purnama berterima kasih kepada bau. Karena bau, dia dan warga Desa Haurngombong, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, bisa memasak dengan kompor gas. Mereka pun tidak perlu khawatir bakal kegelapan saat aliran listrik mati karena ada genset berbahan bakar biogas yang siap menggantikannya.

Oleh DOTY DAMAYANTI

Kisahnya berawal ketika enam tahun lalu para tetangga protes atas bau kotoran sapi perah yang dipelihara Komar. "Saya jadi enggak enak hati sama mereka. Saya lalu mencoba mencari tahu bagaimana caranya supaya bau kotoran sapi itu bisa hilang," ujar Komar.
Rumah Komar berada di atas lahan yang ditinggikan. adapun kandang sapinya yang relatif terawat bersih ada di kolong rumah. Suara lenguhan sapi terdengar jelas dari teras dari atas teras kayu tempat penghuni rumah biasa berbincang.
Sampai suatu hari Komar menonton tayangan tentang pemanfaatan kotorn sapi untuk biogas di televisi. Dia merasa tertarik untuk mencobanya.
Waktu itu, tahun 2003, harga peralatan untuk membuat biogas sekitar Rp.1.5 juta, atau sama dengan harga seekor sapi. "Ini terlalu mahal buat saya," kata Komar.
Ia lalu memutar otak, mencoba membuat peralatan biogas sebagaimana yang ada di brosur yang didapat Komar, dengan menggunakan bahan-bahan bekas.
Konsep pembuatan biogas sebenarnya cukup sederhana. Gas metana dihasilkan dari kotoran sapi yang disimpan di dalam reaktor atau tempat penampungan. Tempat penampungan bisa terbuat dari beton atau plastik. Gas yang dihasilkan lalu dialirkan ke tempat penyimpanan.
Idealnya, tempat penyimpanan gas terbuat dari fiber. Namun, bahan plastik pun bisa digunakan. Dengan modifikasi bahan-bahan yang lebih sederhana itu, Komar hanya menghabiskan biaya Rp.450.000 untuk satu set peralatan biogas.
Setelah tiga bulan mencoba barulah dia berhasil. Kotoran sapi peliharaannya dapat menghasilkan biogas yang bisa dipakai untuk memasak. Kotoran sapi yang sebelumnya menjadi limbah itu tidak hanya hilang baunya, tetapi juga bisa bermanfaat.
Para tetangga yang tadinya protes atas bau kotoran sapinya sekarang ikut merasakan hasilnya. "Mereka yang enggak punya sapi sampai antre buat ngambil kotorannya, untuk diolah menjadi biogas," cerita Komar.

Bekerja serabutan

Belakangan ini di Desa Haurngombong ada sekitar 100 kepala keluarga yang sudah menggunakan biogas untuk memasak. "Kami sudah sejak empat tahun lalu tidak lagi 'mencium' bau minyak tanah," kata Komar sambil tertawa.
Padahal, Komar sebenarnya tidak punya latar belakang keahlian peternakan. Pendidikan formalnya sampai lulus sekolah dasar. Itu pun kini dia tidak lagi bisa menunjukkan ijazahnya karena tanda lulus SD itu turut hangus ketika rumah orangtuanya terbakar.
Pendidikan formal yang "minimal" membuat kesempatan kerjanya pun terbatas. Komar pernah bekerja serabutan, mulai dari menjadi buruh bangunan, pelayan toko, sampai sopir angkutan kota.
Namun, rasa ingin tahu dan keinginan yang besar untuk mengubah nasib mendorong ayah dua anak ini tak berhenti belajar. Melihat salah satu kerabatnya mampu membeli sapi melalui kredit dari bank, Komar turut tergerak untuk mencoba beternak sapi perah.
"Saya menumpang kredit sapi pada saudara, tahun 1993. Awalnya saya punya dua sapi, kemudian beranak pinak," ceritanya.
Pekerjaan memelihara sapi dilakukan Komar sembari tetap menjadi sopir mobil sewaan. Setelah beberapa tahun sapi miliknya bertambah menjadi lima ekor. Hewan peliharaannya itu lalu dia jual pada tahun 2001 untuk membeli mobil bak terbuka yang kemudian dia sewakan.

Relatif murah

Keberhasilan peralatan biogas dengan harga relatif murah bikinan Komar itu terdengar sampai ke Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung. Kerja sama pembinaan di antara kedua pihak kemudian disepakati pada 2006.
Lewat kerja sama itu Komar menjadi tahu lebih banyak tentang pemanfaatan biogas. Setidaknya dibutuhkan dua ekor sapi untuk menghasilkan kotoran dalam jumlah yang memadai agar produksi biogas stabil.
"Kalau gasnya mau stabil, minimal volume kotoran sapi di satu penampungan itu 5 meter kubik. Gas yang dihasilkan bisa menyalakan satu kompor selama 2-3 jam," jelasnya.
campuran pakan juga berpengaruh pada kualitas gas yang dihasilkan. Sapi yang pakannya diberi campuran ampas tahu dan konsentrat menghasilkan kotoran dengan kandungan metana lebih tinggi daripada sapi yang hanya makan rumput. Biogas yang dihasilkan pun lebih baik.
"Kalau untuk memasak, memang tidak terlalu terlihat perbedaannya. Tetapi, begitu dipakai untuk genset, hasilnya kelihatan lebih baik," katanya.
Ketika sapi peliharaan warga setempat semakin banyak, penggunaan biogas pun meluas tidak hanya untuk memasak. Gas berlebih itu sayang kalau tidak dimanfaatkan. Kebetulan suatu kali Komar bertemu seorang manajer di PT Perusahaan Listrik Negara wilayah distribusi Jawa Barat dan Banten. Dia lalu mendapat bantuan 10 genset.
Setiap genset rata-rata memiliki daya 450 watt. Genset itu dinyalakan pada malam hari atau ketika terjadi pemadaman listrik. "Lumayan, warga jadi bisa menghemat biaya listrik sampai setengah dari tagihan biasanya," katanya.
Komar telah memetik hasil manis dari usahanya. Di kandangnya ada 16 ekor sapi. Dari jumlah itu, delapan sapi milik dia, sedangkan sisanya adalah milik warga yang dititipkan kepadanya.
Ia juga tidak perlu lagi bersusah payah membersihkan kotoran sapi sendirian. Ada tiga pekerja yang mengurusnya. "Alhamdulillah, dulu saya bekerja pada orang, sekarang saya bisa mempekerjakan orang," ucapnya.
Hari-hari Komar belakangan ini disibukkan dengan membagi ilmu tentang penggunaan biogas di berbagai kota, seperti Semarang, Malang, sampai Pontianak. Ia baru saja kembali dari Malang, memberi pelatihan kepada kelompok peternak binaan PT Perusahaan Listrik Negara.
"Di Pontianak, potensi biogasnya luar biasa karena banyak lahan gambut. Ibaratnya, tinggal ngebor di bawah rumah, kita sudah dapat gas. Masalahnya, masyarakat khawatir terjadi kasus semburan lumpur seperti di Sidoarjo. Padahal bisa aman karena dalamnya tidak sampai 40 meter."
Biogas sebenarnya lebih efektif dipakai pada suhu ruangan diatas 30 derajat celsius. Menurut Komar, daerah pantai utara Jawa juga berpotensi untuk pengembangan biogas.
"Sayang masyarakat setempat tidak terbiasa mengandangkan sapi," kata pria yang suka memakai motor trail menjelajahi wilayah Sumedang sampai ke Bandung ini.
Komar mengaku masih menyimpan cita-cita memperluas penggunaan biogas. Kalau ada dana, dia ingin membikin konstruksi biogas yang bisa menampung 20 meter kubik-30 meter kubik kotoran sekaligus. Dengan kapasitas yang lebih besar, warga tidak perlu lagi mengambil kotoran sapi untuk disimpan di reaktor sendiri.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 2 JULI 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar